Minggu, 06 September 2015

Ngobrol Dengan Shamsi Ali, Imam Mesjid New York: Agama & Kebebasan Berpikir, Ibarat Ikan & Air

 


Shamsi Ali amat terkenal di Amerika. Beberapa hari terakhir ini,Imam masjid Al-Hikmah, di New York itu, adu argumen dengan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Shamsi mengkritik Fadli, Ketua DPR Setya Novanto dan rombongan Dewan yang menghadiri kegiatan capres Donald Trumph, saat kunjungan ke Amerika.
Perseteruan sepertinya akan berlanjut karena Fadli Zon berniat melakukan somasi. Siapakah Shamsi Ali? Anak bangsa yang berkiprah di dunia internasional ini dikenal sebagai tokoh dialog antar umat beragama. Banyak pemikiran-pemikirannya yang menarik saat diwawancarai Eksklusif oleh Kiki Iswara, Ratna Susilowati dan Mellani Eka Mahayana dari Rakyat Merdeka, 20 Agustus lalu. Selama di Indonesia, bulan lalu, Shamsi banjir undangan jadi pembicara dimana-mana. 
 
          Mengapa Anda berkelana hingga ke Amerika Serikat? 

Setelah menyelesaikan sekolah S1 dan S2 di Pakistan, saya mengajar di Jeddah, Arab Saudi. Saya mengajar non muslim dan para mualaf di sebuah institusi dakwah. Itulah saat-saat awal interaksi saya dengan orang-orang selain muslim. Dua tahun di sana, saya merasa resah. Jiwa saya ini pemberontak dan tidak bisa menerima pemikiran-pemikiran yang dipaksakan. Saya ingin ada kebebasan dalam berpikir. Namun kenyataannya saat itu di Saudi Arabia, cara paham diseragamkan. Bahkan, pemahaman non agama pun harus sama. Misalnya, kalau saya berceramah, materi dianggap agak beda, besoknya dipanggil. Rupanya ceramah saya dipantau, dimata-matai. Padahal, kebebasan dan agama itu seperti ikan dan air. Sebesar apapun ikannya, kalau tak ada air, akan mati pelan-pelan. Sehebat apapun simbol-simbol agama, tanpa kebebasan, tak akan langgeng. Hal lain, saya juga resah karena terkait nasib TKI TKW kita di sana. Ada pemerkosaan, penyiksaan dan sebagainya.
          
Karakter Anda menarik juga ya. Menginginkan ada kebebasan berpikir, padahal selama sekolah di Pakistan, mungkin mengalami kehidupan agama yang cukup keras. 

Dari luar, Pakistan dipersepsikan keras, karena ada konflik. Apalagi, tahun 1987-1988 (saat Shamsi Ali bersekolah di sana), saya mendapatkan angin perang. Itu mempengaruhi cara berpikir. Tapi guru-guru saya amat bagus dan pikirannya terbuka. Sebagian mereka tamatan dari Jerman dan Inggris. Kehidupan agama di Pakistan sebenarnya heterogen. Memang ada pertarungan terbuka, dan sama-sama membuat ketegangan.
         
 Islam dan kebebasan berpikir di Indonesia apakah sudah dalam kondisi ideal saat ini? 

Setelah tumbangnya Orde Baru, kita masuk era kebebasan berpikir. Mungkin ada yang menganggap kita sekarang berada di persimpangan jalan. Tergantung kita mau membawanya kemana. Saya diundang masuk di grup whatssaap yang isinya sejumlah orang dengan beragam pemikiran agama. Mulai dari keras, sampai lunak. Kalau bicara tentang sebuah masalah, berdebat kasus, semuanya datang dengan alur pemikiran masing-masing. Di grup itu semuanya blended, meskipun berbeda konsepnya. Masing-masing ingin menunjukkan diri sebagai sebuah solusi. Yang kita kuatirkan, kita terbawa emosi berlebihan, sehingga rasionalitas berpikir jadi berkurang.
 
          Banyak orang sangat sensitif saat tersinggung agamanya. Bahkan jadi mudah marah. Bagaimana agar umat Islam tidak mudah tersulut emosi. 

Saat muncul kasus kartun Nabi, kami demonstrasi dan mendatangi Konjen Denmark di Amerika. Kami mempertanyakan, mengapa Denmark melakukan penghinaan kepada Nabi, yang dihormati miliaran umat manusia. Mereka lalu memohon maaf. Mereka katakan, negaranya tidak mengurus agama. Mereka malah balik menantang pikiran kami. Katanya, tantangannya justru sekarang tergantung Anda. Bagaimana Anda mendidik kami, karena kami tidak tahu tentang agama Anda, tidak tahu tentang Nabi anda. Nah, itulah. Ternyata mereka tidak tahu. Tantangannya, kita harus memberi tahu, menyebarkan pengetahuan kepada mereka. Artinya, memaafkan di sini, mencari solusi. Buatlah marah menjadi positif.
        
  Bagaimana Anda merasakan kehidupan beragama di Amerika belakangan ini. Apakah menunjukkan tren yang semakin bersahabat untuk kehidupan kaum muslim. 

Di Eropa Barat, sekularisme agama berarti jangan sampai simbolisasi agama terlihat di muka publik. Sementara di Amerika malah sebaliknya. Negaranya sekuler, Pemerintah Amerika tidak mengurus agama, tapi justru menjamin dan melindungi kehidupan beragama. Di Amerika, ada polwan muslim dan berjilbab, itu biasa. Baru-baru ini ada seorang Pakistan yang bekerja di Airport dipecat karena janggutnya panjang. Dia mengadu dan di Pengadilan, hakim memenangkan orang Pakistan itu. Dia diberi uang kompensasi dan boleh kembali bekerja. Artinya apa? Amerika dianggap anti-Islam, tapi kenyataannya menghormati hak orang berjenggot karena alasan mengikuti agamanya.
         
 Mengapa kita gampang mencurigai orang di luar Islam, lalu dicap anti-Islam? 

Problemnya di penafsiran. Apa-apa dikaitkan dengan agama. Saya di Amerika, tinggal bertetangga dengan non muslim. Tiap hari bertemu dan saling menyapa. Tidak mungkin, kita hidup bertetangga, tapi kita tidak memberi senyum pada mereka. Agama mengajarkan pertemanan dan hati yang lembut. Itu dasarnya tolerasi. Ada contohnya. Saat Rasul membuat konstitusi berupa piagam Madinah, beliau melibatkan seluruh komponen masyarakat. Ini artinya, saat urusan negara, semua komponen dilibatkan. Juga saat ada sejumlah orang nonmuslim datang menemui dan ingin mendebat Rasulullah, mereka diterima dan boleh menginap di Mesjid-nya Nabi. Bahkan, mereka boleh istirahat di situ. Saat ini, kehidupan sudah global. Tetangga tidak lagi disebut 40 rumah ke kiri dan ke kanan, tapi seluruh dunia. Sebab, tak ada lagi barrier-nya.
        
  Selama 20 tahun tinggal di Amerika, pernahkah menerima perlakukan diskriminatif?

 Nama saya mengandung kata-kata “Muhammad” dan “Ali” sehingga, saat check in di airport, beberapa kali kena lack. Memang kadang cukup merepotkan. Di Amerika, dua kata itu, jika dimasukkan ke komputer, otomatis di-lack. Tapi biasanya, setelah di-interview sebentar, tidak masalah. Berulang kali saya katakan, kapan sistem itu diubah. Saya tidak sedih mengalami ini. Saya memahami, negara punya hak untuk melindungi warganya dari perasaan tidak aman. Menghadapinya, kita harus sabar. Selain hal itu, saya tidak pernah merasa diperlakukan diskriminatif. Saat diwawancara oleh CNN, saya ditanya, apakah menurut Anda, Amerika anti-Islam? Saya jawab, saya merasa lebih bebas mempraktekan ajaran agama Islam, dan bebas menyampaikan apa saja di Amerika. Kebebasan beragama di Amerika ternyata lebih terasa.
         
 Dalam beberapa ceramah, Anda sering bilang Islam itu indah, dan kita harus bisa menampilkan keindahannya. Bagaimana caranya? Apakah di Indonesia, Islam sudah cukup indah? 

Menurut saya, kita masih dalam proses. Umat Islam di Indonesia sedang mencari jati diri. Yang saya khawatir, kita mengedepankan emosi. Padahal, kalau kita meluapkan emosi, apakah hasilnya bisa lebih teratur? Lebih hebat dan berkuasa? Menurut saya, saat kita berjuang untuk agama, etika tetap harus digunakan. Jangan sampai memperjuangkan agama, tapi etikanya diinjak-injak. Contoh sederhana, menyebarkan berita yang dimanipulatif atas nama agama sehingga membuat orang marah dan emosi. Itu ketidakjujuran dalam memperjuangkan agama. Kita marah saat orang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, lalu mengapa kita melakukan itu. Janganlah memanipulasi berita atas nama memperjuangkan agama.
 
Bagaimana stigma Islam di mata barat pada umumnya?

 Saat diinterview televisi CBS (Columbia Broadcasting System), Saya bertemu seorang Rabi. Kami salaman, tapi dia membuang muka. Saya tanyakan, kenapa dia bersikap begitu. Dia bilang alasannya ada dua. Pertama, karena dia membenci Islam. Dan kedua, dia tidak yakin saya muslim. Kenapa dia membenci Islam? Karena stigma yang tertanam pada dirinya, bahwa Islam itu terbelakang, tidak kenal sains, tidak rasional, tidak menghormati HAM dan tidak menghormati wanita. Juga dianggap tidak bersahabat, kaku dan tidak demokratis. Inilah tantangan. Saat saya mengikuti konferensi Islam di PBB, saya ingin menampilkan bahwa Islam tidak seperti itu. Islam bukan hanya di Arab. Di dunia ini, orang Islam Arab hanya 15 persen. Sementara Islam di luar Arab, yaitu gabungan Asia Tenggara dan negara lainnya, mencapai 65 persen. Kita janganlah bersikap inferior. Di dunia usaha misalnya, kita jangan seolah cium tangan pada pekerja yang kulitnya putih (asing, Red). Atau, begitu Arab datang, janganlah selalu menganggap mereka yang paling benar. Jangan sampai semua keturunan Arab dianggap keturunan Nabi. Kan, di Arab juga ada Abu Lahab.
 
Mengapa ada pandangan Islam anti-demokrasi? 

Kita harusnya mencontoh cara yang dilakukan Nabi. Beliau tidak menunjuk penggantinya sebelum meninggal dunia. Itu artinya Islam tidak diktator. Nabi mungkin menginginkan masyarakat Islam mempraktekan cara musyawarah. Itulah contoh berdemokrasi.
 
Di Indonesia, sejumlah partai politik juga memperjuangkan agama. Apakah cara itu cukup efektif membesarkan dan menguatkan agama? 

Banyak kawan saya di sejumlah parpol Indonesia. Ada yang pernah satu pondok pesantren dengan saya saat di Bulukumba (Sulsel). Pergerakan mereka melalui pembinaan dikampus, sehingga banyak anggota partainya yang terpelajar. Agar partai agama besar, sifatnya harus terbuka, merangkul semua orang. Sebaiknya tidak membuat partai yang isinya kelompok dari kalangan sendiri, karena bisa mengundang kebencian. Partai tidak akan pernah besar, jika golongannya eksklusif. Silakan membuat partai agama, tapi perjuangkan ke-indonesiaan. Kalau hanya memakai agama, bisa tercerai. Islam agamanya, tapi ya pengikutnya tetap manusia. Dan manusia bisa salah dan diuji.


 
Hampir 20 Tahun Jadi New Yorker
 
Shamsi Ali menamatkan Sekolah Dasar di Kecamatan Kajang, Bulukumba. Lalu, SMP dan SMA di Pondok Pesantren Darul Arqam Gombara, Makassar. Setahun setelah tamat pesantren 1987, Shamsi Ali sekolah di Universitas Islam Internasional, Islamabad, Pakistan. Mendapat beasiswa dari Rabithah Alam Islami. Jenjang S1 di bidang Tafsir selesai 1992. Dan S2 di tahun 1994, bidang Perbandingan Agama.
 
Sambil kuliah, Shamsi juga mengajar di sekolah Saudi Red Crescent Society di Islamabad. Dari situlah, dia ditawari mengajar pada the Islamic Education Foundation, Jeddah, Arab Saudi, tahun 1995. Saat musim haji 1996, Shamsi Ali berceramah di Konjen RI di Jeddah, dan bertemu sejumlah jamaah, termasuk Dubes RI untuk PBB Nugroho Wisnumurti, yang menawarinya datang ke New York. Maka, sejak 1997, Shamsi Ali menjadi New Yorker, sebutan untuk orang yang menetap di New York.
 
