Selasa, 02 Februari 2016

Eksklusif dengan Dirut Angkasa Pura 1 Sulistyo Wimbo (2): Punya Restoran Mbah Jingkrak, Hobi Travelling


      Pencinta kuliner pasti tahu restoran Mbah Jingkrak di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan. Sajiannya cukup terkenal dengan menu-menu Jawa pedas. Ternyata pemiliknya adalah Sulistyo Wimbo Hardjito.

“Di rumah, saya punya Warung Mbah Jingkrak. Ada menu yang bisa bikin rambut berdiri ha...ha...ha... Suasananya santai, tapi saya nggak berani tarktir karena di sana kalau makan bisa keringetan hahaha,” papar Wimbo. 

Foto 1. Dirut Angkasa Pura 1 Sulistyo Wimbo Hardjito saat diinterview Rakyat Merdeka

    Dia sudah 7 tahun memiliki Warung Mbah Jingkrak di Setiabudi. Bersama istrinya, dia menyerahkan bisnis ini kepada ahlinya, ada 7 orang chef dan 7 pegawai. Jualannya masakan pedas. Tapi Wimbo tidak suka makanan pedas. “Nggak kuat,” katanya.
 
Bisnis rumah makan ini dia beli tahun 2008 sebagai pengisi waktu luang, saat berhenti dari PT Indosat 2007. Berkarier selama 23 tahun di perusahaan telekomunikasi itu, dengan jabatan terakhir Direktur Corporate Service. 

Selepas dari Indosat, pria kelahiran Blitar itu, diajak bergabung ke PT KAI sebagai Direktur Komersial. Bersama Ignasius Jonan, Wimbo dianggap berhasil menjadikan moda kereta api sebagai ular besi yang hebat. 

Setelah lima tahun berkarier di KAI, Wimbo lalu ditugaskan ke Pelni, sebagai Direktur Utama pada Mei 2014. Dan Juni 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno menugaskan dia sebagai Dirut di Angkasa Pura I. 

Kini, AP I mengelola 13 bandara di wilayah tengah dan timur Indonesia dan dua cargo warehousing serta ATSC (Air Traffic Service Centre). Ke 13 bandara itu adalah Ngurah Rai (Bali), Juanda (Surabaya), Hasanuddin (Makassar), Sepinggan (Balikpapan), Frans Kaisiepo (Biak), Sam Ratulangi (Manado), Syamsudin Noor (Banjarmasin), Ahmad Yani (Semarang), Adisutjipto (Yogyakarta), Adisumarmo (Solo), Selaparang (Mataram), Pattimura (Ambon) dan El Tari (Kupang). 

Apa saja hobi Anda di saat senggang? Saya hobi traveling. Jalan-jalan yang cukup mengesankan antara lain saat mengunjungi Ice Hotel, di Iceland. Itu pengalaman sangat menarik. Kami masuk hotel pukul 7 malam, karena saat siang sampai sore, hotel itu jadi kunjungan wisatawan. Kami tidur dengan sleeping bag dari kulit rusa.

Dengan penuh semangat Wimbo mengisahkan pengalaman travelling-nya. Dia juga pernah mengendarai mobil dengan kecepatan 300 km perjam di Los Angeles, Amerika Serikat dan naik helikopter mengelilingi Las Vegas karena ingin melihat keindahannya di saat malam. 

“Itu saya kira (Las Vegas) kota paling colorful di dunia, Macau mungkin hanya seperlimabya saja dari Vegas,” kisahnya.

Apa sih cita-cita yang belum terwujud? Wimbo bilang, dulu saat kecil punya mimpi ke Amerika. Tapi itu sudah terlaksana. Ke Masjidil Haram juga sudah. “Bahkan saya berangkat ke Tanah Suci dari Jerman, karena saya tinggal 1,5 tahun di sana,” ujarnya. 
            
Kesukaannya traveling rupanya membawa manfaat ke pekerjaan. Apalagi, sekarang dia mengurus bandara. “Saya senang jalan. Makanya ketika ditugaskan mengurus KAI, ya saya senang di jalanan. Di Pelni juga begitu, bisa tiga hari dua malam menuju Sorong dan nggak ada sinyal. Tapi ya saya nikmati saja,” katanya. 

