Minggu, 13 Desember 2015

Amanda Putri Witdarmono, Founder We The Teacher: Mengubah Mindset Guru Adalah Tantangan Besar


Belajar dengan guru seperti Amanda Witdarmono, anak-anak pasti betah. Airmukanya segar, cantik dan pintar serta amat sabar menghadapi anak-anak. “Energi saya hidup saat bersama anak-anak,” katanya, saat wawancara eksklusif oleh Ratna Susilowati, Kartika Sari dan Fotografer Derry dari Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
Amanda, di usianya yang ke-27 adalah founder We The Teacher, sebuah lembaga riset dengan slogan “reimagine teaching” untuk mendorong pengembangan guru-guru Indonesia. Setelah lulus dari Boston University, jurusan pendidikan sekolah dasar (Teaching License for Elementary School 1-6), Amanda meraih Master di bidang pengembangan pendidikan internasional di Columbia University, Amerika Serikat. Tahun 2014, meninggalkan zona nyaman dan kembali ke Tanah Air. Dia pun mengabdikan diri dan berbagi ilmunya dengan para guru demi masa depan pendidikan Indonesia.
 
Siapa saja anggota atau yang terlibat aktif di We The Teacher?
Keanggotaan We The Teacher bukan sistem membership. Lembaga ini sebuah riset setelah saya melihat sistem pendidikan calon guru-guru di Indonesia. Saya ngobrol dengan kepala sekolah, guru-guru senior dan mahasiswa. Kami berkumpul dan diskusi bersama. Memang sebagai pendidik, tak ada yang sempurna. Tapi, kami punya semangat untuk sharing, belajar satu sama lain.
Mereka menceritakan atmosfir profesi guru. Ternyata suasananya letih, lelah. Misalnya, banyak yang mengeluhkan kurikulum, karena dianggap kurang mendukung kreatifitas. Lalu, saat guru mencoba memasukkan program atau project, prakteknya sulit diterapkan, karena di kelas-kelas tertentu, mereka hard-willing menyiapkan Ujian Nasional. Belum lagi, di sekolah negeri, guru-gurunya punya keinginan besar jadi PNS. Sehingga semua daya upaya ini mengambil waktu kegiatan belajar untuk murid.
 
Jadi, aktivitas reguler di We The Teacher itu apa saja? Kami mengadakan sejumlah project base dan sosial activity, yang insiprasinya dari lingkungan sekitar sekolah. Awalnya, ada pihak manajemen atau yayasan sekolah yang kurang memahami dan tidak mengerti, atau dianggap project ini tak sejalan dengan misi visinya. Namun, setelah dikomunikasikan, dan mempertemukan shorten goal-nya, akhirnya bisa jalan. Bentuk kegiatan kami antara lain teacher empowerment, survei terhadap orang tua murid, observasi anak dan sebagainya. Ada juga riset, misal, bagaimana murid deal dengan guru yang paruh waktu dibanding fulltime. Atau, hasil pengajaran di sekolah berteknologi tinggi dibandingkan sekolah yang penuh problematika. Ini memang kompleks, tapi akhirnya kita jadi makin mengenal situasi dan wajah pendidikan Indonesia.
 
Mengapa Anda memilih terjun di bidang ini, dan dari mana pembiayaan? Pendanaan kegiatan kami bisa dari sekolah atau CSR money. Saya menjalankan ini pure karena minat dan personal story. Setelah melihat keadaan di sejumlah sekolah di Indonesia, rasanya kok tidak nyaman ya, jika saya dealing dengan comfortable things, sementara kondisi pendidikan kita masih banyak harus dibantu. Apalagi, belum banyak yang bergerak di dunia pendidikan, khususnya bidang guru. Memang ada yang sudah terjun membantu dunia pendidikan, tapi kebanyakan konsentrasi ke anak-anak, sekolah dan infrastrukturnya. Saya berkegiatan di WTT semata-mata karena percaya pada ketulusan hati. Saat memulainya pun tidak dengan ambisi apapun, tapi simply dengan niat berbagi. Semoga dalam 5-10 tahun mendatang, kita akan terbiasa dengan integrasi teknologi di dunia pendidikan, bahasa active learning untuk anak-anak, dan seterusnya.
 
Menurut Anda, problem terbesar pendidikan di Indonesia apa ya?Problemnya kompleks ya. Misalnya, sekolah negeri saat ini dianggap tidak cukup kuotanya, sementara swasta dianggap sekolah untuk orang kaya. Tentang biaya pendidikan.  Low cost schooling, saat ini termasuk isu yang jadi perhatian penting dunia. Kondisinya di Indonesia, masih ada sekolah yang dibayar harian karena menyesuaikan kemampuan orang tuanya. Bahkan, biaya 30 USD per bulan untuk pendidikan dianggap mahal. Padahal, bandingkan dengan negara lain. Di Peru, orang tua mengeluarkan biaya pendidikan saat ini rata-rata 50 USD perbulan untuk anaknya. Dan Afrika, negara yang mungkin dulu kita anggap terbelakang, saat ini biaya pendidikannya rata-rata sudah 100 USD perbulan. Ini membuat saya jadi bertanya-tanya, tentang low cost dan low value. Dalam pendidikan, kita dealing with people bukan object.
 
Anda pernah bersekolah di Indonesia, Singapura dan Amerika. Bagaimana perbedaan ketiganya, dibandingkan sistem pendidikan di Indonesia. Apakah sistem di negara kita cukup kompetitif dan bagus untuk mencetak generasi hebat?(Amanda lahir di New York, sekolah di Indonesia hingga SMP dan melanjutkan SMA di Methodist Girl School Singapura, lalu kuliah di Amerika).
Memang ada perbedaan ya. Misal, saat SMP, dalam pelajaran sejarah, guru mencatat di papan tulis, dan muridnya diminta menyalin, plek harus sama. Bahkan sampai bagian yang digaris bawahi pun harus sama. Hahaha (tertawa). Di Singapura, terasa sekali ada pendalaman ilmu. Namun suasananya cukup ketat. Sehingga ada pandangan, hidup ditentukan sejak ujian kelas 6. Kenapa?Sebab, jika nilai ujian tidak bagus, maka lanjutannya, tidak bisa meneruskan ke sekolah yang bagus, dan ujungnya tidak bisa dapat pekerjaan bagus. Siswa jadi merasa dikotak-kotakan, tergantung levelnya. Ini “mind set” yang mungkin bisa menghancurkan. Sementara di Amerika, yang menonjol ada kebebasan dan bisa switch major atau nego jadwal kuliah ke dosen dengan mudah. Di Indonesia, anak-anak jurusan sosial mungkin pakemnya nggak bisa ke kedokteran atau teknik. Tapi di Amerika, peluang itu terbuka.
Di negara maju, guru-guru yang mengajar lebih fokus. Tapi di Indonesia, ibarat kita buka google-chrome, tabnya banyak banget. Sehingga harus multitask. Perform saat mengajar pun penting. Meski hari itu, misalnya, bad day for me, tapi ya tetap harus berdiri di depan kelas dengan full of energi dan mendeliver hal-hal baik. Analoginya, guru harus pakai teaching jacket, agar bad mood-nya tidak terbawa.
 
Di negara kita ada istilah, ganti menteri, ganti kurikulum. Bagaimana menurut Anda. Apakah kurikulum saat ini cukup ideal?
Kurikulum kita sudah berubah 11 kali sejak kemerdekaan. Kalau dibagi rata, artinya, rata-rata hanya 4 tahun untuk adjustment, implementasi sampai evaluasi. Itu kan sebenarnya nggak make sense ya. Kurikulum apapun, yang terpenting adalah eksekusinya dulu, dan rapihkan.
          Sebenarnya kurikulum 2013 sudah bagus, yang penting memberikan ruang kepada pengembangan diri para peserta didik. Namun tantangannya adalah kurikulum kita ini seragam dari Sabang sampai Merauke.
Contoh, murid di Jakarta, disodori gambar Kuda Nil, mungkin dia langsung tahu itu Kuda Nil. Tapi, murid di Papua, menyebut itu Babi Air. Itu budaya lokal, mereka tahunya seperti itu. Contoh lain soal asap. Apakah anak-anak diberi pengertian mengapa terjadi asap dan bagaimana supaya tidak kebakaran hutan? Yang terjadi sekarang, setelah dewasa, orang baru tahu ini kebakaran hutan dan bagaimana mencegahnya. Jadi kurikulum, mestinya involve dengan kearifan lokal, kebudayaan setempat dan natural resources, sepanjang sesuai dengan nilai Pancasila dan etika ketimuran. Jika ini dilakukan, mungkin semua propinsi di Indonesia bisa maju dan kuat sama-sama. Kekuatan Indonesia bukankah ada di kekayaan perbedaannya. Ini di luar kekurangan lain ya, misal infrastruktur pendidikan yang belum merata di tanah air.
 
Bukankah mata pelajaran sekolah untuk murid di Indonesia itu terlalu banyak, dibandingkan dengan sekolah di negara-negara maju? Jumlah mata pelajaran sebenarnya tergantung jenjang pendidikan. Idealnya, pendidikan dasar meng-cover kemampuan dasar seperti menghitung, logika dan motorik, sementara di jenjang SMA, anak mulai shopping ilmu untuk menentukan minatnya. Jumlah 17 mata pelajaran ya tidak apa-apa, sepanjang bobot assessment-nya atau ujian tiap mata pelajaran tergantung minat anak. Jika bobot assessment sama untuk semua mata pelajaran, maka anak-anak menjadi tidak punya waktu untuk eksplorasi minat. Baiknya, ada opsi-opsi atau pilihan pelajaran, dan assessment setiap mata pelajaran tergantung bobot yang diambil tiap anak.
 
Sekarang Anda masih mengajar?Saya rindu banget mengajar. Kadang ingin sekali. Tapi, kegiatan di WTT banyak dan sehari hanya 24 jam hahaha (tertawa). Sekarang saya tidak mengajar. Kalau masuk kelas lebih ke fungsi observasi. Salah satu pilar di WTT adalah observasi kelas. Hasilnya adalah student outcome, misalnya membuat topik active learning. Sering terjadi, kita ingin kelas aktif, tetapi tanpa disadari bahasa yang dikeluarkan guru-guru tidak memberi peluang active learning terjadi. Misalnya, guru mengatakan, kerjakan ini, kerjakan itu, dan seterusnya. Ini bahasa guru, seharusnya diubah.
(Di saat kuliah, Amanda aktif mengajar. Setiap mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dasar harus memiliki pengalaman mengajar sekitar 180 jam di luar kegiatan kampus. Ketentuan ini jadi salah satu persyaratan mendapatkan license sebagai guru. Amanda mengajar satu sampai dua kali sepekan. Antara lain, di University of Wisconsin - Eau Claire Chidren's Center, di Alcott School, Concord MA, di Alexander Hamilton Elementary School, Brighton MA, Museum Fine of Arts Boston, MA dan pada waktu libur sekolah Amanda juga mengajar di sekolah lamanya, di SD Santa Ursula Jakarta)
 
