Berbuka puasa dan shalat berjamaah di perut bumi adalah pengalaman batin yang menakjubkan. “Ini luar biasa,” kata Nurjaman Mochtar, Pemimpin Redaksi SCTV-Indosiar, yang juga Ketua Forum Pemimpin Redaksi.
Tak pernah terbayangkan, ada masjid dan gereja di perut bumi. Jauh di kedalaman 1,7 kilometer. Freeport membangun itu untuk keperluan karyawan mereka, yang bekerja di areal tambang bawah tanah, di kawasan Tembagapura, Timika, Papua. Kapasitas mesjid yang bernama Baabul Munawar itu, menampung 250 jemaah. Persis di sampingnya, berdiri Gereja Oikumene Soteria.
Di hari ketiga Ramadhan, kami bersama ratusan karyawan PT Freeport, berkumpul di Masjid itu. Melepas rompi yang basah oleh keringat, mencopot helm dengan senter yang berat di kepala, dan membuka sepatu boot yang dipenuhi lumpur, kami lalu berwudhu dan berkumpul di dalam masjid.
Kepala terasa cukup pening. Itu akibat tipisnya kadar oksigen. “Tapi lama-lama juga biasa,” kata seorang karyawan yang sudah bekerja belasan tahun di perusahaan ini, kepada saya, sambil senyum. Kondisi oksigen terbatas bukan hanya di bawah tanah, tapi juga di open pit, tambang terbuka grasberg, yang ketinggiannya mendekati puncak Jaya Wijaya yang bersalju. Meski mereka terbiasa, tapi saya liat, semua karyawan dibekali tabung oksigen yang dililitkan ke pinggang.
Menunggu adzan maghrib, kami duduk mendengarkan tausiah Prof Nasaruddin Umar. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, beserta istri dan anaknya juga berada di tengah-tengah kami.
Masjid dan gereja ini belum lama dibangun. Diresmikan pada awal Juni lalu. Arsiteknya, Alexander Mone, adalah lulusan Bina Nusantara. Dan strukturnya dikerjakan Andrew Parhusip, lulusan ITB. Tempat ibadah ini dibuat berdampingan atas prakarsa para pekerja. Toleransi ternyata bisa terasa sampai ke perut bumi.
Masjid dan gereja ini berada di salah satu sudut terowongan, yang digali oleh ribuan pekerja tambang. Kami masuk terowongan melalui pintu Ali Boediardjo, diambil dari nama Presdir PT Freeport yang pertama. Nafas sedikit tersengal, tapi udara cukup adem. Rupanya ada teknologi canggih untuk memurnikan udara di bawah tanah. Di sepanjang terowongan dipasang banyak sekali exhaust untuk menyedot udara kotor keluar, sehingga pekerja bisa menghirup udara bersih.
Dinding dan atap mesjid dari batu disemprot oleh semacam semen, dan diratakan. Konstruksi tak sesederhana seperti yang terlihat. Sebab, di tiap meter, tampak ada bautan penahan di dinding. Lantainya ditutup karpet kehijauan. Prof Nasaruddin Umar merasakan suasana itu seperti dalam gua.
Saat tiba waktunya berbuka, salah seorang karyawan mengumandangkan adzan yang syahdu. Kami menikmati tajil sederhana yang disiapkan para pekerja. Teh manis hangat, kurma dan gorengan siomay. Malam itu kami menutup kebersamaan dengan shalat maghrib berjamaah. Dinginnya lantai mesjid dan damainya hati pekerja, rasanya seperti meredam isu-isu politik panas yang tak berkesudahan. Ratna Susilowati
Artikel ini telah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar