Minggu, 14 Februari 2016

Eksklusif Dengan Menkeu Prof Bambang Brodjonegoro: “Alhamdulillah, Kondisi Keuangan Kita Sangat Memadai...”

 
Menteri yang satu ini, tugasnya amat berat. Di pundaknya, ada tanggung jawab besar, menjaga keuangan negara tetap baik, di tengah situasi ekonomi yang sulit. Prof Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan di Kabinet Kerja, 
mencurahkan seluruh pikiran dan energinya untuk memikirkan ini. Kepada Tim Rakyat Merdeka, yaitu Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Aditya Nugroho dan Fotografer Wahyu Dwi, Menteri yang cool ini bercerita tentang program dan strateginya menjadi bendahara negara. 


Presiden ingin proyek-proyek infrastruktur dikerjakan dengan cepat. Bagaimana kesiapan anggaran dari Kementerian Keuangan untuk mendukung ini? Supaya implementasi program lebih cepat, utamanya belanja infrastruktur, kuncinya adalah ketersediaan uang. Yang kita kerjakan sekarang, memastikan bahwa anggaran sudah tersedia pada Januari. Jadi, pembiayaan untuk 2016 dicari sejak 2015. Alhamdulillah, kita mendapat freefunding dengan mengeluarkan SUN (Surat Utang Negara) dalam US Dollar. Jumlahnya cukup besar. Lalu ada private placement dari investor di luar negeri. Jadi, secara umum, kondisi cash Januari sangat memadai untuk memulai proyek. 
 
Ini berarti mengubah mekanisme kerja dari biasanya ya...
Dulu, biasanya pekerjaan dimulai Mei-Juni. Apalagi, pada 2015 ada perubahan nomenklatur kementerian, perubahan APBN, dan sebagainya, yang baru selesai sekitar Februari. Sekarang, tidak. Sehingga, Januari, anggaran untuk keperluan Kementerian/ Lembaga sudah siap. Demikian juga ke daerah. Januari kami sudah transfer DAU dan dana bagi hasil yang biasanya baru dikirim akhir triwulan 1. Ini dipercepat, untuk memastikan daerah memiliki ritme yang sama dengan pemerintah pusat. Kini, kita tinggal memastikan manajemen cash agar bisa mengimbangi percepatan dari proyek pembangunan.
 
Di awal tahun ini, sejumlah Kementerian sudah menyelesaikan tender dan masuk tahap penandatangan kontrak proyek. Apakah kinerja di semua Kementerian ini sama? Memang Presiden menghendaki percepatan pembangunan. Lelang (untuk proyek 2016), sebenarnya bisa dimulai Oktober 2015, begitu APBN diketok. Lalu, setelah DIPA diserahkan Desember, bisa segera teken kontrak dengan pihak ketiga. Januari groundbreaking, dan mungkin juga sudah mulai pembayaran termin satu. 

Apakah semua Kementerian ditargetkan belanja modal atau infrastrukturnya harus di awal tahun? Begini, belanja itu macam-macam tipenya. Ada belanja modal, atau belanja infrasturktur, seperti di Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian dan sebagainya. Proyek perlu dipercepat untuk memastikan selesai dalam tahun anggaran, sesuai kebutuhan. Jangan sampai proyek telat dimulai, lalu tidak selesai. Atau jangan sampai, ada percepatan tapi dipaksakan sehingga kualitas proyek tidak optimal. Kita ingin proyek kualitas baik, dan penyerapan anggarannya pun baik. Tapi, contoh lain, Kementerian Pertahanan, misalnya, membeli kapal perang. Itu juga belanja modal tapi yang jenis ini tidak harus mulai awal tahun. Proses pengadaannya disesuaikan dengan schedule pabrik, atau kesiapan terminal, dan sebagainya. 
 