Di memori, terekam guru-guru kita dulu itu ada yang galak dan instruktif. Padahal zaman sudah berubah. Bagaimana cara mengubah mindset guru-guru yang seperti ini.
          Kadang saya menemukan ada guru mengatakan dengan bangga, “wah ulangan saya susah banget sampai anak-anak ngga ada yang bisa menjawab.” Saya heran, mendengar ini. Bukankah, berhasil tidaknya anak-anak mengerjakan ujian, adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai guru ya. Mengubah mindset guru memang sangat challenging. Yang membuat style mengajar seorang guru, bukanlah pendidikan dia, bukan training atau kursus yang dia dapat, tetapi memori selama 12 tahun, saat dulu dia diajari di sekolahnya. “Waktu saya SD, saya diajari peta buta seperti ini, and then Im gonna do that to my kids...” begitu pikirannya.
          Padahal, situasi sekarang amat berbeda. Ada perubahan dan perkembangan generasi. Fokus pehatian anak-anak sangat pendek. Sangat sulit ada anak yang duduk manis selama 30 menit mendengarkan.
 
Teknologi makin maju. Anak-anak makin akrab dengan gaget, bagaimana sikap guru menghadapi ini? Saat ini, otoritas guru dan orang tua menjadi tertantang karena teknologi. Dulu, misalnya, saat ke lapangan dengan guru, lalu murid melihat tanaman, mereka bisa langsung bertanya ke guru, apa namanya. Sekarang belum tentu. Anak yang pemalu, mungkin memotret tanaman itu lalu bertanya ke google. Sehingga murid mungkin nggak selalu pergi ke guru atau orang tuanya untuk mendapatkan ilmu. Karenanya, guru sekarang harus punya added value, supaya tetap dihormati dan memiliki peran yang relevan dengan mindset sekarang.
 
 
Putri Indonesia Yang Kini
Berkiprah International
 
          Pas dengan namanya. Amanda Putri Witdarmono, memang Putri Indonesia. Di tahun 2008, Amanda terpilih sebagai Putri Indonesia bidang Pendidikan, dalam kontes yang diadakan Yayasan Putri Indonesia. Usia masih muda, tapi pengalaman putri pertama Witdarmono dan Henny R ini, luar biasa. Kiprahnya mulai go international, saat tahun 2015, terpilih menjadi pembicara termuda dalamWorld Economic Forum (WEF), di Davos Swiss. Dia sepanel dengan tokoh-tokoh lain yang menginspirasi dunia. Sejak 2012, Amanda terlibat di WEF melalui komunitas Global Shapers. Sebuah jejaring yang merupakan simpul-simpul anak-anak muda berpotensi, berprestasi dan memberikan kontribusi kepada masyarakat.         
          Ketika jadi finalis Putri Indonesia, Amanda mengaku baru belajar dandan dan nge-blow rambut. “Dulu saya cuek. Tapi, rupanya physical appearence itu penting. Apalagi, kita berdiri di kelas dan bicara ke murid, tentu penampilan juga bisa mempengaruhi kualitas komunikasi. Anak-anak akan memperhatikan gurunya dari atas sampai bawah,” kata dia. Sekarang, Amanda terlihat sebagai profesional muda dengan penampilan fresh dan smart.
          Amanda mengaku passionnya di dunia anak-anak dan pendidikan. Tidak pernah ada orientasi masuk ke dunia modeling atau hiburan. Sehingga keterlibatannya di Putri Indonesia, dulu, sekedar untuk pengalaman dan exposure.
Makanan favorit Amanda sushi dan tempe. “Itu never go wrong, apalagi sekarang sedang nge-tred makanan sehat,” katanya. Lahir di New York 7 Oktober, 1988, tapi orang tuanya tetap mendidik Amanda dan adiknya etika dan adat ketimuran. ***
 
 
 
Pernah Magang Di Kantornya Jokowi-Ahok
 
          Amanda pernah magang selama tiga bulan dan ikut mensosialisasikan program Kartu Jakarta Pintar, saat Jokowi-Ahok memimpin DKI Jakarta.
          “Itu pengalaman menarik. Mengurusi pendidikan, tapi faktualnya yang saya kerjakan itu hanya 20 persen di kelas, sisanya di birokrasi. Saya mengetahui dinamika sosial antara orang tua dan problematika keseharian tentang KJP,” katanya. Dia turun ke jalan, sekolah dan bicara dengan guru, orang tua dan kepala sekolah. Hingga membuat infografis, untuk memudahkan prosedur pendaftaran di KJP.
          “Ini program yang amat membantu. Kalau biaya pendidikan sudah tercover, maka dana KJP juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan gizi dan nutrisi anak. Ini penting. Hasil pelajaran yang diterima anak dengan perut kenyang, tentu berbeda dengan anak yang perutnya lapar,” kata Amanda.
          Ditanya mengapa tertarik dengan dunia anak-anak dan pendidikan? Amanda menjawab, dari dulu senang dengan dunia itu. “Main dengan anak-anak, menggambar bersama, dan akhirnya menemukan minat, ingin berkaya bersama anak-anak.” Selama proses kuliah, dia menyadari bahwa dunia pendidikan rupanya amat luas. Ekonomi, politik, dunia, dan apapun semuanya terkait dengan pendidikan.
          Nyambung dengan dunianya, Amanda pun mendirikan Koran Berani, koran yang didedikasikan untuk anak-anak. Ayah Amanda, Witdarmono, adalah jurnalis di Harian Kompas. Di Koran Berani, Amanda adalah Pemimpin Redaksi. “Di koran ini saya bisa bebas membicarakan tentang hal-hal sensitif dalam kacamata anak-anak. Misalnya tentang kejadian di Paris, election dan sebagainya,” katanya. ***

Artikel ini dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Spesial 3 Desember 2015 
(60 halaman)




 

Kamis, 10 Desember 2015

Kuliner Vietnam, Minim Bumbu Kaya Rasa


#KelanaRasaSaigon 
3-6 Desember 2015

Fresh, sehat dan enak. Tiga kata yang pas untuk menggambarkan rasa umum makanan vietnam. Di semua hidangan utama, orang Vietnam makan dengan sajian herba segar (daun basil, daun ketumbar dan daun mint). Beras, makanan pokok yang tidak hanya jadi nasi dan ketan, tapi dibuat lebih kreatif jadi bun (bihun yang dibuat setiap hari tidak pernah dikeringkan), rice paper yang tipis sekali untuk lumpia (bisa goreng atau fresh) dan dibuat tepung (jadi crepe atau pancake tipis). Proteinnya dari berbagai macam seafood, ayam dan daging. Tak ketinggalan kelapa. Mereka suka sekali air kelapa, jarang dibuat santan. Untuk taburan di kue-kue, daging kelapa tidak diparut tapi dikeruk panjang-panjang. 





Rabu, 3 Desember 2015, begitu tiba di Bandara Ton Son Nhut, langsung meluncur ke Quan 94. Sempat dihadang kemacetan karena saat itu suasana pulang kantor. Rush hour tapi rasanya tak separah Jakarta. Di Resto mungil tiga lantai, mirip ruko, bau kepiting semerbak sejak di pintu masuk. Sekuali besar cingkong kepiting terlihat diracik oleh Mba Vietnam. Di tempat ini, sajiannya Cha Gio (lumpia kepiting goreng), Cua Lot Bot Xao Cua (Soun kepiting dan telur kepiting), udang goreng, kepiting soka goreng tepung dan nasi goreng kepiting. Kontras. Datang sangat lapar, pulang sangat kekenyangan. 





Malamnya, sebelum tidur menyempatkan diri jalan sebentar. Tak jauh dari hotel rupanya ada night market di Benh Thanh. Icip-icip teh khas Vietnam, teh lotus dan belanja kopi serta seperangkat dip, alat pembuat kopi Vietnam. Beli di Phuc Long. 

Kamis, 4 Desember 2015, sarapannya unik. Ketan dengan taburan ayam, tongcay dan bawang goreng. Lumayan kenyang untuk energi jalan pagi menuju wilayah gerilya Vietcong. Dari hotel Tien Thung, tempat kita menginap menempuh 3 jam perjalanan untuk sampai di Cu Chi Tunel. Ini sistem pertahanan gerilyawan Vietcong yang dibangun secara tradisional tapi cukup cerdik. Panjangnya 250 kilometer dan terdiri dari 3 lantai. "Buang air besar di lantai 3, dan langsung berhubungan dengan Sungai Saigon," kata Wahyu, tour guide lokal kami di Saigon. Nama aslinya Nguyen Hoang Du. Kalau dibunyikan memang seperti kita menyebut kata: Wahyu. Jadilah "Wahyu" nama populernya di kalangan turis Indonesia.




Di Cu Chi, aktivitas cukup banyak, nyoba terowongan sampai nyoba nembak pakai AK-47. Sempat juga icip makanan gerilyawan. Apa itu? Singkong rebus dengan cocolan khas, campuran kacang tanah tumbuk dengan gula. "Ini sudah mewah bagi para Vietcong, karena zaman perang sulit cari makanan," kata Wahyu lagi. 




Balik ke Saigon, perut yang lapar diisi Banh Xeos (pancake isi seafood) dan Banh Kot ala Vung Tung. 

Bahn Xeos, pancake beras warna kuning dengan isian protein dan sayuran (kacang hijau, toge). Sobek pancake lalu bungkus dengan selada dan herba dan celup di cocolan sebelum dimakan.







Malamnya, kita dapat yang seru. Dinner menu Udang Bakar Kelapa. Masakan ini tampilannya menggiurkan. Udang dikaitkan dan seolah bergelantungan di sekeliling kelapa. Lalu dibakar dari pinggiran. Saat setengah matang, kupas udangnya dan celup langsung ke air kelapa. Hmm rasanya gurih manis. 



Masakan vietnam hanya sedikit menggunakan bumbu, sehingga cocolan termasuk penting di meja makan. Ada berbagai jenis cocolan yang dan ditaruh dalam wadah-wadah kecil. Kecap ikan dengan potongan cabe-bawang putih, kecap asin, acar bawang, jeruk nipis dan potongan rawit. Orang vietnam juga suka menambah merica, sehingga merica+garam biasanya juga disajikan. 

Pho, paling populer dan mendunia. Kami sarapan Pho, Jumat 5 Desember 2015. Pho masakan berkuah sangat segar. Tiga bahan utama (bun, protein dan herba) dalam kuah kaldu yang bening.

Banh Mi atau sandwich vietnam, cukup mengenyangkan. Pengaruh Perancis amat terasa pada makanan ini. Roti yang digunakan adalah baquet, panjang dan agak keras. Dibelah dua lalu diisi sayuran, daging dan saus.

Ketan (sticky rice) di Vietnam bisa jadi kudapan manis (dibuat warna warni lalu ditabur kacang tumbuk, gula pasir, santan dan kerokan kelapa). Bisa juga untuk sarapan, ketan yang gurih diberi taburan ayam, tongcay dan bawang goreng.



Sebelum pulang, jangan lupa mampir ke Pasar Benh Thanh. Pusat segala jenis suvenir, kudapan dan buah-buahan. Di tengah pasar yang ramai, kami membuka sebuah durian. Dimakan ramai-ramai. Seberat 1,5 kg, harganya 180 ribu Dong. Lembut dan enak sekali. 

O, ya harga barang dan makanan di Vietnam cukup terjangkau. Harga barang saat disebut kesannya besar karena pakai ratus-ratus ribu. Tapi kalau dirupiahkan sih, sebenarnya normal saja. Misalnya sepaket suvenir topi (isi 10) hanya 100 ribu Dong, atau sekitar 62 ribu rupiah saja. 







Selasa, 27 Oktober 2015

Jeffrey Polnaja, Biker Indonesia Pertama Keliling Dunia Sendirian: Terdampar di Atacama, Saya Survive Karena Salju...



Jeffrey Polnaja pernah diledek sebagai orang gila. Tapi dia tak peduli. Semangat, tekad dan keyakinannya membara. Si gila ini, akhirnya bisa mewujudkan hal yang dianggap mustahil, jadi kenyataan. Maka, dunia pun terpana. Kini, Jeffrey dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang keliling dunia mengendarai motor seorang diri. Atau para petualang menyebutnya, solo ride. Orang-orang menjulukinya The Wind Rider. Ada juga yang menyapanya, Kang JJ, alias Jurig Jalanan.
            Berbicara dengan Jeffrey, kita terkesima. Tampang garang saat di atas motor, seolah berbanding terbalik dengan sikapnya yang rendah hati, murah senyum dan kata-kata yang penuh filosofi kehidupan. Di Cireundeu, rumah sahabatnya, Jeffrey menerima Tim Rakyat Merdeka (Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Ahmad Lathif Rosyidi dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho).
 
            Menjadi duta bangsa dengan mempertaruhkan nyawa adalah sebuah rekor tersendiri. Mengapa Anda memilih bermotor dan keliling dunia?
Saya ingin mengajak anak-anak muda meng-eksplore dirinya dan belajar menghargai orang, termasuk budayanya. Saat di comfort-zone, kadang kita merasa tidak perlu berubah. Keluar dari zona itu, barulah kita merasa, we are nothing. Di situlah, kita akan banyak belajar.
 
Apakah ada tujuan tertentu, dan mengapa memilih tema Ride For Peace?
Saya tidak mengejar target. Ini didedikasikan untuk perdamaian. Indonesia, saat itu, dicap sebagai negara teroris. Padahal, muslim bukanlah teroris. Untuk melawan stigma seperti itu, tidak cukup hanya bawa spanduk lalu teriak-teriak. Saya bermotor, keliling, bertemu semua elemen masyarakat, dari pinggiran sampai perkotaan. Dari rakyat biasa sampai pejabatnya. We show them that we are not terorist. Di jalanan, saya melihat, manusia itu sebenarnya sama. Yang membedakan, budaya yang berkembang dari tempat hidupnya. Jadi, harusnya, di dunia ini kita berkawan, bersaudara. Untuk apa bermusuhan, konflik dan perang.
 
Kapan mulai tercetus niat keliling dunia, bagaimana kisah awalnya?
Tahun 2001, terjadi tragedi 911, saya menyaksikan berita pesawat menabrak menara WTC. Anak saya bilang, setiap hari ayah mengingatkan agar saya baik sama kawan-kawan, tapi mengapa orang saling membunuh. Itulah yang jadi trigger dari perjalanan saya.
 
