Bandara
Soekarno-Hatta sedang bebenah. Memang belum banyak, tapi perubahannya mulai
terasa. Motor pembenahan adalah Budi Karya Sumadi, yang sejak 15 Januari 2015
ditunjuk Pemerintah menjadi Direktur Utama Angkasa Pura 2, pengelola 13 bandara
Indonesia, termasuk Soekarno Hatta.
Selama
dua bulan memoles bandara, apa yang sudah dilakukan Budi Karya? Kapan kita
punya bandara bagus seperti di negara lain? Kepada Tim Rakyat Merdeka yaitu
Kiki Iswara, Ratna Susilowati dan Kartika Sari, Budi Karya membeberkan
rencananya.
Apakah pengalaman Anda mengelola
bisnis properti dan rekreasi cukup memberi manfaat untuk posisi baru saat ini,
yaitu mengelola airport. Dan bagaimana meningkatkan speed kerja di tempat baru,
agar bisa melaju cepat. Properti dan rekreasi sebenarnya sangat relevan dengan
pengembangan bandara. Menjalankan bisnis airport ya kalau diurut-urut, ada
kaitan dengan properti juga. Untuk mempercepat kerja, saya yakin bisa karena
ada etos kerja di antara kawan-kawan AP 2. Kita punya kemampuan membuat airport
jadi jauh lebih baik. Dalam dua bulan, hubungan kerja diantara kami sudah tune
in. Direksi melakukan pendekatan, dan sudah bisa telpon-telpon antar bagian,
bahkan tengah malam sekalipun. Kami tidak maulah bilang, yang dulu baik atau
yang dulu jelek. Apa yang dilakukan di masa lalu pun, tetap ada manfaatnya
untuk saat ini. Kawan-kawan AP 2 mendukung program yang kami lakukan.
Apa masalah terbesar yang ditemui
dalam dua bulan pertama duduk di posisi ini. Jujur saja, masalah terbesarnya,
manusia. Mengelola bandara yang organisasinya sudah besar, manusianya memiliki
karakter khas. Sebagian terjebak dalam comfort zone. Ini keywordnya: comfort
zone. Karakter ini terbentuk karena jenis bisnis ini “given” seolah datang dan
untung dengan sendirinya. Padahal kalau kita bisa keluar dari wilayah comfort
zone, jayalah kita.
Berarti program revolusi mental amat
dibutuhkan di sini ya. Benar. Namun
masih ada yang menginginkan suasana tidak dibuat seperti seharusnya. Kita kerja
karena butuh uang, untuk penghidupan. Tapi, seharusnya tak sekedar itu. Dalam
hidup, kita harus punya legacy. Harga diri lebih dari sekedar uang. Ini guyonan
orang Jawa, jika kita jadi eyang dan berhasil membangun bandara hebat. Kita
bisa ngomong sama cucu: “Le, ini bandara kuwi, embahmu sing gawe.” Nah, itu
namanya kebanggaan. Kebanggaan tak pernah habis. Ada identitas dan kredibilitas
yang jadi bekal untuk anak cucu kita.
Untuk melakukan revolusi mental,
apakah sudah jatuh “korban” atau sudah memecat berapa orang? Saya ini
lebih senang persuasif mengajak orang keluar dari comfort zone. Tapi menerapkan
gaya ini bukan berarti tak jatuh korban. Yang brengsek ya dipecat, tapi
mengikuti prosedur. Yang jadi korban tidak banyak. Tindakan pemecatan sebenarnya bukan tipikal gaya saya. Saya memecat bukan
karena tidak senang. Kalau ada yang brengsek, ya mestinya orang jenis ini jadi
musuh bersama. Saya dasarnya meyakini, semua manusia itu punya potensi dan
kemampuan.
Anda
memiliki target menjadikan bandara sebagai smile airport. Apa itu, dan
bagaimana mewujudkannya? Smile yang saya maksud itu senyum bahagia, senang. Bukan senyum meledek
ya. Mereka yang datang ke bandara, senyum karena merasakan pengalaman,
menemukan something different, dan sesuai dengan harapan. Smile airport hanya
bisa diwujudkan oleh pengelola yang juga selalu smile. Tersenyum bibirnya, juga
senyum jiwanya. Kita ingin menciptakan bandara sebagai beranda Indonesia yang
ramah.
Menurut
Anda, kondisi bandara Indonesia, terutama Soekarno-Hatta sekarang bagaimana ya.
Saat ini bandara kita ya jadi
beranda, tapi belum ramah. Masih banyak gangguan. Soekarno-Hatta ini bench-mark
bandara-bandara Indonesia, jadi harus diperbaiki dengan cepat. Kesan-kesan
kriminal perlu segera dihilangkan. Sekarang masih banyak orang atau turis yang
takut datang malam ke Soekarno-Hatta. Target saya, dalam waktu 6 bulan, tiga
persoalan besarnya selesai. Porter teratur, calo tiket diberantas dan taksi
liar ditertibkan.
Menyelesaikan
tiga persoalan besar itu cukup berat. Bagaimana menghadapi perlawanan dari
pihak yang merasa dirugikan oleh penertiban tersebut. Misalnya porter, nggak boleh langsung bertemu penumpang, tapi melalui
counter dengan tarif sama. Petugas porter kini diseleksi ulang. Yang gemuk
misalnya, dihentikan, karena porter harus lincah. Lalu taksi liar. Ditertibkan.
Taksi harus plat kuning, sopirnya berseragam, ada counter. Lalu, calo tiket.
Salah satu upayanya, menghilangkan counter tiket. Calo adalah profesi kuno sehingga
tidak mudah diberantas, apalagi ada kongkalikong dengan orang dalam.
Penutupan
counter memang tidak disukai penumpang yang go show dan calo. Padahal tujuannya
mulia, demi good governance. Sehingga perlu all out melakukannya. Menurut kami,
semua transaksi harus terdaftar. Kami menertibkan mereka dengan menciptakan
sistem.
Apakah Bandara perlu bekerjasama dengan aparat keamanan untuk
mengoptimalkan penertiban. Kami memang akan membangun kerjasama dengan Kepolisian, TNI, Marinir dan
Paskhas. Kita minta bantuan mereka karena tidak sanggup menyelesaikan ini
sendirian. Memang saat pembenahan, ada perlawanan. Kalau semua persoalan itu
dihilangkan sekaligus, ada kekhawatiran timbul masalah sosial yang besar.
Bayangkan, 1000 orang tiba-tiba kehilangan kerjaan. Jumlah taksi liar saja
mencapai 1500. Lalu saya diskusi berulang-ulang. Cara terbaik saat bukan
dihilangkan sama sekali, tapi ditertibkan, dibenahi.
Apakah
benar ada maskapai asing yang protes dengan penutupan counter tiket? Sepertinya tidak. Kalau maskapai asing
protes, mudah menjawabnya. Di negara lain bisa, kenapa di sini tidak bisa. Yang
agak sulit (menerima) justru LCC (low cost carrier), karena berkaitan dengan
kelas menengah ke bawah. Kini, di permukaan kelihatan sudah tertib. Tidak bisa
langsung hilang, tapi pelan-pelan tertib. Sebagian calo masih ada. Tidak di
depan counter, tapi mungkin di parkiran. Kami ingin membuat sistem, membeli
tiket semudah membayarnya. Jumlah penumpang go show tidak banyak. Hanya 7-10
persen dan kebanyakan penerbangan LCC.
Mayoritas bandara yang dikelola AP2
dilaporkan merugi. Mengapa bisa terjadi? Pertama, terlambat berinvestasi. Kedua,
pengelola belum memiliki jiwa entrepreuner. Misalnya, ada bandara yang
pendapatannya 30 miliar, tapi biaya SDM-nya 20 miliar. Itu persoalan besar.
Kalau bisnis ini bukan layanan ke masyarakat, bisa-bisa tutup. Menangani itu,
ya caranya dua. Naikan sales, atau cost-nya diturunkan. Atau lakukan
dua-duanya. Kerugian harus dijadikan stimulasi bahwa bisnis ini bukan untuk
ketawa-ketiwi. Bisnis ini pelayanan, bukan langsung untung, lalu memberi
kesenangan begitu saja pada orang-orang tertentu. Bandara Soekarno-Hatta saat
ini untungnya cukup signifikan.
Anda ingin mewujudkan Bandara
Soekarno-Hatta seperti apa di masa depan? Apakah ada bench-mark yang ingin
ditiru? Target saya, Bandara Soekarno-Hatta
lebih bagus dari Kuala Lumpur (Malaysia) atau Swarnabhumi, Bangkok (Thailand).
Biaya untuk itu sekitar Rp6 triliun. Dan, April 2016 ini, saya yakin mulai
terwujud. Di (terminal 3 Soekarno-Hatta) yang baru kapasitasnya 25 juta
penumpang. Lalu terminal 2 akan direnovasi untuk kapasitas 22 juta penumpang.