Mengapa ada Kementerian yang penyerapan anggarannya tidak maksimal? Yang paling sering karena Kementerian atau Lembaga terlambat memulai proyek. Selain itu, perencanaan kurang bagus, sehingga saat lelang, belum siap. Kadang ada juga unsur ketakutan. Mereka kuatir dengan proses pengadaan dan takut diperhatikan penegak hukum. Selain itu, alasan teknis. Semisal, izin untuk pemakaian lahan yang kadang tidak sesuai waktunya dengan tahun anggaran.
 
Berapa total penyerapan anggaran tahun lalu? Yang terbesar Kementerian apa?  Tahun lalu, penyerapan anggaran total mencapai 91-an persen. Padahal, practically mulainya sekitar Mei. Jadi, cukup bagus. Terbesar Kementerian Pekerjaan Umum, yang penyerapan sekitar 92-an persen. Juga, Kementerian Perhubungan yang 70-an persen. Itu kemajuan bagus, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dulu, Kementerian Perhubungan, anggaran rendah, penyerapannya pun rendah. Saya liat, sekarang ini banyak Kementerian mengalami kemajuan penyerapan anggaran dibandingkan tahun sebelumnya.
 
Kalau ada Kementerian yang penyerapan anggarannya rendah, apakah ada sanksi pemotongan anggaran di tahun berikutnya? Itu otomatis. Kalau ada Kementerian yang kinerja penyerapannya kurang bagus,  maka ketika dia minta tambahan anggaran di tahun berikutnya, tidak dijadikan prioritas. Yang diprioritaskan adalah Kementerian yang punya kemampuan penyerapan lebih baik. Anggaran Kementerian kan tidak harus nambah setiap tahun. Sesuai kebutuhan saja. Kurang atau menurun pun tidak masalah. Penurunan ini bukan berarti diberi sanksi. Tapi dianggap belanja sebesar sekian di Kementerian itu sudah cukup.

Mengenai dana desa. Bagaimana memastikan dana sampai ke daerah dan monitoring penggunaannya? Tahun lalu, fokusnya memasikan bagaimana dananya sampai dan bisa dimanfaatkan oleh desa. Itu tidak gampang. Karena 2015 itu tahun pertama, masih banyak yang belum siap, baik aturan maupun implementasinya. Sehingga dana itu banyak yang tertahan di kabupaten. Tapi menjelang akhir tahun, sebagian besar dana sudah turun ke desa. 
 
Mengenai pemakaiannya, memang butuh proses pembelajaran. Sesuai SK tiga menteri, dana desa diutamakan untuk membangun infrastruktur dengan pendekatan swakelola dan padat karya. Tapi masih banyak yang belum terbiasa. Ada desa yang mengontrakan pekerjaan ke pihak ketiga. Padahal, nilai proyeknya kecil, bagusnya dikerjakan melibatkan masyarakat agar manfaatnya lebih besar.
 
Apakah pengelolaan dana desa selama ini cukup akuntabel? Ya, memang masih proses belajar. Sekarang ini, kita buat mekanisme baru. Mereka harus memberikan laporan dulu mengenai penggunaan anggaran sebelumnya, sebagai dasar untuk pencairan tahap berikutnya.
 
Mengenai APBN. Menurut Anda kelebihan APBN di pemerintahan ini dibanding sebelumnya apa ya?Belanja modal di APBN ini loncat jauh dibanding sebelumnya. Tahun lalu, Rp250 Triliun untuk subsidi BBM, sekarang di bawah Rp100 Triliun. Belanja modal, tahun lalu untuk infrastruktur total Rp290 triliun, sekarang naik jadi sekitar Rp320 triliun. Kualitas belanja 2016 akan jauh beda. Lebih produktif, dan belanja sosial lebih terarah. Pemerintah juga komit memberikan 5 persen untuk kesehatan. Untuk pertama kalinya. Selama ini, belanja tersebut ada di UU tapi belum pernah dilaksanakan karena keuangan negara tak memenuhi. Sekarang bisa dikeluarkan dan itu dampaknya langsung ke Kesehatan, BKKBN, DAK Kesehatan, BPJS dan seterusnya. Selain itu, kita juga memperluas program keluarga harapan. Ada conditional cash transfer, pemberian tunai bersyarat. Dari tadinya hanya 2,5 juta keluarga, kini menjadi 4-6 juta keluarga. Ini semua bagian dari upaya untuk kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
 
Tentang cukai rokok bagaimana? Sepertinya sejumlah pengusaha melancarkan protes atas kenaikan cukai rokok. Begini deh. Anda kalau ditanya, lebih senang dipajak atau ngga, pasti jawabanya nggak kan. Nah, pengusaha juga begitu. Mereka mungkin inginnya cukai ngga naik. Tapi yang meminta cukai dinaikan juga banyak. Misalnya, para penggiat kesehatan. Mereka itu jumlahnya banyak dan kuat lho. Bedanya mereka ngga punya duit. Sehingga, kita harus melakukan penihakan. Yang kena cukai paling tinggi, rokok putih dan mesin, sebab itu bukan rokok Indonesia. Lalu, rokok kretek yang menggunakan mesin. Dan, yang terakhir, paling kecil naiknya, ya rokok kretek tangan. Cukai dinaikkan maksudnya untuk mengendalikan konsumsi. 

Tentang politik, kadang publik menilai ada kegaduhan diantara anggota kabinet. Bagaimana anda menilainya? Kita sih fokusnya menjaga APBN. Selama ini antar kementerian sinergi dan komunikasi bagus.

Tentang isu-isu reshuffle kabinet, apakah mengganggu kinerja di internal kementerian? Tidak. Fokus saya di APBN. Selama APBN ngga terganggu, saya nggak ambil pusing soal reshuffle. Kesibukan di Kementerian Keuangan itu ada dua. Pertama APBN, dan kedua keuangan internasional. Kita menjaga dua sektor itu. ***
 
Tentang Sanksi Penyanderaan 
Begitu Diancam, Pengemplang Pajak Langsung Bayar

Mengenai pajak. Targetnya naik terus, tapi tidak mudah mencapainya. Bagaimana memastikan bahwa target pajak tahun ini cukup realistis?
Tahun 2015 kondisi ekonomi berat karena perlambatan, harga-harga komoditas turun, dan seterusnya. Tapi, penerimaan pajak kita prestasinya bagus. Malah mencatat landmark baru, karena lewat 1000 triliun. Penerimaan 
pajak non migas juga bagus, malah tumbuh 11 persen. Lebih tinggi dari pertumbuhan alamiah. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi 4,8 dan inflasi 3,3. Jadi pertumbuhan alamiahnya sekitar 8,1. Tapi, pajak nonmigas tumbuh 11 persen. Ini berarti ada ekstra effort 3 persen. 
Nah, di 2016, perkiraan pertumbuhan ekonomi 5,3 persen, dan inflasi sekitar 4,7 persen. Berarti pertumbuhan alamiahnya sekitar 10 persen. Jika ditambah extra effort 3 persen, berarti persisnya target pajak 2016 adalah perolehan 2015 ditambah 13 persen. 
Tapi, ada tambahan satu hal. Kini kami sedang mengajukan RUU tax amnesti ke DPR. Ini adalah uang tebus yang bisa dianggap sebagai penerimaan pajak. Sekarang masih dihitung, berapa perkiraan uang tebus yang bisa masuk. Sehingga nantinya hasil penerimaan negara, akan on top dari angka tadi.
 
Mengapa pemerintah sepertinya kurang memaksimalkan pengejaran pengemplang pajak dan wajib pajak besar. Ada kesan lebih intens meningkatkan pengejaran wajib pajak kecil seperti UMKM dan pajak lainnya?Justru penerimaan terbesar itu, ya dari wajib pajak besar dan pengejaran pengemplang pajak. Pajak adalah masalah keadilan. Selain upaya intensifikasi juga ada ekstensifikasi. Saya bicara pajak UMKM bukan sekedar mengejar pajaknya. Tapi, yang mau dicapai adalah self assessment. Kita ingin mendorong agar semua orang sadar harus bayar pajak, sesuai kemampuan. Kita tidak ingin ada orang tidak bayar pajak, bukan karena PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) tapi dia sengaja menghindari bayar pajak.
Anda, pekerja tetap dan punya gaji, membayar pajak. Lalu, misalnya, ada tetangga, pengusaha mengaku UMKM, punya penghasilan persis seperti anda. Berhak nggak dia nggak dipajaki? Ya, nggak dong. Kecuali tetangganya lebih miskin, dan masuk kategori PTKP. Pajak UMKM itu hanya 1 persen dari omset 4,8 miliar. Menyadarkan UMKM bayar pajak bukan untuk mengkerdilkan usaha mereka sebelum maju. Tapi, ini bagian dari mendidik jadi pengusaha. Suatu saat, mau ekspansi, dia harus punya NPWP. Kalau tak punya, mana ada bank yang mau kasih pinjaman. Membuat NPWP gampang, yang susah menanamkan kesadaran, harus bayar pajak. 
 
Tentang sanksi sandera atau gajeling untuk para pengemplang pajak, bagaimana implementasinya? UU Pajak membolehkan sandera. Nah, ada periode dimana hal itu tidak pernah dilakukan. Di tahun 2015, itu kita giatkan. Ada banyak pengemplang yang kena sandera. Memang kurang terekspose. Tapi, bagi saya, tidak terekspose tak apa, yang penting uangnya masuk. Itu jumlahnya besar. Bahkan, ada yang baru mau diancam sandera, sudah bayar.

Ada kesan selama ini pemerintah kurang tegas pada pengemplang pajak...
Kita tegas. Kita lakukan sandera. Nanti kita perkuat lagi, karena penunggak pajak masih ada. Masih banyak yang harus dikejar. Apalagi dengan program tax amnesti nanti, diharapkan penerimaan negara makin banyak. Orang yang selama ini bayar pajak tidak penuh, atau tidak bayar pajak dengan benar, atau tidak punya NPWP, kita ajak start.  Bereskan apa yang belum beres di masa lalu, kita beri awal yang baru. Cara ini diharapkan bisa mengurangi pembayar pajak nakal. Yang nakal jika minta pengampunan, bayar uang tebus. Setelah itu, dia tidak bisa nakal lagi. Mereka yang minta pengampunan, datanya akan terbuka semua. Selama ini, kami kesulitan mendapatkan data wajib pajak karena  akses ke bank nggak bisa. Padahal, bagaimana kita tahu kekayaannya, kalau kita tidak tahu akun bank-nya. 

Data-data yang dirilis Forbes tentang kekayaan seseorang, misalnya, apakah bisa dipakai untuk mengejar pajak? Itu data estimasi. Kebanyakan, itu berdasarkan kepemilikan saham di perusahaan-perusahaan. Bagus untuk bahan referensi profiling. Tapi, menagih pajak kan nggak bisa dengan cara mengira-ngira. Harus jelas. Menagih sekian, dasarnya apa, datanya konkrit, bukan estimasi. Mungkin banyak yang bilang sekarang ini banyak pengemplang pajak. Tapi problem kita adalah, nggak mudah mendapat data. Apalagi kalau mereka menyimpan uangnya di luar negeri. Nah, dengan pengampunan pajak, salah satu targetnya, kita bisa membereskan data base. Bukan kita yang mencari, tapi wajib pajaknya yang surrender. Dia declare apa yang dia punya. 

Berapa jumlah pembayar pajak Indonesia saat ini ya? Jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta. Dan hanya 27 juta yang punya NPWP (itu sekitar 11 persen). Dari jumlah itu, yang memasukan SPT tahunan cuma 10 juta. Dan dari jumlah itu, hanya 900 ribu orang Wajib Pajak membayar secara benar. Orang Indonesia itu, kebanyakan, income-nya lebih dari satu sumber. Nah, biasanya pajak mereka, kurang bayar. ***
 
 
 
Pekerjaan Amat Padat 
Saat Weekend, 
Main Badminton


          Saat ditunjuk jadi Menteri Keuangan, usia Bambang Brodjonegoro belum 50 tahun. Pria kelahiran Jakarta, 3 Oktober 1966 ini adalah putra bungsu Prof Soemantri Brodjonegoro, tokoh hebat, rektor UI paling berpengaruh (1964-1973) dan pernah menjadi Menteri ESDM (1967-1973) dan Mendikbud (1973). Sejak usia muda, Bambang Brodjonegoro berkiprah di dalam dan luar negeri. Dia tercatat sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi UI paling muda, karena diangkat saat usianya belum 40 tahun.
          Siapa tokoh yang dikagumi? Bambang Brodjonegoro menyebut salah satunya, Nelson Mandela. “Dia tokoh pemersatu yang paling murni. Sebagai orang hitam dan pernah disakiti orang kulit putih. Tapi, ketika akhirnya kekuasaan kembali ke orang-orang kulit hitam di negaranya, dia memastikan orang kulit putih tidak diganggu. Mandela tidak menggunakan politik balas dendam, tapi rekonsiliasi. Dan prinsip itu dipegang teguh sampai meninggal. Saat ini pun, hubungan kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan cair karena peran Mandela,” papar Bambang. 
          Apakah ada peran ayah dalam membentuk karakter dan cita-cita? “Ayah meninggal saat usia saya tujuh tahun. Tapi saya sering mendengar cerita tentang kiprah ayah saya. Dan itu membantu saya membentuk karir seperti sekarang,” jawabnya.
Di tengah kesibukan yang padat, hobi Bambang adalah main badminton. “Tiga minggu terakhir ini saya banyak tugas ke luar negeri. Jadi, hanya bisa main Sabtu Minggu. Saya punya kelompok khusus badminton,” katanya.

Masih ada waktu untuk keluarga? “Ya, kesibukan kerja memang luar biasa. Tugas kita berat. Tapi, saat weekend saya pakai benar-benar untuk keluarga. Jika libur, saya memilih tidak banyak aktivitas kecuali jika ditugaskan ke luar negeri,” papar Bambang. ***

Artikel ini telah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 9 Februari 2016


 

Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan: Untuk Kemakmuran Masyarakat, Pers Harus Galak

 
Banyak pandangan menarik dilontarkan Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan, terkait Pers Indonesia di era dunia tanpa batas. Menurutnya, pers harus menjadi penunjuk arah, bersikap galak, dan tidak boleh melakukan perselingkuhan dengan birokrasi. 

            Saat diinterview Rabu pekan lalu (3/2), oleh Tim Rakyat Merdeka, Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Ujang Sunda dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho, mantan Hakim Agung itu bicara penuh semangat. Pembawaannya amat tenang, tapi tutur katanya bernas dan berani.
Berikut petikan lengkapnya:

Bagaimana makna peringatan Hari Pers Nasional tahun ini? 
Saat ini, masih ada komponen pers yang menganggap peringatan Hari Pers Nasional itu tidak tepat, karena 9 Februari 1946 adalah kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 
Tapi, saya berpendapat, ada makna di peristiwa tersebut, yang sebaiknya diingat. Saat itu, di Solo, para jurnalis berkumpul dan menyatakan pers Indonesia adalah pers perjuangan. Yaitu, perjuangan bertujuan menegakan Proklamasi, dan mempertahankan kemerdekaan. 
Sedangkan di hari-hari ini, pers masih berjuang untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga esensi pers perjuangan sebenarnya belum selesai. Pers sekarang, ikut bertanggungjawab demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 
 
Tema HPN tahun ini adalah kemaritiman dan pariwisata. Kaitannya dengan tugas pers bagaimana? Kita baru bicara Kemaritiman sekedar untuk gatra kewilayahan negara, atau gatra pertahanan. Padahal, potensi Kemaritiman besar sekali, dan pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Juga tentang pariwisata. Ini bisa jadi faktor ekonomi yang dominan. Potensi wisata dan budaya kita amat besar. Nah, di peringatan HPN inilah, pers harus menyadari itu. Bahwa eksploitasi dan pemanfaatan Kemaritiman dan Pariwisata belum maksimal. Baru sebagian kecil saja yang menikmati. Dalam soal begini, Pers harus galak. Pers harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Agar seluruh ekploitasi dan pemanfaatan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
 
Apakah pers sekarang sudah cukup galak?
Ya, sudah banyak yang mempersoalkan itu. Tapi, masalah keadilan sosial, tidak cukup hanya menjadi bahan diskusi. Harus diupayakan, bagaimana agar menjadi kenyataan. Dan beban itu, lebih besar pada pers, sebagai salah satu komponen kekuatan masyarakat. Kita kan menyebut diri sebagai cabang kekuasaan keempat. Pers adalah institusi publik yang juga jadi juru bicara publik untuk menyuarakan hal itu.
 
Di Indonesia, berdasarkan sejumlah poling, Pers masih dianggap sebagai lembaga paling terpercaya. Ini beruntung. Pers masuk rangking baik dan terpercaya. Tapi, apakah itu menunjukkan benar dipercaya, atau paling baik diantara yang jelek? The best among the worst? Mudah-mudahan tidak. Penilaian saya, Pers Indonesia ada gradasinya. Makin ke pusat, di Jakarta, tingkat profesonalisme makin tinggi. Sedangkan di daerah, unsur profesionalisme kelihatannya makin rendah. Ada beberapa sebab. Pertama, Belum ada lembaga pelatihan pers yang baik. Yang bisa mendidik pers menjadi sehat. 
 
Kedua, kadang ada keadaan, dimana orang menerbitkan pers di daerah, orientasinya pada manfaat ekonomi atau kepentingan tertentu, sehingga kurang memperhatikan konsekwensi-konsekwensi. Ini tantangan ke dalam pers sendiri. Kalau mau berperan besar ke luar, kita harus baik di dalam. Ke depan, harusnya tidak ada lagi istilah pers abal-abal. 
 
Mengenai booming digitalisasi media. Apakah ini termasuk ranah Dewan Pers? Kami mesti membedakan, mana media sosial yang memenuhi ketentuan pers, dan mana yang bukan. Yang memenuhi ketentuan, ya diakui sebagai pers. Sehingga, jika ada pengaduan, diselesaikan di sini. Tapi, kalau ada pihak yang merasa disakiti oleh media sosial yang bukan termasuk pers, itu diproses tersendiri. Meski begitu, andaipun mereka datang ke sini, ya kita tetap memberikan perhatian. Janganlah ada pikiran, media sosial dibatasi. Itu adalah konsekuensi teknologi, dan tuntutan masyarakat. 
 
Berapa jumlah pengaduan ke Dewan Pers selama tahun 2015?
Pengaduan cukup tinggi. Tahun 2015, lebih dari 700 pengaduan. Pengaduan terhadap media, umumnya pelanggaran kaidah jurnalistik. Kalau melanggar, ya kita sarankan, media minta maaf saja. Atau memberikan hak jawab. Penilaian saya, makin mapan pers, makin mudah mereka menyadari kekeliruan dan minta maaf. Tapi makin nggak karuan pers-nya, makin banyak pula alasannya. Menurut saya, kalau salah ya sudahlah, langsung akui. Itu prinsip. Kan pers juga bisa salah. Dan, publik juga ternyata puas, jika pengaduannya dilayani, lalu yang diadukan merasa keliru. 
 
Ada yang menilai Pers kita kebabalasan. Menurut Anda bagaimana? Ya, memang ada yang menyebut kebablasan atau terlalu powerfull. Menurut saya, ya tidak apa, selama pers melakukannya sesuai prinsip jurnalistik yang benar. Selama menjunjung tinggi kode etik dan tidak melanggar hukum. Dampaknya kepada yang diberitakan, adalah bagian dari risiko. Risiko tugas, pekerjaan dan jabatannya. Apa boleh buat. Pers menjalankan itu sebagai upaya mewujudkan pertanggungawaban kepada publik. 
 
 
Diantara Kegaduhan Elite, 
Pers Jadi Penunjuk Arah
 
Anda menjadi Ketua Dewan Pers di masa Pemerintahan SBY dan Presiden Jokowi. Bagaimana Anda menilai sikap keduanya terhadap Pers. Bersyukur, sampai hari ini, dua-duanya ini sangat memberikan tempat yang baik kepada pers. Zaman Presiden SBY, misalnya, ada keluhan terhadap pers, tapi beliau tidak pernah menindak pers. Saat pidato di HPN Banjarmasin, saya katakan, konsekwensi kita memilih demokrasi, ya artinya siap dikritik pers. Dan beliau (SBY) setuju. 
 
Jokowi menjabat presiden belum dua tahun. Beliau punya komunikasi yang cukup baik dengan pers. Sebaiknya Pemerintahan ini menjaga, jangan sampai ada misskomunikasi dengan publik. Kadang ada pertanyaan mendadak dari Pers, yang jika jawabannya tidak disiapkan, komentar yang muncul bisa menimbulkan polemik atau bahan diskusi di masyarakat. Soal Kereta Cepat, misalnya, sudah dicangkul, ground breaking, kok baru ribut. Ini belum beres, dokumen ini itu, belum. Di negara maju, pemimpin negara biasa di-briefing oleh staf pers-nya. Sehingga kapanpun ditanyai wartawan, siap bicara. Mungkin itu bisa dianggap sebagai hal kecil. Tapi kalau tidak dilakukan, dampaknya memang belum tentu menurunkan kewibawaan, tapi bisa menimbulkan polemik berhari-hari.
 
Belakangan ini, publik sering bingung melihat ada kegaduhan di antara elit politik. Di media sosial, misalnya, sebuah isu jadi polemik berhari-hari. Bagaimana peran pers seharusnya? Biasanya, rakyat yang jadi sumber kegaduhan, dan pemerintahan atau negara yang meredam. Tapi, di Indonesia ini ganjil. Justru kegaduhan ada di kalangan penyelenggara negara. Aneh. Dan kegaduhan ini dampaknya, orientasi kepada kepentingan publik jadi tidak maksimal. Nah, ini menuntut peran pers. Pers perlu mengawal, tidak sekedar mengawasi. Diantara berbagai macam persoalan, pers harus jadi penunjuk arah. Kemana arah kita dalam kondisi seperti itu. Memberikan direction.
 
Menurut Anda, mengapa mudah terjadi kegaduhan di kalangan penyelenggara negara atau elite politik? Kegaduhan lahir bukan hanya dari attitude pelaku, tapi juga sistemnya. Sistem menyebabkan kita seperti berputar-putar tidak karuan. Ada beberapa kelompok senior yang menganggap ini adalah akibat UUD 1945 sudah tidak sesuai. Mereka berfilosofi. Saya katakan, berhentilah berfilsafat. Kembalilah menginjak bumi dan melihat realitas. Berfilosofi penting. Tapi, di masa sekarang, saya kira, tidak ada lagi yang tidak setuju Pancasila, tak ada lagi yang ingin demokrasi dikurangi. Menurut saya, dalam hal ini, orietasi pers tidak lagi bicara filosofi, tapi bagaimana mengoperasikan sistem manajerial. Itu yang lebih penting. 
 
Anda mengatakan pers harus jadi penunjuk arah. Tetapi, bagaimana mau memberikan arahan ya, kalau pers tertentu juga punya kepentingan? Saya sering ditanya, soal independensi pers, dan pers partisan.  Independen adalah kebebasan memilih. Freedom of choice. Independen bukan berarti tidak punya keinginan. Boleh saja memihak, tapi sebagai profesional, pers harus berpegang teguh pada prinsip kode etik dan seterusnya. Memilih dan punya ide boleh. Berbeda dengan partisan yang sifatnya apriori terhadap yang lain dan ngeblok. Keberpihakan boleh tapi demokratis pada ide dan konsepnya. 
 
Keberpihakan Pers erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi atau dukungan finansial. Ya, ini kaitannya pers sebagai lembaga ekonomi. Kadang dampaknya menimbulkan persaingan, sehingga bisa rusuh antar pers sendiri. Reformasi membuka pintu yang sangat lebar bagi perkembangan pers, sementara konsolidasi tidak cukup mengimbangi. Akibatnya, berpengaruh ke profesionalisme dan sebagainya. 
 
Bagaimana Dewan Pers menilai Kemitraan antara Pers dengan birokrasi di daerah?
Kemitraan yang berlebihan sebenarnya tidak sehat. Ibarat pepatah, kalau tidak ada, mengapa tidak mungkin tempoa bersarang rendah. Kalau unsur pemerintahan itu tak ada apa-apa, tak ada kuman dalam badannya, tak perlu takut. Orang minang mengatakan, seorang menolak dicukur kepala karena ada kudisnya. Menurut saya, perselingkuhan yang macam ini sangat merusak bagi fungsi pemerintahan dan merusak pers. Tapi, inilah yang kita hadapi. Ada satu pihak ingin agar kita menjalankan misi yang lebih besar, tapi ke dalam, kita juga punya masalah dalam upaya membangun pers yang benar-benar pofesional dan menjadi lembaga publik terpercaya.
 
Bagaimana penilaian Anda mengenai tatanan birokrasi saat ini. 
Yang harus dilakukan banyak sekali. Di pemerintahan, misalnya, saat ini menurut saya, masih ada misstouching dan misshandling. Ada pejabat yang cara berbirokrasinya dengan larangan makan buah impor, atau larangan rapat di hotel. Itu aturan bagus, tapi bukan the starategic point untuk membangun birokrasi yang clean and good. Saya dulu bertugas di lembaga negara. Ketika komputer dan teknologi mulai masuk, harusnya mengurangi tenaga manusia. Tapi, penambahan pegawai rupanya tetap berlangsung. Aneh kan. Di sisi lain, di sejumlah tempat, kita kekurangan guru-guru, atau banyak guru yang kualitasnya belum bagus. Saya katakan, pelajarannya begini: birokrasi itu penting. Tapi birokrasi yang terlalu ruwet dan besar akan menimbulkan birokratisasi. Dan setiap bentuk birokratisasi adalah sumber penyelewengan dan inefisiensi. Memang perubahan tidak bisa dilakukan secara ekstrim. Misalnya, izin usaha mau diperpendek jadi tiga hari. Itu bagus, tapi jangan lupakan kehati-hatian. Apalagi menyangkut investasi besar. Izin tiga hari, tetapi sistemnya tetap harus dibangun. Bukan sekedar memotong waktu. Kalau abai terhadap kehati-hatian, bisa jadi awal persoalan besar. Sumber pengelolaan uang ada di birokrasi. Jika birokrasi tidak disehatkan, peluang korupsi tetap ada. Birokrasi haruslah kokoh. Revolusi mental dibangun oleh sistem dan tata kerja, sehingga memperkecil peluang korupsi.
 
Sistem dan tatanan politik kita saat ini, apakah sudah bergerak ke arah yang lebih baik?  Tatanan politik kita belum menuju penyehatan birokrasi. Saya melihat, masih ada yang orientasinya membagi kue-kue kekuasaan. Misalnya, membahas tentang apakah pilkada dipilih langsung atau melalui DPRD. Energi kita habis berminggu-minggu membahas ini. Katanya, pemilihan langsung selama ini tidak menghasilkan pemimpin berkualitas. Padahal, yang salah bukan sistem pemilihannya, melainkan seleksinya. Rakyat kan hanya memilih calon yang sudah disiapkan. Kalau tidak ada calon yang berkualitas, berarti sistem kepartaian tidak menghasilkan calon bagus.
            Lalu di kepartaian sekarang, ada yang merasa tidak biasa jadi oposisi. Padahal, di negara maju, menjadi oposisi itu sama terhormatnya dengan yang duduk di pemerintahan. Perannya sama-sama untuk menjaga pemerintah agar berjalan baik. Tapi di sini, mereka yang oposisi merasa ngga kebagian apa-apa. ***

Artikel ini telah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Khusus Hari Pers Nasional
Senin, 9 Februari 2016