*(Jeffrey start di Jakarta 23 April 2006. Beberapa bulan sebelumnya, dia mengalami kecelakaan berat hingga lumpuh dan hanya bisa menggerakan jari-jari. “Dalam kondisi begitu, saya melihat anak saya. I just lying down, tapi saya janji pada diri sendiri, saya akan keliling dunia untuk dia,” kata Jeffrey. Dia berusaha keras mencari sponsor, dan menjual usahanya. “Ada yang mengatakan, sejak Indonesia merdeka, belum pernah ada orang Indonesia yang keliling dunia. Jadi, anda jangan mimpi ya,” kenangnya. Tapi, semua penolakan dan keraguan orang, justru makin menguatkan tekadnya.
“Selama 5 tahun, mental saya seperti dilatih oleh Sang Pencipta. Ditabrak, lumpuh, tapi bisa bangun lagi. Orang mengatai saya gila, impossible tapi saya, keep on going. Akhirnya dapat sponsor, dihitung, hanya bisa ongkos ke 9 negara. Orang bilang nggak cukup, tapi saya tetap jalan. Ternyata sampai akhirnya bisa mencapai 70 negara,” ujar Jeffrey. Modal awalnya tak sampai semiliar rupiah. Bahkan, kemampuan bahasa Inggris pun ala kadarnya. “Ya, cuma bisa ngomong Inggris khas pelajaran di saat sekolah. Misalnya, Hi my name is.. I come from.. bla.. bla dan seterunya. Tapi akhirnya, belajar dan bahkan saya bisa presentasi di depan orang-orang asing di sejumlah negara,” paparnya.
Perjalanan tahap 1 mencapai 70 negara, dan Jeffrey kembali ke Indonesia November 2008. Motornya pernah hilang dicuri saat di Belanda. Tapi itu tak menyurutkan semangatnya. Jeffrey pun meneruskan perjalanan, dan berakhir pada 20 September lalu. Selama hampir 8 tahun, Jeffrey berkendara 420 ribu kilometer, mendatangi 97 negara di lima benua.
“Dengan kekuatan mental dan pikiran, kita bisa. Manusia diciptakan dengan kekuatan luar biasa. Tapi manusia jugalah yang kerap membuatnya jadi biasa. Alam bukanlah sesuatu yang harus ditantang, atau dilawan. Tapi dijadikan sahabat. Saat salju turun, atau panas terik, nikmati dan disyukuri. Saya bisa, bukan karena hebat. Saat kita bersyukur dan gembira, sel-sel tubuh jadi senang dan memberikan energi luar biasa,” katanya.)
 
Bagaimana pengalaman menghadapi suhu dan kondisi paling ekstrim? Di
Alaska, misalnya, siang hari 55 derajat, tapi begitu malam nge-drop sampai minus 8 derajat. Tapi Alhamdulillah tidak pernah sakit berat. Saat start, usia sudah lebih dari 40 tahun, tapi kondisi cukup sehat. Saya sering riding dan pernah keliling Indonesia. Tua atau muda itu kuncinya dipikiran kita. Selama 7 tahun di jalanan, mengalami flu 2 kali. Saat pulang ke rumah, barulah semua badan terasa sakit (hahaha).
 
Siapa yang memfasilitasi dan membantu selama perjalanan ini?
Banyak orang membantu. Ketika start, saya seperti blank canvas. Tidak tahu bagaimana menghadapi cross border dan sebagainya, karena tak pernah ada contoh. Awalnya, sebelum jalan menuju negara tertentu, saya arrange semua, mulai dari rute sampai hotel. Tapi setelah enam bulan, ternyata lebih baik menggelinding saja, sehingga saya tidak berkejaran dengan waktu. Saat menemukan pemandangan bagus, saya camping. Saya tak mau melewatkannya, dan menikmatinya.
Di jalanan, saya banyak belajar. Dulu tidak tahu caranya presentasi, sekarang bisa. Dan di luar negeri, tiap presentasi dapat 2.000 USD. Itu lumayan untuk biaya menyambung perjalanan. Sebulan, bisa 8.000 USD. Saya juga mensiasati pembiayaan. Di negara-negara tertentu bisa saving, di negara lain, sharing. Tuhan memberi kita dua tangan, menerima dan memberi. Yang penting pandai mengatur.
Saat membanggakan, saya diundang Horison’s Unlimited Traveller Meeting, tahun 2013, di Amerika. Bertemu para legenda penjelajah dunia seperti Ted Simon dan Sam Manicom. Saya presentasi di penutup acara itu. Saya sampai menangis terharu. Itu penghargaan luar biasa untuk Indonesia. Mereka mungkin lupa nama saya, tapi mereka akan ingat bahwa saya orang Indonesia.
 
 
*(Ted Simon adalah biker Jerman kelahiran Inggris. Dia legenda petualang dunia. Tahun 1973, Simon berkendara 103 ribu kilometer dan melalui 45 negara, selama 4 tahun. Ted Simon Foundation mendirikan Jupiter’s Traveler, yang anggotanya 5 juta penjelajah dunia. Sedangkan Sam Manicom, kelahiran Belgia, biker selama 8 tahun, melalui 55 negara, sepanjang 321 ribu kilometer).
 

Terjauh berkendara sehari berapa kilometer?
Pernah 1.400 kilometer tak berhenti, saat melewati Gulag, Siberia. Daerah yang cukup berbahaya. Setelah berkendara 600 km, cari hotel, ternyata penuh. Diberi petunjuk next hotel, sekitar 200 km, saya terus. Ternyata penuh juga. Saat itu summer, jadi siangnya amat panjang. Sampai jam 10 malam, masih terang. Melihat saya kelelahan, pemilik hotel terakhir rupanya kasian, dan saya ditawari tidur di atas menara penjaga. Begitu bangun pagi, wah rasanya luar biasa. Saya tidur dikelilingi pemandangan menakjubkan. Keajaiban dan pertolongan Tuhan, sering saya alami. Saya banyak dibantu orang, mengandalkan skill dan networking. Tapi saya pantang meminta-minta. Pokoknya, jalani saja, maka pertolongan datang.
 
*(Gulag dikenal sebagai kamp kerja paksa yang didirikan tahun 1917. Gulag adalah tempat buangan para penjahat, dan tahanan politik. Tahun 1939, labih dari 1,5 juta orang dibuang di sini. Orang yang selesai menjalani hukuman tidak diizinkan kembali ke kota, sehingga banyak menetap di kota-kota sekitaran Gulag).
 
Kenapa memilih motor BMW, dan bagaimana mensiasati bawaan yang banyak? Saya butuh motor dengan engine besar. Tapi saat itu sulit, karena motor besar surat-suratnya banyak yang ilegal. Akhirnya ketemu BMW, ada surat resmi tapi umurnya kuno. Tapi nggak apa-apa. Pakai motor kuno, touch-nya beda.
Beban yang dibawa di motor memang overload. Sekitar 450 kilo. Ahli dari Jerman pernah meragukan saya bisa sampai ke negaranya, dengan beban seberat itu. Tapi, saya buktikan bisa. Lalu, dia malah mau tukar motor ini dengan yang baru.
 
*(Jeffrey mengendarai BMW R1150GS dengan nomor D 5010 JJ. Mengusung bendera Ride For Peace, tahun 2006-2008, Jeffrey menjelajahi 72 negara di Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Lalu, dilanjutkan tahun 2012, mulai di Paris, Perancis, dan masuk Benua Amerika melalui Vancouver, Canada. Motornya sempat hilang di Belanda, dan diganti motor sejenis, dengan nomor D 5010 JP. Di Alaska, dia melalui loose gravel, ribuan kilometer sepanjang Dalton Highway dan mencapai Deadhorse, Prudhoe Bay, jalanan di utara Amerika yang amat terkenal keganasan medannya. Juli 2015, sampai di Australia, lalu masuk Timor Leste, menuju Indonesia dan perjalanannya berakhir di Jakarta pada 20 September yang lalu. Total 97 negara.
 
Apa saja yang Anda bawa di motor?Yang saya bawa, rumah, karena bisa kemping dimana saja. Saya bawa dapur, bisa masak apa saja termasuk omelete. Juga bawa garasi, bengkel. Saya bisa perbaiki kerusakan motor. Saya bawa kantor. Saya bisa mengedit foto, membuat video sendiri. Semua barang itu, dipacking khusus dan lebih simpel. Menurut saya, tiap orang kebutuhannya beda. Jadi bawa apa saja boleh, asal membuat diri kita nyaman.
 
Bisa dikisahkan, pengalaman di perjalanan yang paling luar biasa?
Saat di tengah gurun, sering kesasar, karena di GPS, kadang tidak ada rutenya. Yang paling berat di Atacama (Amerika Selatan). Itu gurun terkering di dunia. Dua hari tersesat dan kehabisan air. Di peta, jaraknya sekitar 60 km, tapi pasirnya lembut sekali jadi saya mendorong motor jalan kaki, sekitar 10 km. Jelang malam, air tinggal sedikit. Saya berpikir, mungkin besok meninggal. Saya berserah. Bukan pasrah, bukan menyerah. Saya bicara sendiri, dan berterimakasih kepada Yang Kuasa. “Terimakasih, saya sudah sampai di sini. Mungkin besok saya meninggal, tapi tak mengapa. Itu Kuasa-Mu.” Malam, saya tertidur, tiba-tiba mengalami kedinginan luar biasa. Saya pakai dua lapis sleeping bag, dan baju salju, tetap dingin. Tengah malam, saya ingin kencing, saya tampung airnya, untuk bertahan hidup. Tapi begitu buka tenda, saya melihat salju. Wow, luar biasa. Bayangkan, di gurun terkering di dunia, bisa turun salju. Tuhan tidak tidur. Saya kumpulkan salju dalam botol besar. Saya selamat.
            Saya juga sering dalam kondisi bahaya. Tapi akhirnya saya menyimpulkan, bahaya itu tergantung waktu dan tempat. Di Jakarta pun bisa celaka kalau waktu dan tempatnya salah. Saat di Meksiko, saya masuk wilayah yang tidak ada polisinya, karena dikuasai kartel narkoba. Local rider melarang saya masuk ke wilayah itu. Tapi, makin dilarang malah penasaran. Dua hari sebelum ke situ, saya posting di facebook, ternyata ada kawan yang berada di sekitarannya, mention saya. Orang ini pernah saya tolong saat di Alaska, dan kini gantian, membantu saya. Dia mengawal saya di jalanan. Motor kadang menepi di jam-jam tertentu jika masuk informasi kartel narkoba akan lewat. Saya tidak sok jagoan. Kuncinya respek pada orang lain, maka Tuhan akan kasih jalan.
 
Berarti, hasil dari perjalanan ini membuat Anda makin religius ya...
Saya banyak mendapat pengalaman spiritual dan pencerahan. Karakter saya jadi jauh berubah. Saat takut, saya yakin kepada Yang Di atas. Pernah ditodong senjata di Afghanistan, saya tetap tenang. Yang menodong itu bingung, “Anda tidak takut? Nggak. Kamu akan mati? Saya jawab, I know.” Begitu saya membuka helm, dia kaget melihat kulit saya hitam dan bilang dari Indonesia. Orang itu akhirnya melepaskan saya, karena dia ingat dulu pernah ditolong banyak mujahidin Indonesia, saat melawan musuhnya.
 
Atas keberanian mengelilingi dunia sendirian, jangan-jangan urat takut anda sudah putus..
Hahaha. Sebenarnya ketakutan itu bisa jadi rem. Ketika kita berserah, maka serahkan diri kita 100 persen kepadaNya. Apapun yang terbaik, itu keputusanNya. Saat kita takut, klik di otak kita, ke zero emotion. Buat diri kita numb. Bebal, netral. Percaya kepada kekuatan Yang Maha Kuasa. Saya sendirian di jalanan, tapi ada Yang Di Atas yang menemani. When you are alone, you never be alone.
Di Pakistan, saya berputar-putar di jalanan, tak tentu. Tiba-tiba ada orang berhenti dan bertanya, mau kemana, dan mana temanmu? Saya jawab sendirian. Wah, dia kaget. Dia bilang ini areal bahaya, mari ikuti saya. Nah, akhirnya dia jadi teman saya. Coba, misalkan, saat itu saya berdua, belum tentu dia berhenti dan membantu saya.
 
Tips menepis rasa takut? Ibarat kita naik kendaraan, saat malam menyalakan lampu. Nah, kita melihat, jarak sepanjang jalur yang diterangi lampu. Kerjakan dan fokus pada bagian yang terang itu. Rasa takut dan kuatir timbul karena kita sering memikirkan bagian yang gelap. Kerjakan yang bagian terang saja. Kita nge-gas kendaraan, toh akhirnya maju. Pelan-pelan pun akhirnya sampai.
 
 
Bertahun-tahun di jalanan, bagaimana dukungan keluarga?
Keluarga tidak ada masalah. Saat mau start, saya bertanya kepada mereka, dan akhirnya kami sekeluarga committe. Saya berterimakasih pada teknologi. Bisa telepon, skype saat ada kesempatan.
 
Apa mimpi atau rencana Anda selanjutnya?
Saat ini saya ingin menginspirasi generasi muda. Banyak undangan ke kampus-kampus, untuk memotivasi. Saya yakinkan mereka, kita ini bangsa yang mampu dan punya segalanya. We have everything. Salju, gurun, gunung, pantai yang indah, dan sebagainya. Kita ibarat lahir di surga, tapi sering kurang menghargai. Masih buang sampah sembarangan. Maka, mulailah kita menghargai dari hal-hal kecil. Kalau kita melakukan ini, kita akan jadi bangsa juara dunia.
 
 

 
Sudah Keliling Indonesia Di Usia 25 Tahun
Pernah Disangka Mata-mata Di Pakistan
 
Begitu punya SIM, Jeffrey mengendarai motor Honda CB100 dari Bandung sampai Bali. Sendirian. Setelah itu petualangannya tak berhenti. Jeffrey lahir di Bandung, 18 Juni 1962. Di usia 25 tahun, dia sudah bermotor keliling Indonesia. Saat muda, Jeffrey hobi mendaki gunung, terbang layang solo flight, menunggang kuda dan menembak.
Atas prestasinya keliling dunia, Jeffrey diganjar berbagai penghargaan. Salah satunya yang prestisius dari Ikatan Motor Indonesia. Sejak IMI berdiri seratus tahun lalu, baru dua orang yang menerima penghargaan ini. Salah satunya Jeffrey. Dia juga tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang bergabung dalam organisasi penjelajah dunia Jupiter’s Traveller, naungan legenda Ted Simon Foundation.
 
            Saat keliling dunia, motornya pernah rusak atau jatuh? Gear box rusak berulang kali. Ganti ban 39 pasang. Motor pernah ganti tapi tak pernah beli. Kalau motor rusak di jalan, saya perbaiki sendiri. Ada beberapa alat khusus yang diberi atau tukaran dengan teman saat di perjalanan. Tapi, sebelum rusak parah, dan saat terasa gejalanya, saya belok ke kota. Jadi diperbaiki di bengkel. Ban bocor pertama kali di Malaysia. Saya perbaiki sendiri, butuh waktu 8 jam. Duduk di pinggir jalan, sambil membaca buku manual. Bongkar, bongkar. Susah dan keringatan. Tapi, akhirnya belajar. Berikutnya, sudah tidak 8 jam lagi. Kalau motor jatuh di gurun, memberdirikannya bisa dua jam. Saya unload dulu barangnya. Gerakan tidak bisa cepat karena hemat tenaga di suhu yang panas.
            Saat lewat daerah konflik, apakah tidak dicurigai sebagai mata-mata? Ya, pernah saat di Pakistan. Saya diinterogasi berkali-kali. Di Islamabad, mereka geledah saya tiga jam, mencari telepon satelit. Sebelum ketahuan, saya benamkan telepon satelit milik saya ke dalam pasir. Kalau ketahuan, saya pasti langsung masuk penjara. Sejak itu, saya tidak pernah lagi membawa telepon satelit.
            Apakah di perjalanan pernah jatuh cinta lihat wanita cantik di negara-negara tertentu? Apalagi jauh dari anak istri? Awalnya, memang berat menahan godaan. Tapi, saya sering mengingatkan diri. “Hati-hati nanti kena penyakit. Nanti kena aids.” Saya respek pada isteri saya. Dia mengizinkan saya pergi. Tak semua istri bisa bersikap seperti itu. Pada dasarnya, godaan itu datang karena kita meng-create. Jadi, saya akhirnya bersikap rileks dan lurus-lurus saja. Saat “kepenuhan” ya luar biasa, malah diberi mimpi kan (hahaha). ***
 
Note: Semua foto-foto yang ditayang di atas adalah Koleksi Pribadi Jeffrey Polnaja. 

Wawancara ini dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Kamis, 28 Oktober 2015 (Inspirasi di Hari Sumpah Pemuda)