Jumat, 20 Mei 2016

Ngopi Dengan Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan: Kebetulan Presiden & Wapres Pengusaha, Nggak Suka Birokrasi Yang Membebani


           Di tengah situasi ekonomi global saat ini sedang kurang bergairah, suku bunga kredit perbankan di Indonesia masih tinggi, sehingga dianggap menyulitkan perkembangan dunia usaha. Bagaimana potret kondisi perbankan selama Pemerintahan Jokowi? Tim Rakyat Merdeka yaitu Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho mewawancarai Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan di kantornya kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, Rabu (13/4). Berikut ini wawancara lengkap dengan bankir dan ekonom muda yang kini terjun menjadi birokrat itu. 
         
Situasi perekonomian menjelang tengah tahun 2016, apakah menunjukkan tanda-tanda optimisme?
Pertumbuhan diprediksi sekitar 5,3 persen tahun ini. Memang dipengaruhi oleh beberapa faktor global yang di luar kendali kita. Misalnya, harga komoditas yang anjlok, pertumbuhan ekonomi di China yang melambat dan prospek kenaikan suku bunga US Dollar. Karena itu, kita baiknya fokus kepada hal-hal untuk memperkecil risiko ketiga faktor di atas. Pertama, melalui pembangunan infrastruktur. Dan kedua, deregulasi kebijakan sektor riil untuk memperbaiki iklim investasi. Kalau kita melihat masukan dari para investor, membesarnya arus modal ke Indonesia menunjukkan optimisme meningkat. Yang gampang, lihat indikator di pasar finansial. Misalnya, bursa saham kita menunjukkan optimisme. Sejak awal tahun IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) naik 6,7 persen, sementara di bursa saham Shanghai malah minus 16 persen dan India minus 0,5 persen.
Lalu, lihat kurs rupiah. Rupiah kita menguat 5 persenan, sementara China dan India relatif stagnan. Hal lain, CDS atau Credit Default Swap Indonesia untuk lima tahun ini, angkanya di bawah 2 persen (saat krisis tahun 2008 sempat di atas 12 persen). Tahun ini, CDS turun hampir 0,4 persen, sementara China naik 11 basis poin dan Korea naik sekitar 7 basis poin. Jadi, melihat dari indikator pasar finansial, yaitu valas, saham, obligasi dan CDS, sejak awal tahun, menunjukkan optimisme investor ke Indonesia meningkat. 
 
Apakah indikator di pasar finansial akan diikuti oleh membaiknya pertumbuhan sektor riil? 
Naik turunnya pasar finansial bisa jadi indikator sentimen investor. Pasar finansial bergerak lebih dulu sebelum sektor riil. Jadi, pasar finansial bergerak berdasarkan sentimen, sedangkan sektor riil bergerak berdasarkan realita. Tapi, korelasinya ada. 
 
Jadi, ada peran spekulator dan investor...
Nah, itulah bedanya spekulator dan investor. Spekulator jago memprediksi arus modal. Misalnya, spekualtor merasa akan ada arus modal ke sektor riil dalam 6-12 bulan ke depan, maka otomatis mereka akan masuk duluan ke pasar saham sehingga memicu naik turunnya bursa saham. Mengapa terjadi naik turun di bursa saham? Itu karena adanya ekspektasi laba rugi di sektor korporasi dalam 6-12 bulan ke depan. Kalau diprediksi membaik, maka laba diprediksi meningkat, deviden naik, maka harga saham pun naik. 
 
Di Indonesia lebih banyak mana, spekulator atau investor? 
Itu bagai dua sisi mata uang. Two sides of the same coin. Tahun 1997, sewaktu krisis moneter, rupiah anjlok. Saat itu, spekulator pull out dari Indonesia, Thailand, Korea Selatan. Maka, mata uang rupiah, won dan bath pun anjlok. Tapi sekarang, melihat berita di media-media finansial internasional misalnya Financial Times, Bloomberg dan Wall Street Journal, nuansa Indonesia membaik. Banyak investor terbantu dengan keadaan global. 
 
