Minggu, 13 Desember 2015

Amanda Putri Witdarmono, Founder We The Teacher: Mengubah Mindset Guru Adalah Tantangan Besar


Belajar dengan guru seperti Amanda Witdarmono, anak-anak pasti betah. Airmukanya segar, cantik dan pintar serta amat sabar menghadapi anak-anak. “Energi saya hidup saat bersama anak-anak,” katanya, saat wawancara eksklusif oleh Ratna Susilowati, Kartika Sari dan Fotografer Derry dari Rakyat Merdeka, di Jakarta, belum lama ini.
Amanda, di usianya yang ke-27 adalah founder We The Teacher, sebuah lembaga riset dengan slogan “reimagine teaching” untuk mendorong pengembangan guru-guru Indonesia. Setelah lulus dari Boston University, jurusan pendidikan sekolah dasar (Teaching License for Elementary School 1-6), Amanda meraih Master di bidang pengembangan pendidikan internasional di Columbia University, Amerika Serikat. Tahun 2014, meninggalkan zona nyaman dan kembali ke Tanah Air. Dia pun mengabdikan diri dan berbagi ilmunya dengan para guru demi masa depan pendidikan Indonesia.
 
Siapa saja anggota atau yang terlibat aktif di We The Teacher?
Keanggotaan We The Teacher bukan sistem membership. Lembaga ini sebuah riset setelah saya melihat sistem pendidikan calon guru-guru di Indonesia. Saya ngobrol dengan kepala sekolah, guru-guru senior dan mahasiswa. Kami berkumpul dan diskusi bersama. Memang sebagai pendidik, tak ada yang sempurna. Tapi, kami punya semangat untuk sharing, belajar satu sama lain.
Mereka menceritakan atmosfir profesi guru. Ternyata suasananya letih, lelah. Misalnya, banyak yang mengeluhkan kurikulum, karena dianggap kurang mendukung kreatifitas. Lalu, saat guru mencoba memasukkan program atau project, prakteknya sulit diterapkan, karena di kelas-kelas tertentu, mereka hard-willing menyiapkan Ujian Nasional. Belum lagi, di sekolah negeri, guru-gurunya punya keinginan besar jadi PNS. Sehingga semua daya upaya ini mengambil waktu kegiatan belajar untuk murid.
 
Jadi, aktivitas reguler di We The Teacher itu apa saja? Kami mengadakan sejumlah project base dan sosial activity, yang insiprasinya dari lingkungan sekitar sekolah. Awalnya, ada pihak manajemen atau yayasan sekolah yang kurang memahami dan tidak mengerti, atau dianggap project ini tak sejalan dengan misi visinya. Namun, setelah dikomunikasikan, dan mempertemukan shorten goal-nya, akhirnya bisa jalan. Bentuk kegiatan kami antara lain teacher empowerment, survei terhadap orang tua murid, observasi anak dan sebagainya. Ada juga riset, misal, bagaimana murid deal dengan guru yang paruh waktu dibanding fulltime. Atau, hasil pengajaran di sekolah berteknologi tinggi dibandingkan sekolah yang penuh problematika. Ini memang kompleks, tapi akhirnya kita jadi makin mengenal situasi dan wajah pendidikan Indonesia.
 
Mengapa Anda memilih terjun di bidang ini, dan dari mana pembiayaan? Pendanaan kegiatan kami bisa dari sekolah atau CSR money. Saya menjalankan ini pure karena minat dan personal story. Setelah melihat keadaan di sejumlah sekolah di Indonesia, rasanya kok tidak nyaman ya, jika saya dealing dengan comfortable things, sementara kondisi pendidikan kita masih banyak harus dibantu. Apalagi, belum banyak yang bergerak di dunia pendidikan, khususnya bidang guru. Memang ada yang sudah terjun membantu dunia pendidikan, tapi kebanyakan konsentrasi ke anak-anak, sekolah dan infrastrukturnya. Saya berkegiatan di WTT semata-mata karena percaya pada ketulusan hati. Saat memulainya pun tidak dengan ambisi apapun, tapi simply dengan niat berbagi. Semoga dalam 5-10 tahun mendatang, kita akan terbiasa dengan integrasi teknologi di dunia pendidikan, bahasa active learning untuk anak-anak, dan seterusnya.
 
Menurut Anda, problem terbesar pendidikan di Indonesia apa ya?Problemnya kompleks ya. Misalnya, sekolah negeri saat ini dianggap tidak cukup kuotanya, sementara swasta dianggap sekolah untuk orang kaya. Tentang biaya pendidikan.  Low cost schooling, saat ini termasuk isu yang jadi perhatian penting dunia. Kondisinya di Indonesia, masih ada sekolah yang dibayar harian karena menyesuaikan kemampuan orang tuanya. Bahkan, biaya 30 USD per bulan untuk pendidikan dianggap mahal. Padahal, bandingkan dengan negara lain. Di Peru, orang tua mengeluarkan biaya pendidikan saat ini rata-rata 50 USD perbulan untuk anaknya. Dan Afrika, negara yang mungkin dulu kita anggap terbelakang, saat ini biaya pendidikannya rata-rata sudah 100 USD perbulan. Ini membuat saya jadi bertanya-tanya, tentang low cost dan low value. Dalam pendidikan, kita dealing with people bukan object.
 