Saat ini, Shamsi Ali adalah Ketua Masjid Al-Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica Muslim Center di Queens. Beliau ulama tafsir yang fasih berbicara Indonesia, Inggris, Arab dan Urdu. Sering pidato di forum PBB dan kontributor tamu media untuk ABC, PBS, BBC World, CNN, Fox News, National Geographic, al-Jazeera dan Hallmark Channel.
Shamsi Ali dianugerahi sebagai satu dari 100 penerima the 2009 Ellis Island Medal of Honor Award. Medali emas bergengsi non militer sebagai pengakuan tertinggi untuk imigran yang berkontribusi luar biasa kepada masyarakat Amerika dan dunia. Shamsi dianggap telah membangun jembatan antara komunitas agama.
Shamsi Ali termasuk tujuh pemimpin agama yang paling berpengaruh di New York. Tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012, terpilih sebagai salah satu 500 Muslim paling berpengaruh di dunia oleh Studi Islam Royal Center Strategis di Yordania dan Universitas Georgetown. Shamsi adalah tokoh penggagas dialog antaragama, membantu warga mempelajari Islam, mengubah bahasa kutbah dari Arab ke bahasa Inggris, berkeliling ceramah untuk menebar perdamaian. Bukanlah hal mudah melakukan itu di Amerika, karena dibutuhkan proses adu argumentasi yang apik, teologis, hakiki dan politis. Juga harus didukung tingkah tauladan sebagai muslim.
Kenapa dialog antar-agama itu penting? Menurut Shamsi Ali,dialog antar agama bukan berarti menyatukan agama-agama, tapi mencari sisi-sisi kesamaan yang bisa membuat keterhubungan. Kesamaan paling utama adalah kerjasama atau hidup harmoni. Islam harus lebih banyak disosialisasikan dan menghindari kontroversi. Yang terbaik adalah membangun pemahaman Islam yang berkarakter terbuka, inklusif dan berkeadilan universal, bersikap toleran dan bekerjasama.
Menurut Shamsi Ali, umat Islam harus ikut berperan di tengah kemajuan teknologi saat ini. Jika diam saja, akan tergerus globalisasi. Umat Islam juga harus bersikap terbuka, mengubah mindset, aktif dan berkontribusi di masyarakat. Harus berusaha melakukan sesuatu, bukan sekedar berusaha mendapatkan sesuatu. ***
 

 
Dijuluki Donald Trump “Smiling Muslim”
 
          Shamsi Ali pernah bertemu dengan Donald Trump. Saat itu, tahun 2014, Beberapa hari setelah dia mendengar pernyataan Donald Trump yang menyudutkan umat Islam. Shamsi menemui Trump ditemani Rabbi Yahudi Marc Scheneier dan Russel Simmons, seorang aktivis pembela kaum minoritas. Saat melihat Shamsi Ali, Donald Trump tertawa terpingkal-pingkal.
Rusell heran, lalu bertanya, kenapa? “I had never dreamt that I will meet a smiling Muslim” (Saya tidak pernah bermimpi untuk ketemu dengan seorang Muslim yang tersenyum). Begitulah jawab Trump. Shamsi saat itu agak tersinggung. “Saya yakin saya lebih sering tersenyum dari Donald Trump,” kata Shamsi Ali, seperti ditulis di Facebook pribadinya, Juni 2014.
          Shamsi Ali lalu menceritakan isi perjumpaan itu. Dia bertanya kepada Trump. “Dari mana gerangan Donald Trump berkesimpulan bahwa orang-orang Islam itu tidak tahu tersenyum?” Semua terdiam. Donald Trump serius menjawab: “Itulah yang selalu saya saksikan di televisi-televisi.”
          Kepada Trump, Shamsi mengatakan: “Mr Trump, sungguh sebelum saya datang ke kantor anda dan bertemu anda, saya ada kesimpulan negatif tentang anda. Sangkaan saya, Anda orang yang angkuh. Ternyata, Anda menyambut kami dengan senyuman dan bercanda, saya mendapati anda sebagai orang ramah. Kalau seandainya saya mengambil kesimpulan tentang orang besar seperti anda dari televisi atau media alangkah naifnya. Sungguh naifnya juga jika mengambil kesimpulan tentang 1,6 miliar manusia (Muslim) hanya dari televisi atau media.” Sejak saat itu, Trump tidak pernah lagi terdengar bicara yang menyudutkan Islam.
          Shamsi mengatakan, jumlah muslim di Amerika saat ini sekitar 9 juta orang. Pasca 11 September, justru makin banyak orang Amerika masuk Islam. “Estimasinya sebesar 4 kali lipat,” kata Shamsi Ali.
Orang Amerika bersifat terbuka dan rasa ingin tahunya amat tinggi. Karena itulah, pasca 11 September, banyak orang Amerika memburu dan membeli Al-Quran. “Mereka ingin tahu informasi sebenarnya tentang Islam. Dan saat membaca Al-Quran, mereka justru menemukan Islam merupakan agama yang agung dan jauh dari apa yang mereka pikirkan selama ini,” katanya. ***

Wawancara ini sudah dimuat di Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 7 September 2015.