Target total 50 juta penumpang. Selama 2-3 tahun, kemungkinan ada selisih
sekitar 20 persenan tapi masih oke.
Direksi Angkasa Pura berinduk ke dua
menteri. Yaitu Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan. Memiliki dua bos seperti
ini, bagaimana koordinasi kerjanya. Sejauh ini tidak ada masalah. Menhub domainnya
operasional, pelayanan. Sedangkan BUMN urusannya keuangan. Dengan Menteri BUMN
mungkin hanya bertemu saat RUPS. Sedangkan hari-hari, lebih sering berhubungan
dengan Menhub.
Apakah benar di zaman Pemerintahan
Jokowi, para CEO bekerja lebih keras dan capek. Yang terasa, saat ini kami bekerja lebih egaliter. Memang lebih capek, tapi
juga lebih puas.
Suasana saat wawancara (foto: Rakyat Merdeka) |
Tentang Gaya
Kepemimpinan
“Saya Tidak
Mau
Terlalu
Textbook”
Baru satu bulan kerja, Angkasa Pura
2 kena sorotan tajam. Pada Februari lalu, AP 2 menalangi refund tiket ratusan
penumpang Lion Air yang penerbangannya mengalami delay parah. Saat itu, ribuan
penumpang menumpuk di bandara, dan mengamuk meminta pengembalian dana tiket.
Sejumlah pihak menilai AP 2 tak etis menalangi refund tiket yang jadi
tanggungjawab maskapai.
“Di hari ketiga, ada yang mulai
memecahkan kaca. Itu anarkis. Risikonya terlalu besar jika dibiarkan. Bandara
adalah beranda kehormatan negara. Karena itulah diputuskan menalangi pembayaran
tiket. Itu bukan keputusan saya sendiri. Kami sudah bicara dengan pihak
kemenhub dan otoritas bandara. Orang yang ribut adalah yang tidak mendapat
kepastian pengembalian tiket, kondisi uang di kantongnya pas-pasan dan
terlantar. Kami perkirakan saat itu 4 ribuan orang, ternyata yang me-refund hanya
sekitar 500-an orang. Yang kalap ternyata tidak banyak. Setelah ditalangi,
kemarahan dengan cepat mereda,” kata Budi Karya, mengomentari lagi insiden itu.
Kini dana talangan sudah diganti oleh Lion Air.
Kelihatannya Anda termasuk cepat
mengambil keputusan. Bagaimana Anda menilai gaya bekerja. Berdasarkan text
book, feeling atau pengalaman? Kombinasi ketiganya. Saya orang
sekolahan, jadi masih suka membaca. Tapi saya juga orang lapangan, sehingga
tidak mau terlalu textbook. Bagi saya, pengalaman dan studi banding itu sangat
berarti. Yang baik, ditiru.
Misalnya? Contoh, saat ke Singapura, saya lihat ada rangkaian anggrek di entrance Changi
Airport. Saya potret, lalu share ke teman-teman. Saya ajak mereka diskusi. Masa
kita nggak bisa membuat begini? Bagi saya, pengalaman keseharian sangat memberi
warna. Kalau kerja selalu text book, kita bisa ketinggalan terus. Kita berpikir
mencari solusi sebuah masalah, padahal masalah baru terus bermunculan.
Budi Karya
mengagumi dua orang senior yang dianggap sebagai guru perjalanan karirnya.
Yaitu Ciputra dan Eric Samola. “Pak Ciputra saat bicara angka, amat detail.
Saya berguru secara tidak langsung pada beliau selama 30 tahun. Sedangkan Pak
Eric Samola, feeling bisnisnya luar biasa.
Dengan Pak Eric, saya berguru langsung selama 15 tahunan.”
Agar tetap
fit setiap saat, Budi Karya mengatakan, kuncinya adalah menyenangi pekerjaan,
dan jatuh cinta padanya. “Saya jatuh cinta pada bandara. Orang jatuh cinta ya
akan smile terus. Senyum. Dan dengan senang hati berkorban demi rasa cinta itu.
Saat ini, pengorbanannya ya misal Sabtu-Minggu, saya tidak selalu dengan
keluarga, tapi bekerja. Di Bandara, kami menerapkan kerja piket Sabtu-Minggu.
Untuk
menjaga kesehatan, Budi punya kebiasaan bagus. Tiap pagi, minum air hangat dan
madu. Selain itu, dia senang mendengarkan musik. “Apa saja didengarkan. Dangdut
juga oke.”
