Minggu, 24 April 2016

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan: Merangkai Indonesia, Butuh Ketabahan Hati....


          Salah satu menteri yang berusaha keras mewujudkan program Nawacita dan tol laut yang digagas Presiden Jokowi adalah Ignasius Jonan. Sepanjang 2015, Menteri Perhubungan itu telah membangun, memperbaiki banyak infrastruktur pelabuhan dan terminal penumpang hingga ke ujung-ujung pulau terpencil. 
          Kepada Rakyat Merdeka yaitu Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Sarif Hidayat, Aditya Nugroho dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho, Selasa malam (18/4) Menteri Ignasius Jonan menjawab banyak pertanyaan tentang hal-hal yang aktual sampai program kerjanya. Walaupun saat itu tengah malam, Jonan terlihat energik dan percakapan amat cair. Airmukanya sering kelihatan serius, padahal, sebenarnya dia menteri yang amat humoris.
 
Kementerian Perhubungan banyak sekali membangun bandara dan pelabuhan sampai di ujung-ujung pulau Indonesia. Bagaimana masa depan pengelolaannya? Ada 235 bandara di seluruh Indonesia. Siapa yang pernah melihat dua pertiganya saja? Hahaha (tertawa), pasti belum ada kan? Dari jumlah itu, Angkasa Pura 1 mengelola 13 bandara, Angkasa Pura 2 kelola 13 bandara. BP Batam mengelola satu bandara, dan 28 bandara dikelola Pemda. Sisanya? Sebanyak 180 bandara dikelola Kementerian Perhubungan. Bagaimana pengelolaan ke depan? Apakah akan dikomersialkan? Ya, tergantung. Kita melihat kondisi perekonomian suatu daerah. Sorong, misalnya, sekarang menjadi salah satu hub Indonesia di paling timur. Di tanah Papua. Meskipun bandaranya bagus, dan besar, tetapi kalau diserahkan jadi komersial, pasti akan ada yang teriak. Sebab dampaknya, charge naik. 
          Sekarang ini, pengelolaan bandara-bandara Kemenhub, sistemnya BLU (Badan Layanan Umum), dan pendapatannya PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak). Dengan sistem BLU, maka ada kelonggaran, karena pembiayaan tidak menggunakan standar yang sulit, tapi kualitas layanan tetap baik.  Coba, kalau bukan BLU, pegawai honorer misalnya dibayar Rp2 juta, ya mungkin nggak bisa mengharapkan kerjanya bagus sekali. Jadi masa depan pengelolaan bandara atau pelabuhan, kuncinya, daerah itu bisa komersial atau tidak. Thats the key.
          Di Papua, ada 54 bandara. Tapi yang dikelola Angkasa Pura 1 hanya di Biak. Itu pun pengelolaan komersil tapi nggak karu-karuan. Berantakan, belum terurus. Penumpang masih kurang, jumlah pesawat kurang. Padahal Bandara Biak itu, salah satu runway-nya terbaik di Indonesia. Jadi, kalau dikomersilkan, sementara pendapatannya sedikit ya, biayanya mepet-mepet.
 
Jadi, nasib Bandara Biak bagaimana? Apakah Angkasa Pura 1 mau mengembalikannya ke Kemenhub? Saya bilang sama Dirut AP1, kalau ngga bisa (urus Biak), ya kembalikan ke Kemenhub. Tapi, dia (Dirut AP1) menjawab, minta waktu. Lha, saya ledek saja. “Kamu itu sudah tua. Mau minta waktu berapa lama? Hahaha... (tertawa)” 
 
Dirut Angkasa Pura 1 Sulistyo Wimbo memang cukup senior. Saat ini berusia 60 tahun. Sempat lima tahun sebagai Direktur Komersil di PT KAI, saat Dirutnya dijabat Ignasius Jonan. Hubungan Jonan dan Wimbo memang amat akrab. Keduanya suka melucu. “Saya tandem full dan saling mengisi. Ibaratnya, saya dengan beliau (Jonan), ini satu mahzab,” kata Wimbo, saat wawancara dengan Rakyat Merdeka (Februari 2016).
 
Nasib pelabuhan bagaimana? Jumlah pelabuhan di Indonesia saat ini 1241. Yang dikelola oleh Pelindo ada 112 pelabuhan. Sisanya, 1129 ya diurus Kementerian Perhubungan. Yang baru saya datangi 300-an. Nah, segitu banyak kan.
 
Sepanjang 1,5 tahun bekerja, Menteri Ignasius Jonan telah membangun 
banyak pelabuhan dan bandara. Khusus mendukung program Nawacita dan Tol Laut, di tahun 2015, ada 35 lokasi pelabuhan selesai dibangun dan 6 peningkatan kapasitas pelabuhan. Juga menyelesaikan 86 trayek rute perintis, termasuk rute kapal ternak dan tol laut. Sepanjang 2015, Kemenhub memperbaiki 26 lokasi terminal penumpang, di wilayah timur, terpencil dan amat jauh. Bahkan, mungkin banyak diantara kita, yang baru mendengar nama lokasinya. Sebanyak 7 diantaranya rehab yaitu di Nabire, Baa, Papela, Laiwui, Babang, Tulehu dan Selayar). Dan 19 lainnya berupa perbaikan terminal yaitu di Jepara, Kolonedale, Siwa, Labuhan, Bajo, Tual, Luwuk/ Banggai, Wamengkoli, Tahuna, Petta, Ngalipaeng, Karatung, Miagas, Banabungi, Susoh, Reo, Bantaeng, Pulau Tello, Lawele, Atapupu.
 
Dari seribu lebih pelabuhan yang dikelola Kemenhub, sudah adakah yang untung? Bagaimana pengelolaannya? Lho, pengelolaannya profesional. Yang untung, kira-kira 50-an pelabuhan. Tahun ini, akan ada 20-an pelabuhan dibuat BLU. Menurut saya masih kurang. Saya maunya 50-100 pelabuhan. Nanti saya akan genjot lagi.
 
Program tahun 2016, Kemenhub melanjutkan pembangunan pelabuhan di 89 lokasi, dan peningkatan kapasitas pelabuhan sebanyak 6 lokasi. Juga menambah rute perintis 96 trayek dan tol laut 6 trayek. Serta mengadakan kapal ternak sebanyak 5 unit.
 
Bagaimana dengan angkutan darat, seperti bis dan terminal-terminal? Akhir tahun ini, sebanyak 140 terminal bis tipe A dan jembatan timbang, dikembalikan ke Kementerian Perhubungan. Ini sesuai perintah undang-undang. Sekaligus seluruh pegawainya juga menjadi di bawah Kemenhub.
 
Kemenhub akan tambah sibuk, dan tambah banyak pekerjaan dong ya? Apakah gajinya naik?Wah, itu tergantung Presiden.
 
Mengenai  pengelolaan terminal di provinsi kabarnya akan dikembalikan ke Pemerintah Pusat, bagaimana tanggapan daerah? Ya, ada yang senang, ada juga yang berusaha mempertahankan. Misalnya, ada yang sampai berkirim surat dan meminta agar pengelolaan terminal tetap di daerah. Saya sendiri menerima tugas ini, bukan soal senang atau tidak senang. Ini menjalankan undang-undang. Karena sesuai ketentuannya. Undang-undang yang mengatur pengelolaan terminal dan jembatan timbang ini, disahkan pada 2014 dan diberikan masa transisi sampai akhir 2016. 
Ada daerah yang tetap minta mengelola. Padahal menurut saya, terminal dan jembatan timbang itu lebih besar biaya mengurusnya, dibanding penerimaannya. Kalau diserahkan ke pusat, kan APBD daerah itu jadi lebih longgar. Sehingga bisa digunakan untuk kegiatan lain yang bermanfaat untuk masyarakat. Jadi, kalau daerah yang meminta terminal atau jembatan timbangnya dipertahankan, tak mau serahkan ke pusat, saya nggak ngerti. Itu ada apanya?
 
Tentang transportasi online yang sempat jadi perdebatan beberapa waktu lalu, bagaimana kelanjutannya? Saya memberi batas waktu hingga 31 Mei ini. Mereka sudah bersedia dan sepakat untuk mengurus perizinan. Apa yang saya lakukan adalah menegakan undang-undang. Sedangkan eksekusinya oleh Gubernur. 
 
Berapa jumlah armada online yang beroperasi di Jakarta? Apakah Kemenhub memiliki datanya? Jumlah armadanya belum tahu. Itu yang mengumumkan, Pemprov DKI. Eksekusi ada di setiap dinas perhubungan di daerah, bukan di Kementerian Perhubungan. Kalau angkutannya dalam kota, ya eksekusinya di bupati dan walikota. Kalau angkutan Antar Kota Dalam Provinsi, ya gubernur. Kalau Antar Kota Antar Provinsi, ya di Kementerian Perhubungan.
 
Bukankah jumlah angkutan umum dan tarif harus diatur supaya tidak memberatkan masyarakat dan terjadi kelebihan kendaraan? Ya benar. Dan yang mengatur adalah Pemprov DKI. Itu kewenangannya Pemprov. Jadi silakan menanyakan kepada Gubernur DKI. Saya menjelaskan peraturan yang berlaku, selanjutnya Pemda masing-masing yang melaksanakan. Misalnya di Solo, mereka reject transportasi online. Solo menolak, dan Presiden tidak apa-apa. Bandung juga nolak. Di luar negeri banyak case, ada yang menolak, ada yang tidak. Menurut saya, persyaratan bagi transportasi online memang berat. 
          Kendaraan umum adalah, kendaraan yang berbayar. Siapapun yang naik kendaraan dan membayar, maka itu kendaraan umum. Akibatnya, sopir harus didata, dan kendaraannya di-kir. Oke, anggaplah kir tidak masalah. Plat hitam juga boleh, karena kita, misalnya, biasa menyewa kendaraan rental, yang platnya hitam. Juga, tak perlu ada tulisan “taksi” karena mobil rental pun tak ada tulisannya. Lalu syarat pool, supaya tidak memenuhi badan jalan. Okelah tidak, karena masing-masing kendaraan memiliki garasi. Tapi soal SIM, sopirnya tetap harus pegang A-umum.
          Selain itu, kendaraan umum harus berbadan usaha. Tidak bisa milik pribadi jadi kendaraan umum. Perusahaan rental yang ada sekarang pun, bentuknya badan usaha. Dan badan usaha itu dicantumkan dalam STNK-nya.
Jadi, syarat-syarat itu memang cukup berat. Soal ini, sudah pernah saya ingatkan sejak setahun lalu. Mereka kita undang, lalu saya sampaikan, ikutlah peraturan. Tapi, mereka tak kunjung daftar. 
 
Soal transportasi online ini urusan teknisnya banyak di daerah, tapi kok yang ditembakin Kementerian Perhubungan ya? Ya, memang banyak permintaan agar Kementerian Perhubungan ikut menjelaskan. Mereka mungkin belum membaca undang-undangnya. Kalau nggak mau membaca ya susah juga. Apalagi, kalau apa-apa berdasarkan perasaan. Ya gimana.
 
Layanan transportasi online, secara umum lebih baik dari yang biasanya...
Saya akui, memang pada umumnya mereka lebih baik. Tapi, tetap harus didaftarkan resmi, karena undang-undangnya menyebut begitu, dan tujuannya demi keselamatan masyarakat. Bagi saya, jika aturan ini diikuti, akan muncul equilibrium baru dalam bisnis transportasi, sehingga akhirnya, taksimeter pun harus bebenah.
 
Apa kabar kereta cepat? Kita terus memantau. Saat ini sedang memulai. Karena proyek ini dibiayai oleh nonAPBN, dan BUMN-nya mencari uang sendiri, tentu sebagai regulator, saya senang, andai kereta cepat ini jadi. Artinya, ada alternatif, proyek yang dibiayai swasta. Saya mendukung
 
Apa kesulitan terbesar dalam mewujudkan proyek atau membangun pelabuhan dan bandara hingga ke ujung pulau? Pelabuhan dan bandara yang diujung-ujung pulau itu membangunnya setengah mati. Ada Pelabuhan Teor, Pelabuhan Baa, coba Anda tahu nggak itu dimana? Kesulitan terbesarnya, membutuhkan ketabahan hati. Kalau tidak, ini sungguh berat.
 
Jonan menceritakan, saat membangun Bandara di Wamena, misalnya, lokasinya sungguh ekstrim. Berada di ketinggian 6000 meter diatas permukaan laut, bahan material yang mahal dan mekanisme pengangkutan menggunakan hercules. “Harga semen di Jakarta 70-an ribu persak. Di sana mencapai Rp800-an ribu,” katanya. Lainnya, bandara dan pelabuhan ada yang dibangun di tengah hutan belantara, atau pinggiran laut yang amat terpencil. “Ini demi pemerataan pembangunan. Demi menghadirkan negara dan merangkai Indonesia. Banyak orang terharu saat kita datang hingga ke Pulau Rote, dan Kaimana. “Jangankan orang setempat, tentara yang jaga dan menyaksikan pembangunan itu, matanya bisa berkaca-kaca,” kata Jonan. ***

Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka, edisi Jumat 22 April 2016.