Selasa, 30 Juni 2015

Menjejakkan Kaki Di Perut Bumi Papua: Freeport Membangun Tambang Bawah Tanah Terbesar Di Dunia




 
Freeport bekerja dalam diam. Tak banyak bicara, mereka ternyata sudah membuat terowongan sepanjang 500-an kilometer menembus perut bumi Papua. Ini akan jadi akses areal pertambangan bawah tanah terbesar di dunia.
 
“Di Jakarta, bangun terowongan untuk transportasi massal sulit dan lama. Ini di Papua tau-tau sudah buat terowongan ratusan kilometer,” kata Arif Budisusilo, Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia, berkelakar. Padahal kondisi alam di Papua amat ekstrim. Daerahnya berbatu sehingga jalanan sangat terjal, berliku dengan turunan dan tanjakan yang tajam. Di areal heatroad, kemiringan jalan mencapai 68 derajat. Posisi kawasan pertambangan, diapit sejumlah pegunungan dan bukit-bukit. Cuaca lembab setiap saat.
“Musim di sini hanya dua. Musim hujan, dan hujan deras,” kata salah seorang karyawan, yang mengantar saya berkeliling. Di permukaan tanah, pemandangan alam Papua memang luar biasa indahnya. Sekeliling mata dimanjakan oleh birunya langit dengan awan yang berarak seperti kapas, melintasi hijaunya gunung dan hutan lebat. Tapi, begitu menerobos bawah tanah, suasananya berubah drastis.
Bersama 13 pemimpin media massa, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menjejakkan kaki di bawah tanah. Melintasi jalur selebar 5 meteran, tinggi 10-an meteran yang kondisinya gelap, lembab dan berlumpur. Kami menggunakan kendaraan 4 gardan. Terowongan itu dibangun oleh ribuan pekerja Freeport. Siang malam, tanpa henti. Menembus gunung, melubangi bukit, membuat akses penambangan baru.
Lokasi yang lama yaitu wilayah penambangan terbuka (open pit) di grasberg akan habis tahun 2017. Hasil survey dan penelitian, ditemukan potensi mineral di bawah tanah, sehingga Freeport harus melakukan ekpansi ke lokasi itu. Kalau pemerintah memberi lampu hijau perpanjangan operasi, maka proyek tersebut bakal jadi penambangan bawah tanah terbesar di dunia.
Senior Vice President Geoservice Wahyu Sunyoto menceritakan, di bawah tanah ada empat lokasi penambangan baru, yaitu Grasberg Block Cave, Kucing Liar, Big Gossan, DMLZ (Deep Mining Level Zone). Sedangkan areal DOZ (Deep Ore Zone) yang juga di bawah tanah, telah duluan berproduksi. Cadangan mineral di lokasi-lokasi baru itu mencapai 2,3 miliar ton, dan mampu produksi sampai tahun 2041.
Freeport telah menanamkan investasi awal sebesar 4 miliar USD, dari total 17 miliar USD, untuk membangun infrastruktur penambangan bawah tanah, meliputi akses jalan, teknologi pembersih udara, air dan listrik serta sistem pemadaman api dan keselamatan pekerja.
Diluar itu, total investasi yang telah dikeluarkan Freeport sampai tahun 2013 mencapai 10 miliar USD (atau sekitar Rp130 triliun) untuk membangun pabrik, pelabuhan, bandara, infrastruktur jalan, pembangkit listrik hingga pengolahan limbah.
Di kedalaman 1-2 kilometer, sepanjang terowongan bawah tanah, terlihat pipa-pipa besar, instalasi listrik, air dan sebagainya. Mereka telah membuat semacam sumur besar untuk penampungan bahan mineral dan dialirkan ke atas permukaan tanah dengan mesin sejenis conveyor belt sepanjang 8 kilometer. Melihat apa yang telah dikerjakan, sungguh menakjubkan. Para pekerja seperti membangun “kehidupan” di perut bumi. Tidak hanya tempat ibadah, mereka juga membangun kantor dan segala kelengkapannya di sana. Termasuk portable chamber untuk evakuasi pekerja. Bahkan, Freeport membangun chamber permanent terbesar di dunia, bisa menampung 300 pekerja, dalam keadaan darurat.
Tahun 2013 pernah terjadi kecelakaan kerja di tambang bawah tanah DOZ. Saat itu 28 pekerja terjebak reruntuhan. Tak ingin insiden fatal itu terulang, kini, Freeport menggunakan teknologi baru untuk pekerja bawah tanah. Vice President Underground Mine Operations Hengky Rumbino, putra Papua lulusan Teknik Pertambangan ITB, mengajak kami ke ruang kontrol kendali otomatis. Terlihat beberapa pekerja duduk di depan layar komputer besar. Tangan kirinya seperti mengendalikan pedal kopling dan tangan kanannya mengetik tuts-tuts keyboard. Seperti bermain game, padahal mereka sedang mengendalikan eskavator di bawah tanah. Di layar komputer terlihat
suasana terowongan bawah tanah. Eskavator yang dikendalikan itu tampak bergerak mengangkut material, dan menjatuhkan isinya ke truk-truk tanpa awak. Truk lalu bergerak menuju terminal-terminal untuk menjatuhkan material yang lalu digerakan ke atas permukaan tanah.
Pekerjaan luar biasa dan penuh risiko di tambang Freeport ini dilakukan oleh anak-anak muda tangguh lulusan berbagai universitas di Indonesia. Total karyawan Freeport mencapai 30 ribu orang. Mayoritas orang Indonesia, sedangkan jumlah pekerja asing tak sampai 2 persen. Sebanyak 8 ribu diantaranya putra-putri Papua. Bahkan, hebatnya, 7 diantara mereka, duduk di top level manajemen sebagai vice president. Ratna Susilowati