Apakah
Anda saat ini sudah merasa memberikan kontribusi terbaik dan menjadi orang
hebat? Saya sudah memberi kontribusi,
tapi belum hebat. Hebat itu kalau semua orang yang datang ke bandara tersenyum.
Lahir Di
Palembang, Kuliah Di Yogyakarta
Saya Dekat
Sekali Dengan Ibu...
Budi Karya
lahir di Palembang, 18 Desember 1956. Anak ke-enam dari delapan bersaudara.
Ayahnya pejuang di Sumatera Selatan bernama Abdul Somad Sumadi. Pernah
berprofesi sebagai guru sekaligus utusan pemerintah Bung Karno. Sampai tahun
1962, Abdul Somad Sumadi bekerja di Kanwil Deppen Sumsel.
Ibunya, Kusmiati,
orang Jawa di Palembang. Seorang guru taman kanak-kanak yang kemudian jadi
anggota DPRD Sumsel tahun 1956-1959. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Obor
Rakjat, terbit tahun 1962. Kusmiati dan Abdul Somad bertemu dan menikah di
Palembang.
Budi
menghabiskan masa kecil dan remaja di Palembang. Masuk TK Persit di Bukit Besar
(1960), lalu SD Muhammadyah Bukit Kecil (1963). Melanjutkan ke SMPN I Talang
Semut Lama (1969), dan SMA Xaverius I Palembang (1972). Budi lalu hijrah ke
Yogyakarta saat kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada
Yogyakarta (1976).
Masa
kecilnya prihatin. Saat usia 10 tahun, dia membantu orang tuanya berjualan.
Yang dijual sabun, lilin, makanan kering sampai selai pisang. Barang itu
didatangkan dari daerah, dia masukkan ke plastik dan ditaruh di warung-warung
atau dijajakan keliling.
“Dalam
bekerja, ada pattern dari ayah dan ibu saya. Mereka mengingatkan, pentingnya
selalu berbagi. Gaya saya persuasif dan tidak suka memecat orang, mungkin itu
warna dari orangtua saya,” katanya.
Dari
ayahnya, Budi mendapat ilmu berinteraksi dengan orang lain. bersosialisasi.
Ayahnya Ketua RW, sering berkirim surat ke banyak orang, ke pemuda masjid,
pemuda kampung, masyarakat sekitar. “Itu pengalaman berharga saya, dan mewarnai
hubungan saya saat berinteraksi dan sosialisasi,” ujar dia.
Apakah memiliki
hubungan sangat dekat dengan Ibu? Saya
dekat sekali dengan ibu saya. Sekedar untuk diketahui ya, nomor di bank saya
itu ada kaitan dengan Ibu saya.
Karir
Budi diawali di Grup Pembangunan Jaya (1982), lalu sejumlah proyek ditangani di
Bintaro Jaya, Slipi, Semarang, Surabaya, Tangerang. Tahun 2002 mulai berkiprah
di Ancol sebagai Direktur Keuangan. Sukses membawa Ancol go public, Budi
menjadi Presdir PT Pembangunan Jaya Ancol. Tahun 2013, sebagai Presdir PT Jakpro,
Budi menggarap sejumlah proyek besar Ibukota. Revitalisasi Waduk Pluit, waduk
Ria-Rio, penyelesaian rusunawa di Marunda, Pusat Distribusi, Electronic Road
Pricing (ERP) dan sejumlah proyek besar lainnya. “Pengalaman terbaik saat membangun Ancol menjadi
ecopark. Bagi saya, itu menjadi legacy. Kebanggaan,” katanya.
Pernah memiliki pengalaman terburuk? Wah,
ada. Saat berada di BUMD. Proses yang tidak mudah, tapi tidak perlulah
diceritakan.
Saat ini,
selain Bandara Soetta, AP 2 mengelola 12 bandara lainnya, yaitu Halim
Perdanakusumah (Jakarta), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Supadio
(Pontianak), Minangkabau (Padang), Sultan Syarif Kasim (Pekan Baru), Husein
Sastranegara (Bandung), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Raja Haji Fisabilillah
(Tanjung Pinang), Dipati Amir (Pangkal Pinang), Sultan Thaha Ijambi), Kualanamu
(Deli Serdang) dan Silangit (Tapanuli Utara).
Wawancara ini sudah dimuat di Rakyat Merdeka, edisi Senin, 30 Maret 2015. Juga ada di link Rakyat Merdeka Online di:
http://www.rmol.co/read/2015/03/31/197443/Budi-Karya,-Mimpi-Mewujudkan-Bandara-Kelas-Dunia-