Bagaimana terbantunya?
Para investor dan analis global, mulai menilai bahwa kenaikan bunga US Dollar tak akan sepesat yang diperkirakan. Indikasinya, ada kemungkinan besar, suku bunga naiknya lamban. The Fed Fund Rate (suku bunga Bank Sentral Amerika) sekarang 0,5 persen. Naik maksimum 2 kali, atau menjadi 1 persen. 
Bahkan, ada beberapa analis memperkirakan The Fed (Federal Reserves atau Bank Sentral Amerika Serikat-red), akan menurunkan suku bunga. Logikanya simpel. Saat ini, rata-rata Bank Sentral menurunkan suku bunga dan melakukan kebijakan Quantitative Easing, terutama di Eropa, China dan Jepang. Maka, bagi The Fed, tanpa menaikkan suku bunga pun, sementara Bank Sentral negara lainnya menurunkan suku bunga, secara relatif mereka melakukan pengetatan. Makanya, US Dollar akan menguat. Jadi, without doing anything by maintaining the interest rate, they tightening monetary policy, because everyone else is losing monetary policy. Dengan penguatan US Dollar, maka ekonomi Amerika terpukul, ekspor mereka terpukul dan pertumbuhan tersendat. Dan, karena belum mengindikasikan pertumbuhan pesat, maka Bank Sentral kemungkinan akan menahan diri sebelum menaikkan suku bunga. Otomatis, bagi investor global, yang tadinya khawatir dengan negara berkembang, mereka memarkir uang pribadi, salah satunya di Indonesia. 
Mengapa? Di Amerika, misalnya, simpanan dengan tenor 10 tahun imbalnya di bawah 2 persen. Sedangkan di LIBOR (London Interbank Offered Rate), rate-nya rata-rata 0,6 persen. Jadi, memarkir dana di pasar US Dollar, atau US Teasury Bonds, hasilnya baik kalau pasar sedang panik. Namun, ketika keadaan normal, investor global mikir lagi. Mereka akan cari pasar di negara yang menawarkan suku bunga tinggi dan pertumbuhan ekonominya pesat. Salah satunya di Indonesia. Sebab, suku bunganya salah satu yang tertinggi di Asia, dan pertumbuhan ekonominya pesat. Logikanya, kalau pertumbuhan ekonomi pesat, berarti laba korporasi pesat dan harga sahamnya naik.
 
Menurut Anda, apakah kebijakan Pemerintahan Jokowi di bidang ekonomi sudah on the right track?
Seperti yang saya katakan tadi, ada tiga faktor global yang di luar kendali Indonesia. Maka, cara memperkecil risiko atau dampaknya adalah dengan pembangunan proyek infrastruktur dan deregulasi kebijakan di sektor riil. Fokusnya di situ saja. Dan ternyata, hal itu membuahkan hasil, investor percaya. 
Dulu, sering banyak yang bilang bahwa Indonesia penuh dengan potensi, tapi realisasinya urusan lain. Sekarang, pemerintah sudah fokus ke realisasi. Artinya apa? Pimpinan pemerintah harus berhadapan dengan isu-isu yang sangat teknis. Misalnya, pembebasan lahan. Itu sebenarnya, dimana coba di dunia ini, pimpinan pemerintahannya turun tangan dalam membebaskan lahan. Tapi ternyata itu adalah penghambat utama pembangunan proyek. 
Kebetulan Presiden dan Wapres dua-duanya pengusaha. Dan, pengusaha tidak suka dengan birokrasi yang membebani. Di mata pengusaha, birokrasi itu harusnya membantu mengarahkan dan mengeluarkan kebijakan yang memastikan iklim investasi baik dan fair. Monopoli, oligopoli, misalnya, diperkecil ruangnya. Lalu, tidak ada ekses rent seeking dan lain-lain. Selebihnya, biarkan iklim investasi membaik sehingga sektor swasta berkembang. ***
 

Idealnya, Bank-bank Dikonsolidasi & Direkapitalisasi

Nama Fauzi Ichsan sudah tak asing lagi di dunia ekonomi dan perbankan tanah air. Dia dikenal sebagai salah satu bankir dan ekonom muda yang tidak hanya cerdas, tapijuga kritis. Kini, lelaki yang pernah berkarier sebagai Managing Director dan Ekonom Senior di Standard Chartered Bank serta Manager di Citibank itu, dipercaya Presiden Jokowi sebagai Kepala Eksekutif merangkap aggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 
Banting stir dari bankir menjadi birokrat, tak sulit bagi lelaki kelahiran Jakarta, 27 Januari 1970 itu untuk menyesuaikan diri. Tugas baru itu dijalaninya dengan penuh semangat dan optimis. Maklum, selain bertanggung jawab menjamin dana simpanan masyarakat di bank yang nilainya maksimal Rp 2 miliar, LPS juga punya tugas maha berat: menutup bank yang sakit atau bankrut. Ditemani teh dan aneka camilan di ruang kerjanya, penyandang gelar Master dari Masschusetts Institute of Technolofy dan Bachelor’s Degree dari The London School of Economics and Political Science (LSE) itu, berbagi cerita mengenai kondisi perbankan di tanah air.
 
