Said Didu menyebut, malaikatul maut saat ini sedang menghampiri Freeport. Pilihannya, kata Staf Khusus Menteri ESDM itu, memang berat, mau mati pelan atau mati cepat. Kontrak Karya berakhir tahun 2021. Dan pada 25 Juli ini akan ada keputusan mengenai perpanjangan operasi. Kepastian ini dibutuhkan, mengingat Freeport akan menanamkan investasinya sebesar 17 miliar USD (sekitar Rp200 triliun) untuk penambangan bawah tanah. “Investor manapun, yang mau menanamkan uang sebesar ini, tentu butuh kepastian operasi,” kata Said Didu, yang juga Ketua Tim Penelahaan Smelter Nasional.
Meskipun bekerja di tengah ketidakpastian, tapi menurut Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, ribuan karyawan tetap semangat bekerja.
Saat diskusi di Tembagapura, Maroef Sjamsoeddin menyadari selama ini isu-isu terkait Freeport kerap kali kental muatan politik. Sering jadi bahan pertanyaan, misalnya, kenapa Freeport dianggap gagal membangun Papua? Padahal, sekedar perbandingan, luas wilayah kerja Freeport hanya sekitar 90 ribu hektar atau 0,02 persen saja dari seluruh luas Papua yang 42 juta hektar. Melakukan pembangunan Papua seutuhnya adalah tugas negara, sedangkan Freeport sama dengan investor lainnya.
Lalu, tentang penerimaan negara. Terus dilakukan peningkatan royalti dan divestasi saham untuk pemerintah Indonesia sebanyak 30 persen bertahap sampai 2019, dan terbuka melakukan penawaran saham melalui bursa (IPO).
Mengenai smelter. Saat ini, sebanyak 40 persen konsentrat dari Tembagapura, dikirim via jalur laut menuju Gresik. Di smelter Gresik, dilakukan pemilahan mineral. Bahan limbahnya, berupa asam sulfat dan gypsum diolah langsung oleh Petrokimia sebagai bahan pupuk dan bahan semen. Karena itulah, posisi smelter di Gresik yang berdampingan dengan Pabrik Petrokimia, dianggap ideal.
Mengapa tidak membangun smelter di Papua? “Aspek teknis dan bisnis yang membuat kami tidak bisa membangun smelter di Papua. Saya pernah sampaikan secara terbuka kepada Menteri ESDM, setelah melihat lokasi yang direkomendasikan Pemda Papua. Saat itu ada Gubernur, Bupati dan Ketua DPRP serta sejumlah anggota Komisi 7 DPR. Kondisi infrastruktur tidak mendukung. Pelabuhan tidak siap. Jalan darat dan listrik belum ada. Juga belum ada instalasi air. Karena itu, kita memutuskan, wilayah yang paling siap, tetap di Gresik,” kata Maroef.
Jika izin perpanjangan operasi tidak diberikan, apa yang terjadi? Maroef menceritakan, ini berarti rencana ekspansi membuka pertambangan bawah tanah batal. Produksi hanya mengandalkan yang sudah ada, yaitu penambangan terbuka yang cadangan mineralnya hanya sampai 2017. Kapasitas produksi artinya turun dan tinggal 40 persen. Dan itu berati, smelter yang existing di Gresik sudah cukup menampung produksi.
Kapasitas produksi Freeport saat ini mencapai 240 ribu ton sehari. Tiap tonnya menghasilkan kira-kira 20-30 kilogram tembaga, 2 gram emas dan 4 gram perak. Ratna Susilowati
Artikel ini dimuat di Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar