Selasa, 30 Juni 2015

Menjejakkan Kaki Di Perut Bumi Papua: Freeport Membangun Tambang Bawah Tanah Terbesar Di Dunia




 
Freeport bekerja dalam diam. Tak banyak bicara, mereka ternyata sudah membuat terowongan sepanjang 500-an kilometer menembus perut bumi Papua. Ini akan jadi akses areal pertambangan bawah tanah terbesar di dunia.
 
“Di Jakarta, bangun terowongan untuk transportasi massal sulit dan lama. Ini di Papua tau-tau sudah buat terowongan ratusan kilometer,” kata Arif Budisusilo, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, berkelakar. Padahal kondisi alam di Papua amat ekstrim. Daerahnya berbatu sehingga jalanan sangat terjal, berliku dengan turunan dan tanjakan yang tajam. Di areal heatroad, kemiringan jalan mencapai 68 derajat. Posisi kawasan pertambangan, diapit sejumlah pegunungan dan bukit-bukit. Cuaca lembab setiap saat.
“Musim di sini hanya dua. Musim hujan, dan hujan deras,” kata salah seorang karyawan, yang mengantar saya berkeliling. Di permukaan tanah, pemandangan alam Papua memang luar biasa indahnya. Sekeliling mata dimanjakan oleh birunya langit dengan awan yang berarak seperti kapas, melintasi hijaunya gunung dan hutan lebat. Tapi, begitu menerobos bawah tanah, suasananya berubah drastis.
Bersama 13 pemimpin media massa, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menjejakkan kaki di bawah tanah. Melintasi jalur selebar 5 meteran, tinggi 10-an meteran yang kondisinya gelap, lembab dan berlumpur. Kami menggunakan kendaraan 4 gardan. Terowongan itu dibangun oleh ribuan pekerja Freeport. Siang malam, tanpa henti. Menembus gunung, melubangi bukit, membuat akses penambangan baru.
Lokasi yang lama yaitu wilayah penambangan terbuka (open pit) di grasberg akan habis tahun 2017. Hasil survey dan penelitian, ditemukan potensi mineral di bawah tanah, sehingga Freeport harus melakukan ekpansi ke lokasi itu. Kalau pemerintah memberi lampu hijau perpanjangan operasi, maka proyek tersebut bakal jadi penambangan bawah tanah terbesar di dunia.
Senior Vice President Geoservice Wahyu Sunyoto menceritakan, di bawah tanah ada empat lokasi penambangan baru, yaitu Grasberg Block Cave, Kucing Liar, Big Gossan, DMLZ (Deep Mining Level Zone). Sedangkan areal DOZ (Deep Ore Zone) yang juga di bawah tanah, telah duluan berproduksi. Cadangan mineral di lokasi-lokasi baru itu mencapai 2,3 miliar ton, dan mampu produksi sampai tahun 2041.
Freeport telah menanamkan investasi awal sebesar 4 miliar USD, dari total 17 miliar USD, untuk membangun infrastruktur penambangan bawah tanah, meliputi akses jalan, teknologi pembersih udara, air dan listrik serta sistem pemadaman api dan keselamatan pekerja.
Diluar itu, total investasi yang telah dikeluarkan Freeport sampai tahun 2013 mencapai 10 miliar USD (atau sekitar Rp130 triliun) untuk membangun pabrik, pelabuhan, bandara, infrastruktur jalan, pembangkit listrik hingga pengolahan limbah.
Di kedalaman 1-2 kilometer, sepanjang terowongan bawah tanah, terlihat pipa-pipa besar, instalasi listrik, air dan sebagainya. Mereka telah membuat semacam sumur besar untuk penampungan bahan mineral dan dialirkan ke atas permukaan tanah dengan mesin sejenis conveyor belt sepanjang 8 kilometer. Melihat apa yang telah dikerjakan, sungguh menakjubkan. Para pekerja seperti membangun “kehidupan” di perut bumi. Tidak hanya tempat ibadah, mereka juga membangun kantor dan segala kelengkapannya di sana. Termasuk portable chamber untuk evakuasi pekerja. Bahkan, Freeport membangun chamber permanent terbesar di dunia, bisa menampung 300 pekerja, dalam keadaan darurat.
Tahun 2013 pernah terjadi kecelakaan kerja di tambang bawah tanah DOZ. Saat itu 28 pekerja terjebak reruntuhan. Tak ingin insiden fatal itu terulang, kini, Freeport menggunakan teknologi baru untuk pekerja bawah tanah. Vice President Underground Mine Operations Hengky Rumbino, putra Papua lulusan Teknik Pertambangan ITB, mengajak kami ke ruang kontrol kendali otomatis. Terlihat beberapa pekerja duduk di depan layar komputer besar. Tangan kirinya seperti mengendalikan pedal kopling dan tangan kanannya mengetik tuts-tuts keyboard. Seperti bermain game, padahal mereka sedang mengendalikan eskavator di bawah tanah. Di layar komputer terlihat
suasana terowongan bawah tanah. Eskavator yang dikendalikan itu tampak bergerak mengangkut material, dan menjatuhkan isinya ke truk-truk tanpa awak. Truk lalu bergerak menuju terminal-terminal untuk menjatuhkan material yang lalu digerakan ke atas permukaan tanah.
Pekerjaan luar biasa dan penuh risiko di tambang Freeport ini dilakukan oleh anak-anak muda tangguh lulusan berbagai universitas di Indonesia. Total karyawan Freeport mencapai 30 ribu orang. Mayoritas orang Indonesia, sedangkan jumlah pekerja asing tak sampai 2 persen. Sebanyak 8 ribu diantaranya putra-putri Papua. Bahkan, hebatnya, 7 diantara mereka, duduk di top level manajemen sebagai vice president. Ratna Susilowati

Berikut ini foto-foto kesibukan karyawan Freeport



Artikel ini telah dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015


30 Ribu Karyawan Bekerja Dalam Ketidakpastian: Meski Maut Menghampiri, Freeport Tetap Semangat




Said Didu menyebut, malaikatul maut saat ini sedang menghampiri Freeport. Pilihannya, kata Staf Khusus Menteri ESDM itu, memang berat, mau mati pelan atau mati cepat. Kontrak Karya berakhir tahun 2021. Dan pada 25 Juli ini akan ada keputusan mengenai perpanjangan operasi. Kepastian ini dibutuhkan, mengingat Freeport akan menanamkan investasinya sebesar 17 miliar USD (sekitar Rp200 triliun) untuk penambangan bawah tanah. “Investor manapun, yang mau menanamkan uang sebesar ini, tentu butuh kepastian operasi,” kata Said Didu, yang juga Ketua Tim Penelahaan Smelter Nasional.
Meskipun bekerja di tengah ketidakpastian, tapi menurut Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, ribuan karyawan tetap semangat bekerja.
Saat diskusi di Tembagapura, Maroef Sjamsoeddin menyadari selama ini isu-isu terkait Freeport kerap kali kental muatan politik. Sering jadi bahan pertanyaan, misalnya, kenapa Freeport dianggap gagal membangun Papua? Padahal, sekedar perbandingan, luas wilayah kerja Freeport hanya sekitar 90 ribu hektar atau 0,02 persen saja dari seluruh luas Papua yang 42 juta hektar. Melakukan pembangunan Papua seutuhnya adalah tugas negara, sedangkan Freeport sama dengan investor lainnya.
          Lalu, tentang penerimaan negara. Terus dilakukan peningkatan royalti dan divestasi saham untuk pemerintah Indonesia sebanyak 30 persen bertahap sampai 2019, dan terbuka melakukan penawaran saham melalui bursa (IPO).
          Mengenai smelter. Saat ini, sebanyak 40 persen konsentrat dari Tembagapura, dikirim via jalur laut menuju Gresik. Di smelter Gresik, dilakukan pemilahan mineral. Bahan limbahnya, berupa asam sulfat dan gypsum diolah langsung oleh Petrokimia sebagai bahan pupuk dan bahan semen. Karena itulah, posisi smelter di Gresik yang berdampingan dengan Pabrik Petrokimia, dianggap ideal.
          Mengapa tidak membangun smelter di Papua? “Aspek teknis dan bisnis yang membuat kami tidak bisa membangun smelter di Papua. Saya pernah sampaikan secara terbuka kepada Menteri ESDM, setelah melihat lokasi yang direkomendasikan Pemda Papua. Saat itu ada Gubernur, Bupati dan Ketua DPRP serta sejumlah anggota Komisi 7 DPR. Kondisi infrastruktur tidak mendukung. Pelabuhan tidak siap. Jalan darat dan listrik belum ada. Juga belum ada instalasi air. Karena itu, kita memutuskan, wilayah yang paling siap, tetap di Gresik,” kata Maroef.
          Jika izin perpanjangan operasi tidak diberikan, apa yang terjadi? Maroef menceritakan, ini berarti rencana ekspansi membuka pertambangan bawah tanah batal. Produksi hanya mengandalkan yang sudah ada, yaitu penambangan terbuka yang cadangan mineralnya hanya sampai 2017. Kapasitas produksi artinya turun dan tinggal 40 persen. Dan itu berati, smelter yang existing di Gresik sudah cukup menampung produksi.
          Kapasitas produksi Freeport saat ini mencapai 240 ribu ton sehari. Tiap tonnya menghasilkan kira-kira 20-30 kilogram tembaga, 2 gram emas dan 4 gram perak. Ratna Susilowati

Artikel ini dimuat di Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015



Pengalaman Batin Menakjubkan: Buka Puasa Di Mesjid Perut Bumi


 




Berbuka puasa dan shalat berjamaah di perut bumi adalah pengalaman batin yang menakjubkan. “Ini luar biasa,” kata Nurjaman Mochtar, Pemimpin Redaksi SCTV-Indosiar, yang juga Ketua Forum Pemimpin Redaksi.  
Tak pernah terbayangkan, ada masjid dan gereja di perut bumi. Jauh di kedalaman 1,7 kilometer. Freeport membangun itu untuk keperluan karyawan mereka, yang bekerja di areal tambang bawah tanah, di kawasan Tembagapura, Timika, Papua. Kapasitas mesjid yang bernama Baabul Munawar itu, menampung 250 jemaah. Persis di sampingnya, berdiri Gereja Oikumene Soteria.
Di hari ketiga Ramadhan, kami bersama ratusan karyawan PT Freeport, berkumpul di Masjid itu. Melepas rompi yang basah oleh keringat, mencopot helm dengan senter yang berat di kepala, dan membuka sepatu boot yang dipenuhi lumpur, kami lalu berwudhu dan berkumpul di dalam masjid.
Kepala terasa cukup pening. Itu akibat tipisnya kadar oksigen. “Tapi lama-lama juga biasa,” kata seorang karyawan yang sudah bekerja belasan tahun di perusahaan ini, kepada saya, sambil senyum. Kondisi oksigen terbatas bukan hanya di bawah tanah, tapi juga di open pit, tambang terbuka grasberg, yang ketinggiannya mendekati puncak Jaya Wijaya yang bersalju. Meski mereka terbiasa, tapi saya liat, semua karyawan dibekali tabung oksigen yang dililitkan ke pinggang.
Menunggu adzan maghrib, kami duduk mendengarkan tausiah Prof Nasaruddin Umar. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, beserta istri dan anaknya juga berada di tengah-tengah kami.
Masjid dan gereja ini belum lama dibangun. Diresmikan pada awal Juni lalu. Arsiteknya, Alexander Mone, adalah lulusan Bina Nusantara. Dan strukturnya dikerjakan Andrew Parhusip, lulusan ITB. Tempat ibadah ini dibuat berdampingan atas prakarsa para pekerja. Toleransi ternyata bisa terasa sampai ke perut bumi.
Masjid dan gereja ini berada di salah satu sudut terowongan, yang digali oleh ribuan pekerja tambang. Kami masuk terowongan melalui pintu Ali Boediardjo, diambil dari nama Presdir PT Freeport yang pertama. Nafas sedikit tersengal, tapi udara cukup adem. Rupanya ada teknologi canggih untuk memurnikan udara di bawah tanah. Di sepanjang terowongan dipasang banyak sekali exhaust untuk menyedot udara kotor keluar, sehingga pekerja bisa menghirup udara bersih.
Dinding dan atap mesjid dari batu disemprot oleh semacam semen, dan diratakan. Konstruksi tak sesederhana seperti yang terlihat. Sebab, di tiap meter, tampak ada bautan penahan di dinding. Lantainya ditutup karpet kehijauan. Prof Nasaruddin Umar merasakan suasana itu seperti dalam gua.
Saat tiba waktunya berbuka, salah seorang karyawan mengumandangkan adzan yang syahdu. Kami menikmati tajil sederhana yang disiapkan para pekerja. Teh manis hangat, kurma dan gorengan siomay. Malam itu kami menutup kebersamaan dengan shalat maghrib berjamaah. Dinginnya lantai mesjid dan damainya hati pekerja, rasanya seperti meredam isu-isu politik panas yang tak berkesudahan. Ratna Susilowati

Artikel ini telah dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015