Kondisi likuiditas perbankan di tanah air saat ini menurut Anda bagaimana? 
Bank-bank terbesar di Indonesia, likuiditasnya tidak seret. Mereka memiliki likuiditas cukup. Mayoritas masyarakat yang memarkir uangnya di bank besar, bukan karena tertarik bunganya, tapi karena fasilitas dan layanan bagus yang ditawarkan. Misalnya ada internet banking, kemudahan transaksi bayar listrik, telepon dan sebagainya. Sehingga bagi bank-bank besar, tak perlu menawarkan bunga tinggi ke masyarakat. 
 
Bagaimana kondisi bank-bank di kelas menengah?
Ada segmentasi likuiditas. Bank katagori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 4 tidak mengalami masalah likuiditas, sedangkan bank di katagori BUKU 1 dan 2 menghadapi tantangan. Tapi, bisa dibilang, jika ada pengetatan likuiditas, akan terjadi migrasi dari bank kecil ke bank besar. Kenapa? Karena penjaminan LPS. Otomatis, eksesnya, nasabah yang punya uang di atas Rp 2 miliar, ya akan cari bank yang aman. Simpan uang di bank besar, yang simpanannya dijamin LPS.
 
Pemerintah ingin suku bunga pinjaman diturunkan. Apakah bank-bank besar bisa melakukan penurunan suku bunga pinjaman saat ini?
Hhmmm... begini. Salah satu alasan kenapa banyak pengambil kebijakan merasa suku bunga bisa diturunkan, itu karena menganggap Net Interest Margin (NET) atau margin bunga bersih di Indonesia, terlalu tinggi. Memang saat ini tertinggi di Asia, bahkan di dunia. Di Indonesia, margin-nya 5 persenan, sementara negara tetangga di kisaran 2 persen. Ya, gampangnya, coba deh hitung, suku bunga credit card saja 1,5-2 persen sebulan. Dikalikan setahun sudah 24-an persen. Karenanya, persepsi bahwa perbankan kita profit-nya terlalu besar membebani sektor riil, ya ada. 
          Makanya, ada banyak pengambil keputusan yang mengatakan, sudahlah, perbankan harus siap menurunkan Net Interest Margin supaya sektor riil bisa dikembangkan. Tapi, di sisi lain, di bank-bank yang katagori BUKU 1 dan 2, funding cost-nya tinggi. Kalau dipaksakan, suku bunga deposito mereka misalnya diturunkan, maka nasabahnya lari. 
 
Bisakah dilakukan efisiensi di perbankan agar suku bunga kredit jadi turun? 
Idealnya konsolidasi. Saat ini ada 118 bank umum dan 1.800 BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Dulu, menurut Arsitektur Perbankan Indonesia (API), jumlah bank yang ideal di Indonesia cukup 70-80 bank saja. Sejak LPS dibentuk, kita telah menutup sekitar 70-an bank. Bank umum yang ditutup satu, sisanya BPR dan BPR Syariah. Tahun ini saja, ada lima bank yang ditutup. Dan, dari hampir semua BPR yang ditutup, terjadi mis-management dan fraud, yaitu pidana. Terjadi penyelewengan dana oleh pemilik maupun manajemen dan pengelola-nya. 
Dengan BPR yang begitu banyak, memang ada risiko, karena jumlah pengawas perbankannya tidak cukup. Jadi, idealnya dikonsolidasikan, lalu ada penyuntikan modal segar. Jadi, pada akhirnya harus konsolidasi dan rekapitalisasi.
          Saat ini, pertumbuhan kredit Indonesia masih 10-an persen. Padahal, kalau menginginkan pertumbuhan ekonomi setahun di atas 6 persen, maka pertumbuhan kreditnya harus di atas 20 persen setahun. Itu artinya, tiap lima tahun, kira-kira modal perbankan harus dua kali lipatnya. 
 
Konsolidasi dan rekapitalisasi ini bisa menimbulkan pro kontra...
Ya, misalnya merger dua bank. Dulunya ada dua dewan Direksi dan Dewan Komisaris, kalau di-merger ya salah satu harus mundur. Mungkin dampaknya, banyak pengelola dan pemilik bank tidak rela. Lalu, kalau ada konsolidasi pemilik modal, maka sumbernya dari dalam atau luar negeri? Kalau dari luar negeri akan ada pro kontra. Tapi, sebaliknya apakah kekuatan dari dalam negeri cukup untuk merekapitalisasi bank sehingga bisa bersaing di tingkat... ya nggak usah dunia, tapi di ASEAN dulu lah...
 
Bagaimana tanggapan LPS tentang BI 7 Days Reverse Repo Rate? 
Yang namanya suku bunga kebijakan bisa ditransaksikan di Bank Sentral. Misalnya, suku bunga The Fed 0,5 persen, maka perbankan bisa memarkir dana mereka dengan bunga 0,5 persen overnight sehingga ada cash market-nya. Nah, sekarang BI Rate 6,75 persen, tapi cash market-nya dimana? Kalau bank memarkir dana, rate-nya 4,75 persen. Angka 6,75 adalah suku bunga selama 12 bulan. Padahal, dimana-mana, suku bunga Bank Sentral itu mengacu ke overnight (suku bunga overnight saat ini 4,8-4,9 persen-red). 
Nah, kebetulan One Week Repo Rate BI di 5,5 persen. BI mengatakan, secara perlahan pada Agustus, akan meninggalkan BI Rate sebagai acuan dan menggunakan 7 Days Reverse Repo Rate, yang sudah di angka 5,5 persen. Jadi, sebenarnya tidak ada penurunan suku bunga.
 
Apakah akan berpengaruh ke pasar?
Menurut saya sih BI itu netral. Tidak ada suku bunga yang diturunkan atau dinaikkan. Yang ada, rate shifting. Dari suku bunga 12 bulan, ke 7 hari yang sudah di 5,5 persen.
 
Apakah LPS memiliki keyakinan bahwa BI 7 Days Repo Rate akan berdampak ke suku bunga perbankan? 
Setidaknya, dengan cara ini menjadi lebih realistis. 
 
Berapa LPS Rate saat ini, dan apakah BI 7 Days Repo Rate akan berpengaruh ke LPS Rate? 
LPS rate sekarang 7,25 persen. Suku bunga acuan BI itu sifatnya forward looking. Mengacu ke pengendalian ekspektasi inflasi dan kurs. Sifatnya makro. Sedangkan LPS rate, sifatnya backward looking, mencerminkan refleksi dari suku bunga deposito di perbankan. Mengapa ada LPS Rate? Karena kita tidak ingin perbankan menawarkan suku bunga yang eksesif, yaitu yang di atas Rp 2 miliar, itu sovereign risk. 
Karena dananya dijamin LPS, lembaga negara. Tak ada risiko uang hilang. Tapi, jika deposan menerima bunga jauh di atas pasar, bisa di-abuse, terjadi moral hazzard. Misalnya, parkir uang di atas Rp 2 miliar, bunganya 15 persen, tapi begitu banknya tutup, yang dibayar tetap yang Rp 2 miliar-nya. Yang dijamin adalah simpanan di bank yang suku bunganya tidak di atas 7,25 persen. 
 
Apakah benar, untuk menentukan LPS Rate terjadi saling intip dulu? LPS menunggu bank mengumumkan suku bunga atau sebaliknya bank menunggu LPS...
LPS Rate itu ditentukan berdasarkan penelitian terhadap rata-rata perbankan. Sebanyak 58 bank disurvei, dirata-rata. Ada kalkulasi statistik. Setelah itu akan dibawa ke Dewan Komisioner untuk dibahas, maka munculah LPS Rate.
 
Bagaimana potensi kredit macet di perbankan saat ini?
Pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi. Dan dengan adanya pertumbuhan ekonomi, tentu resiko gagal bayar kecil. Lalu, OJK (Otoritas Jasa Keuangan) membolehkan restrukturisasi kredit dan itu membantu memperkecil NPL (Non Performing Loan). Juga, mudah-mudahan, ke depan harga komoditas tidak terpuruk terus. Semoga perlahan-lahan akan naik. Nah, faktor-faktor ini membantu menekan NPL di 2,8 persenan. Dan kalau NPL naik ke 3 atau ke 3,5 persen, rasio kecukupan modal atau CAR di level 21 persen, itu sudah bagus.*** 
 
Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka Senin, 2 Mei 2016