Minggu, 24 Mei 2015

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Utama Bank Mandiri: Lagi Sakit Jangan Sok-sokan, Berhenti Lari, Lalu Istirahat



          Berbincang dengan Budi Gunadi Sadikin soal situasi ekonomi terkini amat menarik. Direktur Utama Bank Mandiri itu sebenarnya amat sungkan berkomentar tentang ini, apalagi ditanyai tentang resep keluar dari krisis.
Merasa bukan dokter, dia menyebut ada resep sederhana. Ibarat orang sakit, saat ini baiknya istirahat, minum obat. “Dan jangan berantem, kalau ingin cepat sembuh,” katanya, tertawa. Berikut perbincangan lebih lengkap saat diwawancarai eksklusif oleh Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari dan M Aditya Nugroho.
 
Ekonomi Indonesia kini melambat. Sebagai bankir, bagaimana anda menyikapi situasi ini? Indonesia memang very unlucky. Sering krisis dan jaraknya pendek-pendek. Selama bekerja sebagai bankir, saya mengalami beberapa kali. Tahun 1998, krisis besar sekali. Lalu 2002-2005, lebih kecil. Tahun 2008, besar. Dan 2013-2014 kini krisis lagi. Tapi, ada juga lucky-nya. Indonesia punya banyak regulator, bankir dan pengusaha yang pengalaman menghadapi, menangani krisis. Mereka masih hidup, bahkan mungkin masih bekerja di tempat yang sama, saat dulu krisis sampai kini terjadi lagi. Di Amerika tidak begitu. Krisis mereka jaraknya panjang-panjang, sehingga bankir dan pengusahanya yang pernah mengalami krisis, mungkin sudah meninggal atau pensiun, saat negaranya krisis lagi.

Apa untungnya, punya bankir atau pengusaha yang mengalami krisis berkali-kali?Artinya, kita bisa mengambil keputusan berdasarkan pengalaman. Dulu, putusin begitu, salah. Lalu jadi tahu, bikin beginilah yang benar.
          Sebenarnya pemerintah, pengusaha dan bankir bukankah sudah tahu bakal terjadi krisis saat ini? Tahun 2013, sudah kelihatan dari sejumlah indikatornya kok. Ilmu ekonomi ya samalah seperti melihat kerja dokter. Dokter melakukan diagnosa. Sehingga dia prediksi, ke depan, pasien ini bakal begini atau begitu.
          Bagaimana kondisi perekonomian sekarang jika dibandingkan tahun 1998 dan 2008. Tahun 1998, kita belaga tidak sakit. Bahkan bilang kemana-mana kita nggak sakit. Padahal saat itu kondisi demam, tekanan darah tinggi. Eh malah nekat hujan-hujanan dan jatuh. Langsung koma. Digotonglah ke rumah sakit. GDP drop, bahkan kita sampai kehilangan waktu selama 6 tahun untuk memulihkan ke angka yang sama.

Tahun 2008 krisis lagi. Bunga naik, dolar naik, likuiditas jelek dan kredit macet naik. Tapi, masih bisa tumbuh. Kenapa? Itu karena kita belajar dari pengalaman. Bahwa saat sakit, jangan sok-sokan deh. Berhenti lari, ganti baju, minum obat, minum teh hangat dan tiduran. Istirahat.

Bagaimana kondisi saat ini? GDP dari 6,2 turun ke 4,5. Orang Indonesia ribut kemana-mana. Gegernya seperti ke seluruh dunia. Padahal dibanding sebelumnya, kondisi sekarang much better. Kita sudah pernah overcome, jadi sebaiknya jangan panik. Akui sakit, tapi belajar dari pengalaman, bagaimana cara menanganinya. Pemegang policy bersikaplah kompak. Bicara yang bijak. Demikian juga media. Media juga harus kompak. Ini penting sekali. Tidak kompak itu celaka. Mungkin melakukan ini paling susah.

Budi lantas cerita pengalamannya saat kerja di sebuah Bank di Jepang, tahun 1998. Bosnya, orang Atlanta, memberikan pencerahan tentang pentingnya kekompakan. Ada dua gelas. Yang masing-masing diisi dua ekor kalajengking. Gelas A kalajengking Amerika. Gelas B kalajengking India. Tak sampai dua menit, kalajengking di gelas A, keluar. Tapi di gelas B, tak kunjung keluar. Kenapa? Kalanjengking A kerjasama, saling naik ke punggung dan saat sampai di puncak, kawannya ditarik. Sehingga keduanya berhasil keluar dari gelas. Sedangkan dua Kalajengking B, malah saling pandang penuh curiga. Ketika salah satu berusaha naik, yang lain malah menarik kakinya hingga jatuh. Begitu seterusnya. “Sampai dua bulan pun, itu kalajengking B tak akan berhasil keluar dari gelas,” kata Budi, mengingat kembali cerita bos-nya. Ini kisah humor tapi sarat makna.
     Dia juga menceritakan efek sebuah berita terhadap kurs dan situasi pasar. Gara-gara ada berita ditulis tanpa rasa sensitif, rupiah drop. “Jadi, kalau sayang sama Indonesia, janganlah mengadu domba. Itu bisa membuat orang tidak percaya. Ekonomi dibangun dari trust and confident,” katanya.
     Budi mengaku sedih, dengan prilaku sebagian politisi Indonesia. “Kalau ada orang yang bagus, kesannya kok digergaji rame-rame. Jatuh, lalu ada yang tepuk tangan. Jangan SMS dong (Senang Melihat yang Susah, Red). Itu tidak bagus untuk negara kita. Pasar dengan cepat reaktif. Kalau mau ribut, ya tertutup saja. Dan begitu keluar harus kompak. Saya ngeri kalau kita tidak kompak,” ujarnya.

Bagaimana sebaiknya sikap pemerintah. Apakah boleh mengaku sakit kepada publik atau menutupinya? Yang penting, saat sakit ya jangan berantem sendiri. Kita sekarang sedang proses penyembuhan dan kalau lagi dirawat sama istri, ya jangan bertengkar dong. Nanti malah tambah sakit. Jadi, kita perbaiki diri kita ya. Apakah boleh mengaku sakit ke luar? Ya, ada bahayanya. Sebab, bisa dipandang orang kurang macho, kurang hebat. Tapi, jika yang bicara itu, orang mengerti ya nggak apa-apa. Asal jangan sampai semua orang belaga ngerti, atau ngerasa bisa jadi dokter.

Dokter yang pas menangani krisis ini, siapa dan harus bagaimana? Dokter yang pas, ya lihatlah orang ekonomi yang bener. Yang ngobatin harus ahlinya. Jangan ahli yang main klaim. Lalu, kasih obat yang pas. Kalau sakitnya mencret jangan dikasih obat batuk.

Resep menangani krisis saat ini dari para bankir bagaimana? Saya takut-takut kasih comment. Sehari-hari saya memang praktisi, tapi apakah saya ahli ekonomi makro? Kan nggak. I have to respect ke orang yang mengerti. Silakan para dokter ahli ini berdebat tertutup. Setelah itu beri tindakan ke pasien, tapi nggak perlu bilang ke pasiennya, misal, besok Bapak akan meninggal. Dokter harus bisa memberi optimisme. Cukup kasih tahu apa obatnya, treatmentnya. Mungkin bakal ada painfull process. Tapi dampaknya menyembuhkan.

Kondisi sakit sekarang apakah mematikan? Nggaklah. Indonesia nggak akan mati. Saya bukan ahli ekonomi, tapi saya lihat banyak indikator. Jika dibandingkan tahun 2008, lebih bagus sekarang. Kita masih tangguh. Dulu, ada sejumlah bank jatuh. Sekarang hopefully harusnya nggak ada karena perbankan jauh lebih kuat. Janganlah dibandingkan dengan 1998. Itu jauh banget bedanya. Membandingkan dengan 2008 saja, semua indikator sekarang lebih bagus. Lihat dari bunga, bond yield dan potensi NPL. Beda sekali kondisinya. Jadi nggak usah terlalu panik. Yang penting ada yang harus dilakukan. Obat segera diberikan.

 Obat yang pas diberikan untuk keadaan sakit sekarang, apa ya?Saya itu lulusan fisika nuklir. Saya juga bukan dokter by training dan nggak pernah kasih resep (tertawa). Tapi, kalau dokter melakukan diagnosa misalnya, mengukur suhu badan, tekanan darah. Maka, sekarang ini, saya lihat indikasi ya. Kolektabilitas naik, sales turun, otomotif turun, property turun, semen turun. Artinya jelas, ekonomi turun. Maka, bank mesti me-restructure, agar cashflow mereka terjaga dan jangan sampai mereka nggak bisa bayar utang. Tapi, di sisi lain, saya lihat yang retail seperti credit card, credit otomotif, masih bagus NPL-nya. Jadi, baiknya dorong consumer spending. Consumer confident index harus dijaga.
        
  Bagaimana caranya? Kalau semua orang bilang kondisi ekonomi susah, dampaknya, orang jadi berhemat dan nggak belanja. Di tahun 2008, yang dilakukan Pak JK itu menarik. Beliau bilang, ayo pakai batik jangan pakai jas, dan ayo pakai sepatu Cibaduyut. Akhirnya semua ikut. Itu hal bagus. Kalau kita pakai batik pasti lebih sering ganti daripada pakai jas. Jadi, kita banyak beli batik. Sedangkan jas cukup satu, bisa 5-6 tahun baru ganti. Beli batik pun ke Yogya, Pekalongan, sentra baik. Kalau beli jas ke luar negeri. Itu salah satu cara menjaga consumer confident. Contoh lain, acara pemeran mobil, mebel, perumahan sebaiknya tetap dilakukan, supaya orang-orang tetap spending.

