Yang tersisa dari HPN 2015, Batam
Ini topik obrolan saat ngopi Selasa kemarin.
Tentang kebebasan pers. Tentang kemandirian atau independensi pers. Kesannya
agak berat, padahal kami berbincang sambil tertawa-tawa.
Perayaan pers nasional sebenarnya sudah lewat
sepuluh hari lalu. Biasanya, sepulang dari peringatan HPN, kami lantas lupa begitu
saja. Kali ini nggak. HPN atau Hari Pers Nasional di Batam, 9 Februari lalu
memang berdampak cukup seru. Komunitas pers terus membincangkan. Bukan tentang perhelatannya,
tapi karena Presiden tidak hadir.
Seru. Sebab absennya Presiden banyak
dipertanyakan. Mungkin sepanjang 25 tahun kegiatan HPN, baru kali ini Presiden
tidak datang. Bahkan, selama zaman Presiden SBY, 10 tahun berturut-turut tak
pernah dia tidak datang ke HPN.
Ketua Umum PWI Pusat Margiono menyebut, ketidakhadiran
Kepala Negara sebagai “catatan sejarah” untuk menggarisbawahi itu sebagai hal
yang langka. Mendengar pidatonya di perayaan puncak, kalimat-kalimat Margiono
menyiratkan kekecewaan.
“Air mandi tujuh
kembang. Ngilu di sendi karena Pak Jokowi tak datang.” Itu pantun Margiono saat
sambutan di depan Pak Jusuf Kalla, yang hadir mewakili Jokowi.
Lalu, dia
tambah cerita. Katanya, di salah satu event perayaan hari pers diadakan pesta
rakyat yang menghadirkan penyanyi Cita Citata. “Dia menyanyikan lagu: Sakitnya
Tuh Di sini,” kata Margiono. Sepertinya, dia ingin menggambarkan suasana
hatinya saat itu. Cita Citata memang datang dan menyanyikan lagu itu, Minggu
malam. Sehari sebelum perayaan puncak. Saya ikut menyaksikan goyangannya di Lapangan
Daratan Engku Putri, Batam.
Pernyataan
Margiono hari itu menggemakan kekecewaan sebagian besar insan pers senior. Tarman
Azzam, Daniel Dhakidae dan Agus Sudibyo, misalnya, kepada sejumlah media, terang-terangan
menyatakan rasa kecewa atas keputusan Presiden tidak datang di HPN. Jokowi yang
dikenal sebagai “media darling” kok menganggap pertemuan pers bukan sebagai
kebutuhan. Ketika konflik KPK-Polri menajam, dan posisinya terjepit saat itu, logis-nya,
pemerintah butuh simpati komunitas pers. Tapi, Jokowi tak begitu.
Kembali
ke obrolan kami yang sambil ngopi. Diskusi seru karena bosku, yang juga
pengurus PWI, terus mengecam Presiden. Melawan senior lain yang justru bertepuk
tangan dengan ketidakhadiran Presiden.
Yang beda
pandangan ini, senior, dulunya memimpin koran berbahasa Inggris di Jakarta. Dan
pernah jadi pemimpin redaksi di sebuah televisi swasta. Saat ini, dia petinggi
di majalah bisnis berbahasa Inggris. Usianya mungkin beda 10 tahunan dengan
saya.
“Saya
senang sekali Presiden tidak datang ke HPN. Saya yakin, itu keputusan yang
diambil dengan amat sangat sadar,” katanya, sambil nyeruput minumannya.
Kenapa sih orang-orang pers malah kecewa? Malah bagus
Presiden tidak datang. Saya bahagia. Bukankah cita-cita pers itu independen,
mandiri?” tanyanya. “Lucu, ngaku-ngaku independen, tapi marah kalau undangannya
tak dihadiri kekuasaan.” Senior omongannya makin provokatif. Bosku mungkin agak tersengat. Tapi,
dia meresponnya dengan tertawa.
Kupikir, ada benarnya senior itu.
Bukankah selama ini, pers sering mendengung-dengungkan pentingnya kebebasan dan
berjuang agar tidak dikooptasi kekuasaan? Jadi, kalau kekuasaan tak datang, mungkin
saja, karena sedang memperlakukan pers dengan cara yang benar.
“Apakah ada di negara lain di dunia, yang
pers-nya merayakan sejenis HPN, dan dihadiri presidennya?” Tanya saya,
penasaran. Senior itu ngakak. “Kayaknya nggak ada. Cuma di Indonesia,”
jawabnya, yakin.
Nah, kan. Jangan-jangan Presiden bukan tidak
peduli. Tapi sedang memberi pelajaran “kemandirian” kepada insan pers. Ini
mungkin salah satu efek revolusi mental itu, dan pers mesti siap menghadapi era
baru, di luar kebiasaan selama ini.
Nikmat dan gurihnya kopi, ditambah obrolan sore itu, alhasil mencerahkan
pikiran. Selasa kemarin, kopiku tidak terlalu pahit. Legit karena dicampur
alpukat murni. R