Terkait karier, apakah Amda punya target tertentu yang ingin dicapai?
Saya ini sudah 60 tahun. Saya nggak cari nama, tapi cari karya. Saya nggak cari sesuatu supaya terkenal. Sekarang ini yang terpenting adalah semoga hasil karya saya berguna untuk tempat unit saya bertugas. ***

Artikel ini sudah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 1 Februari 2016


 

Eksklusif dengan Dirut PT Angkasa Pura I Sulistyo Wimbo Hardjito (1): Saya Kebut No Airport Left Behind Biar Nggak Diledek Pak Jonan..."


   Di usia yang ke 60, Sulistyo Wimbo Hardjito masih berani menerima tantangan dan penugasan berat. Dia ditunjuk jadi Direktur Utama PT Angkasa Pura (AP) I, yang mengelola 13 bandara Indonesia. Wimbo, sapaan akrabnya, biar sudah tak muda lagi, tapi sangat enerjik. Ngobrol dan diskusi dengannya begitu hidup karena gaya bicara Wimbo penuh semangat, dan suka melucu.

Foto 1. Dirut Angkasa Pura 1 Sulistyo Wimbo saat interview dengan Tim Rakyat Merdeka

       Kamis pekan lalu, tim Rakyat Merdeka: Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Sarif Hidayat dan fotografer Wahyu Dwi Nugroho, mewawancarai Wimbo sambil makan siang di kawasan Setia Budi, Jakarta. Dengan penuh semangat namun dalam suasana santai dan cair, dia menceritakan tips dan strateginya mengurusi bandara di wilayah tengah dan timur Indonesia. Termasuk bandara destinasi wisata, yang selama ini masih merugi. Berikut ini petikannya.
 
Bagaimana adaptasi pekerjaan, dari mengurus kapal di Pelni, lalu berubah jadi mengurus bandara di Angkasa Pura 1? Saat di Pelni, kami berangkat dari perusahaan yang rugi dan aspek permasalahannya amat banyak. Sedangkan Angkasa Pura adalah perusahaan yang kategori labanya sedang sehingga tantangannya agak berbeda. Di Pelni, kami mengejar hal-hal yang basic. Sedangkan di AP I harus mengejar nilai tambah. Apa yang dilakukan pendahulu saya di AP-1 sudah bagus, nah, saya harus perbagus. 

Tantangan lain di AP I adalah tentang kondisi SDM (Sumber Daya Manusia). Dalam kondisi perusahaan cukup baik, biasanya SDM merasa nyaman sehingga tidak mau ambil risiko dan kurang kreatif. Nah, ini harus disemangati. Jangan sampai, kondisi ini malah membuat kinerja perusahaan turun. 
 
       Sebelum bertugas di AP I, Wimbo adalah Dirut PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Belum setahun di situ, dia mampu “menyulap” perusahaan itu jadi untung. Dari rugi Rp 634 miliar di 2013, berubah jadi untung Rp 11,2 miliar pada 2014. Tahun 2016 ini bahkan Pelni berani pasang target laba sampai 100 miliar. Sebelum di Pelni, Wimbo pernah 23 tahun berkarier di PT Indosat, lalu lima tahun di PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai Direktur Komersial. Wimbo ditunjuk jadi Dirut PT Angkasa Pura I sejak Juni 2015. 
 
Nilai tambah apa yang sudah diberikan sejak Anda memimpin AP I? Salah satunya welcoming SMS. Saat kita mendarat di bandara-bandara yang dikelola AP I, otomatis penumpang terima SMS selamat datang. Kebetulan, background saya kan seluler. Wifi masih sepotong-potong. Kapasitas kadang belum memadai. Ini sedang coba diselesaikan.
 
 Kalau AP II ingin menjadikan bandaranya sebagai Smile Airport. Kalau AP I targetnya apa? AP II dan AP I itu sebenarnya seguru seilmu. Target saya di AP I adalah No Airport Left Behind (tidak ada bandara yang tertinggal-red). Ini kelihatannya target sederhana, padahal maknanya dalam. Jangan sampai, hanya airport yang untung diperbaiki, sementara yang tidak untung dibiarkan seadanya. Apalagi, sekarang arah pembangunan itu ke timur, dan masih ada bandara di timur yang tertinggal. Tahun ini, di Kupang dan Biak, misalnya, harus pakai garbarata, supaya penumpang yang turun di sana tidak merasa kecil hati. 
 
Bagian tersulit dari mengurusi bandara di wilayah tengah dan timur apa ya? Ada hal-hal basic yang belum terpenuhi. Bisnis bandara itu harus steril and mengutamakan security. Sementara di Bandara Biak misalnya, masih ada orang yang berani nyebrang runway. Saya tanya, ngapain Pak? Alasannya, cari belalang. Lalu, pagar bandara pun dibolongi. Saya hitung, jumlah lubangnya ada 91. Problem lain, ada bandara yang sekelilingnya sulit dipagari. Alasannya banyak. Penduduk tidak setuju karena jalurnya dipakai untuk mengantar anak sekolah, atau ada hak ulayat atau karena kontraktornya tidak sanggup meneruskan pembangunan, dan seterusnya. Bahkan, ada tembok bandara dilubangi persis di depan rumah, lalu dia bikin taman. Ya, memang tidak mudah menangani ini. Tapi, give me time.
 
Pembangunan bandara di timur, wilayah mana yang diprioritaskan? Penekanan saya di Kupang, karena Presiden juga pernah ke sana. Saya sudah bolak-balik ke Kupang untuk memperbaiki bandara di sana. Pak Menteri Perhubungan (Ignasius Jonan-red) berulang kali bilang, kalau nggak sanggup (urus Bandara Kupang), balikin ke saya. Nah, saya jawab, jangan begitu. Saya butuh waktu (untuk memperbaiki).
 
Butuh waktu berapa lama memperbaiki bandara di Kupang? Ya, targetnya selesai akhir tahun 2016. Sebelumnya, Kupang sudah melangkah. Sempat ada pembangunan, tapi distop karena ada gosip di-mark up dan sebagainya, sehingga tidak selesai. Sekarang ya harus diselesaikan, dengan sabar. Saya bicara ke Gubernur, sudah ada tanggapannya. Kini dalam tahap beautifikasi (mempercantik). Kebetulan direktur tekniknya perempuan. Kalau direkturnya lelaki, mungkin namanya machofikasi ha...ha...ha...
 
Berapa jumlah bandara di AP I yang masih left behind? ABK atau Ambon Biak Kupang itu yang masih left behind. Security dan safety belum ada. Pagar untuk mengelilingi airport itu masih dambaan. Jadi, kita masih berusaha mengejar tahap basic dulu di sana. Pendekatannya ke masyarakat harus integral. Melibatkan bupati, dan pihak akademisi. Kami juga ganti GM (General Manager) bandaranya. Semoga dengan ganti koki, nanti ganti ramuan. Dan hasilnya, ada. Misalnya, (dari 91 lubang di tembok bandara), sekarang ada 66 yang sudah ditutup. 

Kalau mengejar yang basic saja belum bisa, kapan airport kita mau sebagus Singapura atau Heathrow di London? Singapura dan Heathrow di London itu tugasnya sekarang memperluas terminal. Baggage handling system-nya sangat canggih dengan pendeteksi alat peledak. Mereka juga punya hotel bagasi. Sehingga saat pesawat delay, bagasinya aman. Proyek investasi sistem bagasi saja mencapai 800 juta dolar AS. Jadi, kelasnya dengan kita masih jauuuh. Kita masih ngurusin yang basic-basic. 

Bayangkan, kita masih urus orang yang tidak boleh lewat runway. Dan covenyor belt-nya masih yang ada bentuk T. Begitu bagasi datang, langsung jatuh kalau tidak diambil. Kita sekarang ini masih dalam tahap membangun bandara, dan itu membutuhkan tanah. Padahal di negara maju, pemerintah yang siapkan tanahnya, operator hanya membangun bandaranya.  
 
Tentang pengadaan tanah untuk keperluan membangun bandara, ini sesungguhnya domain siapa? Alangkah bagus kalau BUMN ini membangun terminal airport saja, sementara tanahnya milik pemerintah. Apalagi bandara kan project public partnership. Pemerintah Korea, misalnya, mereka menyediakan lahan yang amat besar untuk keperluan Bandara Incheon. Demikian juga bandara Kuala Lumpur. Sementara di Indonesia, ada Perpres (Peraturan Presiden) bahwa untuk wilayah BUMN tidak boleh pakai APBN. Sehingga, kalau kami mau bangun bandara ya kami juga mesti beli tanahnya. Di Yogyakarta, misalnya, butuh tanah 600 hektar. Itu harganya bisa sekitar Rp 3-4 triliun. Kalau pinjaman, bunganya saja mencapai Rp 400 miliar. Cukup berat. Apalagi, kalau pendapatan airport belum banyak, sementara kita juga harus bayar tanah, ya nggak kuat. 

Bayangkan, kalau mekanisme ini diberikan kepada swasta. Apakah ada yang mau? Dalam bisnis, keuntungan minimal harus 30-40 persen. Misalnya, apa ada yang mau bangun perusahaan angkutan bus, tapi disuruh membangun jalannya juga. Di sisi lain, Jasa Marga misalnya, hanya membangun jalan, tapi tanahnya punya negara. 

Dari 13 airport yang dikelola AP I, berapa yang untung dan berapa yang rugi? 
Ada 7 airport yang untung dan 6 rugi. Alhamdulillah seimbang. Kenapa masih ada yang rugi, mungkin juga pengaruh dari aspek budaya dan kebiasaan masyarakat yang masih tertinggal. Yang rugi di Ambon, Biak, Kupang, Manado, Lombok dan Solo.
 
Bukankah Solo adalah kampungnya Presiden dan jadi destinasi wisata? Tapi mengapa masih rugi? Ya. Solo memang terminalnya bagus, runway juga bagus, tapi nggak laku. Sementara Yogyakarta runway pendek, terminalnya sesak tapi laku. Ini ibarat jualan gudeg. Ada gudeg pawon yang jualannya di dapur, jelang tengah malam, orang tetap mau beli, meskipun antre dan keringetan.
 
Apa strategi AP I agar membuat Bandara di Solo untung? Saya sedang kembangkan segmen baru. Ini masih di-explore. Di Solo, kloter hajinya ada 77, sedangkan Banjarmasin hanya 13. Nah, berarti jumlah jemaah haji di Solo 5 kali lebih banyak dibanding Banjarmasin. Tapi, mengapa Banjarmasin bisa kirim umroh setiap pekan, tapi Solo hanya sedikit? Rupanya, di Solo tidak ada travel haji yang besar. Padahal, dari Surabaya ada travel bisa kirim umroh langsung ke Madinah. Solo harusnya bisa melakukan ini. Travel agent di Solo mestinya lebih agresif. Nggak ada penumpang, jangan malah nggak promosi.
          Di bandaranya, saya buat lounge khusus umroh. Ada tulisan asmaul husna, bacaan tawaf dan suasana dibuat religius, misalnya ada ucapan: selamat datang tamu Allah, dengan parfum dan aroma terapi yang wanginya khas. Ini supaya begitu jemaah tiba di bandara, mereka sudah merasakan suasana tanah suci sejak di lounge. Saya juga mengirim personel di Solo untuk umroh, supaya memahami pasarnya.
        Hal lain yang saya lakukan adalah bertemu Lion Air dan mengiming-imingi Lion supaya menjadikan Solo sebagai hub-nya. Kenapa? Begini, waktu Lebaran, bandara di Surabaya sempat tutup (karena ada abu vulkanik dari Gunung Raung-red) sehingga sekitar 50 penerbangan dari Balikpapan dan Banjarmasin menuju Surabaya dialihkan ke Solo. Lalu kita siapkan bus untuk mengantar penumpang dari Solo menuju Surabaya. Ternyata yang ke Surabaya hanya 1 bus. Sisanya ke Salatiga dan Yogya. Nah, Lion baru menyadari bahwa di Solo ternyata mereka ada pasarnya.
 
