Kamis, 11 Juni 2015

Kopi Duren Racikan Pak Menteri Gobel: “Ini Mau Saya Ekspor Ke Afrika & Mesir...”


           Rachmat Gobel sedang mencoba meracik minuman baru untuk pasar ekspor. Kopi dicampur ekstrak durian. Tim Rakyat Merdeka mencicipi kopi ini saat berkunjung ke kantor Menteri Perdagangan, awal pekan lalu. Saat kopi disuguhkan di meja, wangi durennya merebak kemana-mana.

          Kopi ini wangi dan enak sekali. Bagaimana ceritanya, kepikiran bikin racikan kopi duren? Tadinya, saya mau ekspor duren. Tapi usia duren tidak lama. Karena itu, timbul ide lain. Kopi duren yang ini sebenarnya belum boleh dijual, karena racikannya masih harus disempurnakan.

          Sudah enak kok rasanya. Ini terlalu manis, dan bagusnya menggunakan gula merah. Saya juga kasih ide ke produsen permen kopi untuk men-develop produk mereka.

          Mau diekspor kemana?Rencananya ke afrika dan mesir. Saya sudah bicara ke mereka, ada yang berminat.

          Kami lantas dibekali dua kotak kopi duren untuk dibawa pulang. Di dus warna coklat itu, tercantum merknya RG. Jadi merknya RG, Rachmat Gobel? Itu ide lucu-lucuan. Jangan RG-lah, malu (tertawa). Belum disempurnakan (tertawa). Seluruh kopi Indonesia harusnya dipromosikan di sini. Saya juga ingin promosi jamu. Saya mau membuat cafe jamu di bawah sini (di kantor).

          Sebelum pulang, kami diajak mampir masuk ke ruang kerjanya. Bagus dan tertata rapi sekali. Ada meja kursi untuk rapat, yang salah satu sudutnya dihijaukan dengan pepohonan. Yang unik, persis di meja kerja ada hiasan batu. Berbentuk kelereng-kelereng. Beragam jenis dan warna-warni, ditaruh di nampan kayu. “Batu kita mestinya bisa lebih cantik dari ini,” katanya. “Untuk meningkatkan nilai batu, mestinya dibuat perhiasan. Tak hanya jadi cincin saja,” kata Pak Menteri. ***

Artikel ini dimuat di Rakyat Merdeka

edisi Senin, 8 Juni 2015




Menteri Perdagangan Rachmat Gobel Soal Mafia Impor: “Saya Nggak Bisa Diatur Mereka, Bos!”



          Kebijakan impor sejumlah kebutuhan pokok sering jadi pro kontra di masyarakat. Posisi pemerintah memang dilematis. Kalau keran impor ditutup, pasokan kadang rentan terganggu. Sementara jika dibuka lebar, kecaman bermunculan. Pemerintah bisa dianggap tidak pro swasembada.

          Kepada Kiki Iswara, Budi Rahman Hakim, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Sarif Hidayat dan Aditya Nugroho dari Rakyat Merdeka, Menteri Rachmat Gobel bercerita panjang lebar soal ini.

          Sebentar lagi bulan Ramadhan, lalu Lebaran. Bagaimana sistem monitoring di Kementerian Perdagangan agar harga-harga kebutuhan pokok tidak bergejolak? Pemerintah sangat concern pada stok kebutuhan bahan pokok. Pemerintah tidak main-main soal itu. Jelas. Bahkan Presiden pernah mengatakan, masa iya sih, tiap Lebaran, Natal, kok harga-harga naik. Kenapa tidak seperti di luar negeri, harga-harga justru turun saat hari-hari besar. Tentu ini bagian dari pekerjaan rumah Kemendag untuk mengaturnya. Tapi, kami tak bisa kerja sendirian, karena terkait dengan kementerian lain. Pengendalian harga sebenarnya bukan hanya pekerjaan di pemerintah pusat. Pemda juga memiliki peran. Nanti menjelang puasa dan lebaran, saya akan sidak lagi.

          Tentang pengadaan beras, Menteri Rachmat Gobel panjang lebar bercerita. Pernyataannya banyak yang off the record. Tentang ulah spekulan di tingkat tengkulak dan pedagang. Sampai dugaan sepak terjang mafia. Menurut dia, kultur lama harus diubah.

Kalau akhirnya harus impor, keputusan di tangan Presiden. Impor adalah alternatif terakhir. Perlu mendengar dulu pertimbangan Bulog. Kenapa harus impor? Karena beras kurang, nggak ada. Dan kenapa beras sampai tidak ada? Saya pernah masuk ke gudang pedagang beras di sebuah pasar. Ternyata diantaranya ditemukan, beras bulog dioplos dan diberi merk dagang. Bagaimana bisa, padahal itu beras pemerintah? Saya minta Bareskirm dan BIN menyelidiki. Soal beras, saya tidak main-main.

 Pak Menteri termasuk yang rajin blusukan. Bagaimana efektifitas hal itu terhadap penyediaan barang dan pengendalian harga?Ada yang bilang, setelah Menterinya pulang, harga naik lagi. Nggak mungkinlah begitu. Harga tetap stabil kok. Kalau ada pedagang mau ambil untung ya, sah. Tapi kan harga di satu pedagang, tak mewakili seluruhnya. Saat ini, barang-barang kebutuhan pokok cukup tersedia.

 Kapan blusukan lagi? Mulai Juni ini turun lagi. Ke daerah-daerah. Bisa bareng dengan menteri lainnya, atau paling tidak dengan kepala dinas dan aparat keamanan. Ini kesempatan untuk mengecek sampai di tingkat bawah.

Bagaimana cara Anda menekan aksi spekulan? Peran Bulog harus diperkuat. Tugasnya jadi penyangga. Bulog saat ini masih terus melakukan pembenahan dan memperbagus sistem gudang. Bulog tidak boleh jadi lembaga profit. Kembalikan ke fungsinya, sebagai penyangga.

 Gampangnya, kalau mau ketersediaan beras terjamin, kan tinggal buka keran impor. Kalau nggak mau repot, memang tinggal buka tutup keran impor. Itu instrumen mudah. Begitu barangnya nggak ada, buka keran impor, maka barangnya langsung tersedia, dan harga turun. Tapi pertanyaannya, mau sampai kapan kita impor terus? Kita harus dorong swasembada pangan. Memang berat dan butuh proses lama. Karena itu, kita harus sama-sama berusaha. Memperhatikan kebutuhan konsumen memang penting, tapi di sisi lain, sistem perdagangan harus dibenahi dan diatur.

 Pakaian bekas impor dulu sempat heboh. Belakangan juga batik asal China mulai masuk ke pasar Indonesia? Bayangkan, kalau keran impor pakaian ilegal dibuka, konsekwensinya industri garmen kita bisa mati. Makanya, saya stop. Soal batik. Kita punya banyak industri batik printing. Kalau batik impor dari China dibuka, harga batik bisa murah, tapi dampaknya lama-lama industri tekstil batik kita mati. Cucu cicit kita nanti nggak tahu kalau batik itu dari Indonesia. Industri ini harus dilindungi. Kita harus jadi bangsa yang membangun. Jangan jadi bangsa konsumtif.

 Soal aturan pembatasan berjualan alkohol. Bagaimana pendapat Kemendag melihat pro kontra tentang ini di masyarakat? Kunci menghadapi globalisiasi adalah sumber daya manusia yang berkualitas dan kompetitif. Kenapa jualan alkohol dibatasi? Ini menyangkut upaya kita menyiapkan daya juang generasi muda. Kalau jualan di restoran atau cafe ngga masalah. Tapi, jualan alkohol di minimart dilarang. Kenapa? Karena minimart sekarang banyak buka di dekat sekolah, dekat tempat ibadah. Jadi produsen jangan hanya ambil untung, tapi mesti memikirkan dampaknya.

 Di era sekarang bagaimana agar pengusaha terdorong membangun industri yang kompetitif melawan barang-barang impor? Sejumlah Kementrian terkait mesti terlibat mengurusi ini. Misalnya Kemenkop UKM, mengupayakan bunga kredit murah untuk pengusaha kecil. Di Kemendag, impor harus dikelola. Kebijakan impor diarahkan untuk membuat nilai tambah bagi industri. Jangan sampai ada aturan dibuat untuk melemahkan atau mematikan industri nasional.

 Bagaimana Kementerian Perdagangan mengelola importir-importir yang selama ini menangguk untung dari impor barang-barang ke Indonesia. Jadi pedagang mengambil untung ya boleh saja. Tapi perlu dilakukan harmonisasi dan regulasi tarif. Pasar Indonesia harus dilindungi. Salah satu caranya, dengan SNI (Standar Nasional Indonesia). Trend sekarang, masyarakat mementingkan kualitas. Bukan lagi soal harga murah. Dengan SNI, barang-barang produk Indonesia akan makin berkualitas.

 Hubungan politik yang panas dengan beberapa negara, apakah berpengaruh ke urusan perdagangan? Misalnya, dengan Australia, negara pengimpor daging terbesar ke Indonesia.Impor itu mesti dipandang sebagai secondary card. Dalam lima tahun mendatang, kita harus bangun peternakan terintegrasi. Mulai dari pembibitan sampai menjadi daging. Kita nggak bisa begini (impor) terus. Coba, masa jerohan impor? Di Australia jadi makanan binatang, di sini mewah. Nggak bisa sistem perdagangan begini terus. Malu dong. Sama seperti cabe. Masa tiap tahun tren harganya naik terus. Harusnya bisa pakai teknologi, 24 jam 360 hari nggak bergantung musim. Kita harus jadikan cabe ini industri. Bikin cabe kering, olahan. Dampaknya di desa-desa tumbuh industri cabe dengan resep berbagai macam sambal. Bagus, kalau terjadi pertarungan sambal. Saya sudah telpon Rektor ITB, dalam waktu dekat kita mau buat action plan, pilot project.

 Distribusi sejumlah barang sembako kabarnya dikuasai kartel. Misalnya ada istilah sembilan naga menguasai garam, ada mafia gula, dan seterusnya. Apakah memang benar ada mafia-mafia yang memainkan ini. Kita petakan persoalannya. Kalau mafia garam, misalnya, harus dipisahkan dulu, apakah itu garam konsumsi atau industri. Garam keperluan industri (misalnya untuk kaca, kertas dan pengeboran minyak) tidak dibuat di dalam negeri. Soal gula, ada memang yang menguasai 40 persen. Tapi saya katakan, mereka jangan sampai bisa mengatur negara ini.

 Jadi, ada benar ya mafia itu? Kita tidak melihat mereka sebagai mafia. Mereka kan pengusaha juga. Saya pernah ajak bicara, dan saya katakan, “Saya nggak bisa diatur, Bos!” Dampaknya, ada yang kirim demonstrasi ke sini (kantor Kemendag). Tapi, saya kasih tahu ya, saya nggak bisa diatur. Pengusaha butuh pemerintah dan pemerintah butuh pengusaha. Pengusaha jangan sekedar cari untung, tapi kita sama-sama harus melindungi konsumen kita.

 Siapkah kita menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)?Siap ngga siap ya, kita harus jalani. Menghadapinya? Ya, infrastruktur harus dibangun karena selama ini logistic cost kita mahal. Pelabuhan dan jalan. Daya listrik. Menurunkan bunga bank. Saat ini, inflasi kita masih tinggi dibanding sejumlah negara lain di Asean. Program Presiden Jokowi untuk di Kementerian Perdagangan, jelas. Misalnya, harus membangun 5 ribu pasar, merevitalisasi dan membangun sistem informasinya, cold storage, manajemen yang bagus dan menjaga stabilitas serta terjaminnya supply. Pasar juga harus mendorong promosi produk lokal.

 Kabarnya, Kemendag sedang memproses peraturan tentang pengendalian harga kebutuhan pokok. Kapan akan diumumkan?Ini pasti ada yang setuju, ada yang nggak. Yang nggak suka, akan protes dan bilang kita ini masuk lagi ke zaman Orde Lama, Orde Baru, harga barang-barang dikendalikan. Pedagang pasti menyerang (tertawa). Padahal maksud aturan ini baik. Agar harga kebutuhan pokok tidak membebani masyarakat. Selama ini, harga yang mahal, bisa menciptakan inflasi.

 

Wawancara ini telah dimuat di 

Harian Rakyat Merdeka

Edisi Senin, 8 Juni 2015