Berikut ini foto-foto kesibukan karyawan Freeport



Artikel ini telah dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015


30 Ribu Karyawan Bekerja Dalam Ketidakpastian: Meski Maut Menghampiri, Freeport Tetap Semangat




Said Didu menyebut, malaikatul maut saat ini sedang menghampiri Freeport. Pilihannya, kata Staf Khusus Menteri ESDM itu, memang berat, mau mati pelan atau mati cepat. Kontrak Karya berakhir tahun 2021. Dan pada 25 Juli ini akan ada keputusan mengenai perpanjangan operasi. Kepastian ini dibutuhkan, mengingat Freeport akan menanamkan investasinya sebesar 17 miliar USD (sekitar Rp200 triliun) untuk penambangan bawah tanah. “Investor manapun, yang mau menanamkan uang sebesar ini, tentu butuh kepastian operasi,” kata Said Didu, yang juga Ketua Tim Penelahaan Smelter Nasional.
Meskipun bekerja di tengah ketidakpastian, tapi menurut Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoeddin, ribuan karyawan tetap semangat bekerja.
Saat diskusi di Tembagapura, Maroef Sjamsoeddin menyadari selama ini isu-isu terkait Freeport kerap kali kental muatan politik. Sering jadi bahan pertanyaan, misalnya, kenapa Freeport dianggap gagal membangun Papua? Padahal, sekedar perbandingan, luas wilayah kerja Freeport hanya sekitar 90 ribu hektar atau 0,02 persen saja dari seluruh luas Papua yang 42 juta hektar. Melakukan pembangunan Papua seutuhnya adalah tugas negara, sedangkan Freeport sama dengan investor lainnya.
          Lalu, tentang penerimaan negara. Terus dilakukan peningkatan royalti dan divestasi saham untuk pemerintah Indonesia sebanyak 30 persen bertahap sampai 2019, dan terbuka melakukan penawaran saham melalui bursa (IPO).
          Mengenai smelter. Saat ini, sebanyak 40 persen konsentrat dari Tembagapura, dikirim via jalur laut menuju Gresik. Di smelter Gresik, dilakukan pemilahan mineral. Bahan limbahnya, berupa asam sulfat dan gypsum diolah langsung oleh Petrokimia sebagai bahan pupuk dan bahan semen. Karena itulah, posisi smelter di Gresik yang berdampingan dengan Pabrik Petrokimia, dianggap ideal.
          Mengapa tidak membangun smelter di Papua? “Aspek teknis dan bisnis yang membuat kami tidak bisa membangun smelter di Papua. Saya pernah sampaikan secara terbuka kepada Menteri ESDM, setelah melihat lokasi yang direkomendasikan Pemda Papua. Saat itu ada Gubernur, Bupati dan Ketua DPRP serta sejumlah anggota Komisi 7 DPR. Kondisi infrastruktur tidak mendukung. Pelabuhan tidak siap. Jalan darat dan listrik belum ada. Juga belum ada instalasi air. Karena itu, kita memutuskan, wilayah yang paling siap, tetap di Gresik,” kata Maroef.
          Jika izin perpanjangan operasi tidak diberikan, apa yang terjadi? Maroef menceritakan, ini berarti rencana ekspansi membuka pertambangan bawah tanah batal. Produksi hanya mengandalkan yang sudah ada, yaitu penambangan terbuka yang cadangan mineralnya hanya sampai 2017. Kapasitas produksi artinya turun dan tinggal 40 persen. Dan itu berati, smelter yang existing di Gresik sudah cukup menampung produksi.
          Kapasitas produksi Freeport saat ini mencapai 240 ribu ton sehari. Tiap tonnya menghasilkan kira-kira 20-30 kilogram tembaga, 2 gram emas dan 4 gram perak. Ratna Susilowati

Artikel ini dimuat di Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015



Pengalaman Batin Menakjubkan: Buka Puasa Di Mesjid Perut Bumi


 




Berbuka puasa dan shalat berjamaah di perut bumi adalah pengalaman batin yang menakjubkan. “Ini luar biasa,” kata Nurjaman Mochtar, Pemimpin Redaksi SCTV-Indosiar, yang juga Ketua Forum Pemimpin Redaksi.  
Tak pernah terbayangkan, ada masjid dan gereja di perut bumi. Jauh di kedalaman 1,7 kilometer. Freeport membangun itu untuk keperluan karyawan mereka, yang bekerja di areal tambang bawah tanah, di kawasan Tembagapura, Timika, Papua. Kapasitas mesjid yang bernama Baabul Munawar itu, menampung 250 jemaah. Persis di sampingnya, berdiri Gereja Oikumene Soteria.
Di hari ketiga Ramadhan, kami bersama ratusan karyawan PT Freeport, berkumpul di Masjid itu. Melepas rompi yang basah oleh keringat, mencopot helm dengan senter yang berat di kepala, dan membuka sepatu boot yang dipenuhi lumpur, kami lalu berwudhu dan berkumpul di dalam masjid.
Kepala terasa cukup pening. Itu akibat tipisnya kadar oksigen. “Tapi lama-lama juga biasa,” kata seorang karyawan yang sudah bekerja belasan tahun di perusahaan ini, kepada saya, sambil senyum. Kondisi oksigen terbatas bukan hanya di bawah tanah, tapi juga di open pit, tambang terbuka grasberg, yang ketinggiannya mendekati puncak Jaya Wijaya yang bersalju. Meski mereka terbiasa, tapi saya liat, semua karyawan dibekali tabung oksigen yang dililitkan ke pinggang.
Menunggu adzan maghrib, kami duduk mendengarkan tausiah Prof Nasaruddin Umar. Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, beserta istri dan anaknya juga berada di tengah-tengah kami.
Masjid dan gereja ini belum lama dibangun. Diresmikan pada awal Juni lalu. Arsiteknya, Alexander Mone, adalah lulusan Bina Nusantara. Dan strukturnya dikerjakan Andrew Parhusip, lulusan ITB. Tempat ibadah ini dibuat berdampingan atas prakarsa para pekerja. Toleransi ternyata bisa terasa sampai ke perut bumi.
Masjid dan gereja ini berada di salah satu sudut terowongan, yang digali oleh ribuan pekerja tambang. Kami masuk terowongan melalui pintu Ali Boediardjo, diambil dari nama Presdir PT Freeport yang pertama. Nafas sedikit tersengal, tapi udara cukup adem. Rupanya ada teknologi canggih untuk memurnikan udara di bawah tanah. Di sepanjang terowongan dipasang banyak sekali exhaust untuk menyedot udara kotor keluar, sehingga pekerja bisa menghirup udara bersih.
Dinding dan atap mesjid dari batu disemprot oleh semacam semen, dan diratakan. Konstruksi tak sesederhana seperti yang terlihat. Sebab, di tiap meter, tampak ada bautan penahan di dinding. Lantainya ditutup karpet kehijauan. Prof Nasaruddin Umar merasakan suasana itu seperti dalam gua.
Saat tiba waktunya berbuka, salah seorang karyawan mengumandangkan adzan yang syahdu. Kami menikmati tajil sederhana yang disiapkan para pekerja. Teh manis hangat, kurma dan gorengan siomay. Malam itu kami menutup kebersamaan dengan shalat maghrib berjamaah. Dinginnya lantai mesjid dan damainya hati pekerja, rasanya seperti meredam isu-isu politik panas yang tak berkesudahan. Ratna Susilowati

Artikel ini telah dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 30 Juni 2015


Kamis, 11 Juni 2015

Kopi Duren Racikan Pak Menteri Gobel: “Ini Mau Saya Ekspor Ke Afrika & Mesir...”


           Rachmat Gobel sedang mencoba meracik minuman baru untuk pasar ekspor. Kopi dicampur ekstrak durian. Tim Rakyat Merdeka mencicipi kopi ini saat berkunjung ke kantor Menteri Perdagangan, awal pekan lalu. Saat kopi disuguhkan di meja, wangi durennya merebak kemana-mana.

          Kopi ini wangi dan enak sekali. Bagaimana ceritanya, kepikiran bikin racikan kopi duren? Tadinya, saya mau ekspor duren. Tapi usia duren tidak lama. Karena itu, timbul ide lain. Kopi duren yang ini sebenarnya belum boleh dijual, karena racikannya masih harus disempurnakan.

          Sudah enak kok rasanya. Ini terlalu manis, dan bagusnya menggunakan gula merah. Saya juga kasih ide ke produsen permen kopi untuk men-develop produk mereka.

          Mau diekspor kemana?Rencananya ke afrika dan mesir. Saya sudah bicara ke mereka, ada yang berminat.

          Kami lantas dibekali dua kotak kopi duren untuk dibawa pulang. Di dus warna coklat itu, tercantum merknya RG. Jadi merknya RG, Rachmat Gobel? Itu ide lucu-lucuan. Jangan RG-lah, malu (tertawa). Belum disempurnakan (tertawa). Seluruh kopi Indonesia harusnya dipromosikan di sini. Saya juga ingin promosi jamu. Saya mau membuat cafe jamu di bawah sini (di kantor).

          Sebelum pulang, kami diajak mampir masuk ke ruang kerjanya. Bagus dan tertata rapi sekali. Ada meja kursi untuk rapat, yang salah satu sudutnya dihijaukan dengan pepohonan. Yang unik, persis di meja kerja ada hiasan batu. Berbentuk kelereng-kelereng. Beragam jenis dan warna-warni, ditaruh di nampan kayu. “Batu kita mestinya bisa lebih cantik dari ini,” katanya. “Untuk meningkatkan nilai batu, mestinya dibuat perhiasan. Tak hanya jadi cincin saja,” kata Pak Menteri. ***

Artikel ini dimuat di Rakyat Merdeka

edisi Senin, 8 Juni 2015




Menteri Perdagangan Rachmat Gobel Soal Mafia Impor: “Saya Nggak Bisa Diatur Mereka, Bos!”



          Kebijakan impor sejumlah kebutuhan pokok sering jadi pro kontra di masyarakat. Posisi pemerintah memang dilematis. Kalau keran impor ditutup, pasokan kadang rentan terganggu. Sementara jika dibuka lebar, kecaman bermunculan. Pemerintah bisa dianggap tidak pro swasembada.

          Kepada Kiki Iswara, Budi Rahman Hakim, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Sarif Hidayat dan Aditya Nugroho dari Rakyat Merdeka, Menteri Rachmat Gobel bercerita panjang lebar soal ini.

          Sebentar lagi bulan Ramadhan, lalu Lebaran. Bagaimana sistem monitoring di Kementerian Perdagangan agar harga-harga kebutuhan pokok tidak bergejolak? Pemerintah sangat concern pada stok kebutuhan bahan pokok. Pemerintah tidak main-main soal itu. Jelas. Bahkan Presiden pernah mengatakan, masa iya sih, tiap Lebaran, Natal, kok harga-harga naik. Kenapa tidak seperti di luar negeri, harga-harga justru turun saat hari-hari besar. Tentu ini bagian dari pekerjaan rumah Kemendag untuk mengaturnya. Tapi, kami tak bisa kerja sendirian, karena terkait dengan kementerian lain. Pengendalian harga sebenarnya bukan hanya pekerjaan di pemerintah pusat. Pemda juga memiliki peran. Nanti menjelang puasa dan lebaran, saya akan sidak lagi.

          Tentang pengadaan beras, Menteri Rachmat Gobel panjang lebar bercerita. Pernyataannya banyak yang off the record. Tentang ulah spekulan di tingkat tengkulak dan pedagang. Sampai dugaan sepak terjang mafia. Menurut dia, kultur lama harus diubah.

Kalau akhirnya harus impor, keputusan di tangan Presiden. Impor adalah alternatif terakhir. Perlu mendengar dulu pertimbangan Bulog. Kenapa harus impor? Karena beras kurang, nggak ada. Dan kenapa beras sampai tidak ada? Saya pernah masuk ke gudang pedagang beras di sebuah pasar. Ternyata diantaranya ditemukan, beras bulog dioplos dan diberi merk dagang. Bagaimana bisa, padahal itu beras pemerintah? Saya minta Bareskirm dan BIN menyelidiki. Soal beras, saya tidak main-main.

 Pak Menteri termasuk yang rajin blusukan. Bagaimana efektifitas hal itu terhadap penyediaan barang dan pengendalian harga?Ada yang bilang, setelah Menterinya pulang, harga naik lagi. Nggak mungkinlah begitu. Harga tetap stabil kok. Kalau ada pedagang mau ambil untung ya, sah. Tapi kan harga di satu pedagang, tak mewakili seluruhnya. Saat ini, barang-barang kebutuhan pokok cukup tersedia.

 Kapan blusukan lagi? Mulai Juni ini turun lagi. Ke daerah-daerah. Bisa bareng dengan menteri lainnya, atau paling tidak dengan kepala dinas dan aparat keamanan. Ini kesempatan untuk mengecek sampai di tingkat bawah.

Bagaimana cara Anda menekan aksi spekulan? Peran Bulog harus diperkuat. Tugasnya jadi penyangga. Bulog saat ini masih terus melakukan pembenahan dan memperbagus sistem gudang. Bulog tidak boleh jadi lembaga profit. Kembalikan ke fungsinya, sebagai penyangga.

 Gampangnya, kalau mau ketersediaan beras terjamin, kan tinggal buka keran impor. Kalau nggak mau repot, memang tinggal buka tutup keran impor. Itu instrumen mudah. Begitu barangnya nggak ada, buka keran impor, maka barangnya langsung tersedia, dan harga turun. Tapi pertanyaannya, mau sampai kapan kita impor terus? Kita harus dorong swasembada pangan. Memang berat dan butuh proses lama. Karena itu, kita harus sama-sama berusaha. Memperhatikan kebutuhan konsumen memang penting, tapi di sisi lain, sistem perdagangan harus dibenahi dan diatur.

 Pakaian bekas impor dulu sempat heboh. Belakangan juga batik asal China mulai masuk ke pasar Indonesia? Bayangkan, kalau keran impor pakaian ilegal dibuka, konsekwensinya industri garmen kita bisa mati. Makanya, saya stop. Soal batik. Kita punya banyak industri batik printing. Kalau batik impor dari China dibuka, harga batik bisa murah, tapi dampaknya lama-lama industri tekstil batik kita mati. Cucu cicit kita nanti nggak tahu kalau batik itu dari Indonesia. Industri ini harus dilindungi. Kita harus jadi bangsa yang membangun. Jangan jadi bangsa konsumtif.

 Soal aturan pembatasan berjualan alkohol. Bagaimana pendapat Kemendag melihat pro kontra tentang ini di masyarakat? Kunci menghadapi globalisiasi adalah sumber daya manusia yang berkualitas dan kompetitif. Kenapa jualan alkohol dibatasi? Ini menyangkut upaya kita menyiapkan daya juang generasi muda. Kalau jualan di restoran atau cafe ngga masalah. Tapi, jualan alkohol di minimart dilarang. Kenapa? Karena minimart sekarang banyak buka di dekat sekolah, dekat tempat ibadah. Jadi produsen jangan hanya ambil untung, tapi mesti memikirkan dampaknya.

 Di era sekarang bagaimana agar pengusaha terdorong membangun industri yang kompetitif melawan barang-barang impor? Sejumlah Kementrian terkait mesti terlibat mengurusi ini. Misalnya Kemenkop UKM, mengupayakan bunga kredit murah untuk pengusaha kecil. Di Kemendag, impor harus dikelola. Kebijakan impor diarahkan untuk membuat nilai tambah bagi industri. Jangan sampai ada aturan dibuat untuk melemahkan atau mematikan industri nasional.

 Bagaimana Kementerian Perdagangan mengelola importir-importir yang selama ini menangguk untung dari impor barang-barang ke Indonesia. Jadi pedagang mengambil untung ya boleh saja. Tapi perlu dilakukan harmonisasi dan regulasi tarif. Pasar Indonesia harus dilindungi. Salah satu caranya, dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). Trend sekarang, masyarakat mementingkan kualitas. Bukan lagi soal harga murah. Dengan SNI, barang-barang produk Indonesia akan makin berkualitas.

 Hubungan politik yang panas dengan beberapa negara, apakah berpengaruh ke urusan perdagangan? Misalnya, dengan Australia, negara pengimpor daging terbesar ke Indonesia.Impor itu mesti dipandang sebagai secondary card. Dalam lima tahun mendatang, kita harus bangun peternakan terintegrasi. Mulai dari pembibitan sampai menjadi daging. Kita nggak bisa begini (impor) terus. Coba, masa jerohan impor? Di Australia jadi makanan binatang, di sini mewah. Nggak bisa sistem perdagangan begini terus. Malu dong. Sama seperti cabe. Masa tiap tahun tren harganya naik terus. Harusnya bisa pakai teknologi, 24 jam 360 hari nggak bergantung musim. Kita harus jadikan cabe ini industri. Bikin cabe kering, olahan. Dampaknya di desa-desa tumbuh industri cabe dengan resep berbagai macam sambal. Bagus, kalau terjadi pertarungan sambal. Saya sudah telpon Rektor ITB, dalam waktu dekat kita mau buat action plan, pilot project.

 Distribusi sejumlah barang sembako kabarnya dikuasai kartel. Misalnya ada istilah sembilan naga menguasai garam, ada mafia gula, dan seterusnya. Apakah memang benar ada mafia-mafia yang memainkan ini. Kita petakan persoalannya. Kalau mafia garam, misalnya, harus dipisahkan dulu, apakah itu garam konsumsi atau industri. Garam keperluan industri (misalnya untuk kaca, kertas dan pengeboran minyak) tidak dibuat di dalam negeri. Soal gula, ada memang yang menguasai 40 persen. Tapi saya katakan, mereka jangan sampai bisa mengatur negara ini.

 Jadi, ada benar ya mafia itu? Kita tidak melihat mereka sebagai mafia. Mereka kan pengusaha juga. Saya pernah ajak bicara, dan saya katakan, “Saya nggak bisa diatur, Bos!” Dampaknya, ada yang kirim demonstrasi ke sini (kantor Kemendag). Tapi, saya kasih tahu ya, saya nggak bisa diatur. Pengusaha butuh pemerintah dan pemerintah butuh pengusaha. Pengusaha jangan sekedar cari untung, tapi kita sama-sama harus melindungi konsumen kita.

 Siapkah kita menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)?Siap ngga siap ya, kita harus jalani. Menghadapinya? Ya, infrastruktur harus dibangun karena selama ini logistic cost kita mahal. Pelabuhan dan jalan. Daya listrik. Menurunkan bunga bank. Saat ini, inflasi kita masih tinggi dibanding sejumlah negara lain di Asean. Program Presiden Jokowi untuk di Kementerian Perdagangan, jelas. Misalnya, harus membangun 5 ribu pasar, merevitalisasi dan membangun sistem informasinya, cold storage, manajemen yang bagus dan menjaga stabilitas serta terjaminnya supply. Pasar juga harus mendorong promosi produk lokal.

 Kabarnya, Kemendag sedang memproses peraturan tentang pengendalian harga kebutuhan pokok. Kapan akan diumumkan?Ini pasti ada yang setuju, ada yang nggak. Yang nggak suka, akan protes dan bilang kita ini masuk lagi ke zaman Orde Lama, Orde Baru, harga barang-barang dikendalikan. Pedagang pasti menyerang (tertawa). Padahal maksud aturan ini baik. Agar harga kebutuhan pokok tidak membebani masyarakat. Selama ini, harga yang mahal, bisa menciptakan inflasi.

 

Wawancara ini telah dimuat di 

Harian Rakyat Merdeka

Edisi Senin, 8 Juni 2015