Lombok dan Manado juga tourist destinastion. Tapi mengapa bandaranya rugi? Saya sudah bicara dengan Gubernur NTB (Nusa Tenggara Barat), Lombok sekarang dikembangkan sebagai destinasi wisata halal. Jadi, ini juga menarik di-explore. Kalau Manado, sebenarnya pernah besar. Sekarang, kami incar pasar China untuk turis ke Manadao. Saya kirim pegawai di Manado ke Chengdu, China, untuk mempelajari pasarnya. Sepulang dari sana, pegawai kita juga harus belajar bahasa China. Kita harus agresif dan perbaiki mindset. Jangan sampai kerja seperti tukang parkir. Begitu ada mobil datang, cuma diam. Tapi saat mobilnya mau pergi, baru titit-titit.... kelimpungan, ha...ha...ha...
Apakah ada bandara yang dikelola Kementerian Perhubungan sekarang yang ditaksir oleh AP I? Ada. Di Labuan Bajo. Kenapa? Saya nggak mau pakai filosofi tukang parkir. Saya nggak mau menunggu orang datang. Tapi, saya mau usahakan agar orang justru lewat di airport kita. Labuan Bajo destinasi turis, produknya ada.
 
Apa tanggapan Kemenhub? Saya nggak berharap diberi tahun ini. Mungkin targetnya tahun depan. Setelah saya buktikan bisa mengelola airport di AP I dan tak ada lagi airport left behind. Kalau nggak gitu, nanti diledek Pak Jonan.
 
Memang sering diledek ya sama Pak Jonan? Ya kadang-kadang. Misalnya ngeledek airport di tempat tertentu sempitlah, dan sebagainya. Ini memang tantangannya banyak. Tapi saya dan Pak Jonan bekerja sama baik sekali. Nggak ada masalah. Blas. Tandem full dan saling mengisi. Ibaratnya, saya dengan beliau ini satu mahzab.
 
Dari 6 bandara yang rugi, mana yang ditarget segera untung? Saya ini orang marketing. Seperti kisah bandara Yogya-Solo ibarat jualan gudeg tadi, jadi ya nggak terlalu dipikirkan mana yang harus untung duluan. Yang penting kita menanam, menyiangi dan semoga segera tumbuh.
 
Saat ini ada aturan Kementerian Perhubungan bahwa area komersil di airport hanya 30 persen. Apakah itu menurunkan pendapatan bandara?Kami mendukung aturan itu. Memang pendapatan bandara itu harusnya terbanyak dari aero, bukan yang non-aero. Ini sudah benar, jadi fungsi bandara dan pendapatannya, dikembalikan ke khittahnya. 
 
Apakah kejadian bom di Sarinah lalu ada pengaruh ke jumlah turis yang datang? Belum dievaluasi. Tapi yang jelas, selama Natal kemarin, ada kenaikan di kedatangan turis, terutama di bandara Bali, sekitar 10 persen.

Apakah ada benchmark untuk membangun bandara-bandara di kawasan Timur ini? 
Sekitar Februari-Maret, kami mau mulai membangun bandara yang berkarakter. Seperti di Orlando, ada leisure airport, dimana bandara dan hotel terhubung dengan monorel, sehingga mudah mencapai tempat wisata. Di Lombok, Bali, mungkin cocok jadi leisure airport. Sementara Surabaya business airport. Yogya atau Manado, gabungan bisnis dan leisure. Jadi karakter bandara mengikuti produknya. Kalau karakter bandaranya jelas, nanti kita bisa buat pusat informasi di airport, ada brosur dan sebagainya. Ini sedang disiapkan. Seperti ketika menangani Pelni, untuk menemukan apakah ini akan jadi kapal penumpang, kapal barang atau kapal leisure, tidak gampang.
 
Artikel ini sudah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 1 Februari 2016