Sikap pemerintah sekarang apakah sudah cukup kompak? Dan bagaimana penilaian bankir terhadap cara pemerintah menangani krisis, apakah sudah on the track? Menurut saya, mesti lebih terkoordinasi. Semua yang ada di jajaran pemerintah dan orang-orang news maker, baiknya memahami, ini porsi saya, dan ini bukan porsi saya. Tahu Indonesia sakit, sebaiknya bicara konstruktif. Kalau secara tertutup, ya silakan ngomong apa saja. Terbuka. Tapi, saat keluar, keep buying strategi. Kalau ngomong yang nadanya pesimis, masyarakat nggak akan spent uang.

Rakyatnya disuruh belanja. Kalau pemerintahnya bagaimana? Apakah perlu juga melakukan spending besar, padahal ekonomi lagi sulit? Pertama, Pemerintah juga perlu jaga consumer spending. Semua atuan, regulasi dan berita yang berkaitan consumer spending harus dipush. Kayak modelnya Pak JK itu. Batik atau sepatu cibaduyut. Kedua, goverment spending juga mesti keluar. Dulu 2008, pemerintah nggak punya bujet, sekarang ada fiskal room sekitar 200 triliun dari pengalihan subsidi BBM. Nah, itu mesti cepet dikeluarin. Jangan dihemat. Bagaimana mengeluarkannya? Pakai cara yang pinter.

Apa itu cara yang pintar?Kita tahu, kalau keluarnya dari birokrasi kementerian atau lembaga, bisa lama. Jadi, bisa melalui BUMN atau swasta. Menteri BUMN berkomitmen mempercepat proses-proses pembangunan. Di Mandiri, aplikasi loan yang sudah disetujui kwartal pertama ini mencapai Rp8,8 triliun untuk infrastruktur. Padahal tahun lalu hanya Rp1-2 triliun saja. Kami ikut di pembangunan Makasar Airport, jalan tol Semarang, dan proyek kereta api Bandara Soetta. Hopefully, ini semua lancar. Kalau itu segera bergerak, maka jualan semen laku, buruh kerja lagi, dan bisa belanja lagi.

 Belakangan ini pemerintah banyak melakukan grondbreaking. Persoalan yang tersisa mengenai pembebasan lahan, perizinan yang terhambat apakah jadi pertimbangan perbankan, mengingat dalam pembiayaan, perlu ada prinsip kehati-kehatian. Itu betul. Tapi bank nggak bisa bebasin tanah. Makanya, yang diberikan ke proyek jalan tol, disverse-nya per tahun, misalnya beda dengan ke pelabuhan. Kalau ke proyek yang sudah bersih, kita pede. Yang saya dengar, kini ada aturan berlaku yang memudahkan proses-proses itu. Persoalan pembebasan tanah atau izin, itu beyond bank. Bagusnya sekarang, pemerintah mau hands on. Pemerintah sekarang itu sifatnya lebih eksekusi. Jadi, harusnya semua proyek bisa lancar dibangun.

Bagaimana dukungan perbankan terhadap sektor maritim, yang jadi andalan Pemerintahan Jokowi? 
Mandiri keluarkan sekitar Rp17 triliun, atau 20 persen dari total kredit maritim di seluruh perbankan Indonesia. Paling banyak di sarana prasana maritim, misalnya coldstorage, pabrik. Kalau yang
tangkap ikan dan budidaya, kreditnya sekitar Rp1,7 triliun atau 18 persen dari total kredit maritim di perbankan nasional. Sistem kredit ke nelayan, kita memberi ke parent-nya. Seperti program inti plasma. Ada koordinator yang mengumpulkan nelayan-nelayan.
 
Tentang konsolidasi bank dan rencana merger. Setelah dulu gagal dengan BTN, apakah Mandiri masih berminat melakukan hal yang sama. Soal itu, saya puasa ngomong (tertawa). Ke depan, untuk bisa kompetisi di Asean, tentu dibutuhkan bank dengan modal besar. Kalau ada opportunity untuk melakukan transaksi non organik, kita terbuka.
  
Apakah bank-bank syariah juga perlu dikonsolidasi? Menurut saya, kita kerja mesti pakai prioritas. Suatu saat, bank Syariah pun harus modalnya gede. Kompetisi dengan Asean kini di depan mata. Kalau modal tidak besar, bank akan sulit mensupport pembangunan di negaranya sendiri. ***

Wawancara ini sudah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 25 Mei 2015