Anda pernah bersekolah di Indonesia, Singapura dan Amerika. Bagaimana perbedaan ketiganya, dibandingkan sistem pendidikan di Indonesia. Apakah sistem di negara kita cukup kompetitif dan bagus untuk mencetak generasi hebat?(Amanda lahir di New York, sekolah di Indonesia hingga SMP dan melanjutkan SMA di Methodist Girl School Singapura, lalu kuliah di Amerika).
Memang ada perbedaan ya. Misal, saat SMP, dalam pelajaran sejarah, guru mencatat di papan tulis, dan muridnya diminta menyalin, plek harus sama. Bahkan sampai bagian yang digaris bawahi pun harus sama. Hahaha (tertawa). Di Singapura, terasa sekali ada pendalaman ilmu. Namun suasananya cukup ketat. Sehingga ada pandangan, hidup ditentukan sejak ujian kelas 6. Kenapa?Sebab, jika nilai ujian tidak bagus, maka lanjutannya, tidak bisa meneruskan ke sekolah yang bagus, dan ujungnya tidak bisa dapat pekerjaan bagus. Siswa jadi merasa dikotak-kotakan, tergantung levelnya. Ini “mind set” yang mungkin bisa menghancurkan. Sementara di Amerika, yang menonjol ada kebebasan dan bisa switch major atau nego jadwal kuliah ke dosen dengan mudah. Di Indonesia, anak-anak jurusan sosial mungkin pakemnya nggak bisa ke kedokteran atau teknik. Tapi di Amerika, peluang itu terbuka.
Di negara maju, guru-guru yang mengajar lebih fokus. Tapi di Indonesia, ibarat kita buka google-chrome, tabnya banyak banget. Sehingga harus multitask. Perform saat mengajar pun penting. Meski hari itu, misalnya, bad day for me, tapi ya tetap harus berdiri di depan kelas dengan full of energi dan mendeliver hal-hal baik. Analoginya, guru harus pakai teaching jacket, agar bad mood-nya tidak terbawa.
 
Di negara kita ada istilah, ganti menteri, ganti kurikulum. Bagaimana menurut Anda. Apakah kurikulum saat ini cukup ideal?
Kurikulum kita sudah berubah 11 kali sejak kemerdekaan. Kalau dibagi rata, artinya, rata-rata hanya 4 tahun untuk adjustment, implementasi sampai evaluasi. Itu kan sebenarnya nggak make sense ya. Kurikulum apapun, yang terpenting adalah eksekusinya dulu, dan rapihkan.
          Sebenarnya kurikulum 2013 sudah bagus, yang penting memberikan ruang kepada pengembangan diri para peserta didik. Namun tantangannya adalah kurikulum kita ini seragam dari Sabang sampai Merauke.
Contoh, murid di Jakarta, disodori gambar Kuda Nil, mungkin dia langsung tahu itu Kuda Nil. Tapi, murid di Papua, menyebut itu Babi Air. Itu budaya lokal, mereka tahunya seperti itu. Contoh lain soal asap. Apakah anak-anak diberi pengertian mengapa terjadi asap dan bagaimana supaya tidak kebakaran hutan? Yang terjadi sekarang, setelah dewasa, orang baru tahu ini kebakaran hutan dan bagaimana mencegahnya. Jadi kurikulum, mestinya involve dengan kearifan lokal, kebudayaan setempat dan natural resources, sepanjang sesuai dengan nilai Pancasila dan etika ketimuran. Jika ini dilakukan, mungkin semua propinsi di Indonesia bisa maju dan kuat sama-sama. Kekuatan Indonesia bukankah ada di kekayaan perbedaannya. Ini di luar kekurangan lain ya, misal infrastruktur pendidikan yang belum merata di tanah air.
 
Bukankah mata pelajaran sekolah untuk murid di Indonesia itu terlalu banyak, dibandingkan dengan sekolah di negara-negara maju? Jumlah mata pelajaran sebenarnya tergantung jenjang pendidikan. Idealnya, pendidikan dasar meng-cover kemampuan dasar seperti menghitung, logika dan motorik, sementara di jenjang SMA, anak mulai shopping ilmu untuk menentukan minatnya. Jumlah 17 mata pelajaran ya tidak apa-apa, sepanjang bobot assessment-nya atau ujian tiap mata pelajaran tergantung minat anak. Jika bobot assessment sama untuk semua mata pelajaran, maka anak-anak menjadi tidak punya waktu untuk eksplorasi minat. Baiknya, ada opsi-opsi atau pilihan pelajaran, dan assessment setiap mata pelajaran tergantung bobot yang diambil tiap anak.
 
Sekarang Anda masih mengajar?Saya rindu banget mengajar. Kadang ingin sekali. Tapi, kegiatan di WTT banyak dan sehari hanya 24 jam hahaha (tertawa). Sekarang saya tidak mengajar. Kalau masuk kelas lebih ke fungsi observasi. Salah satu pilar di WTT adalah observasi kelas. Hasilnya adalah student outcome, misalnya membuat topik active learning. Sering terjadi, kita ingin kelas aktif, tetapi tanpa disadari bahasa yang dikeluarkan guru-guru tidak memberi peluang active learning terjadi. Misalnya, guru mengatakan, kerjakan ini, kerjakan itu, dan seterusnya. Ini bahasa guru, seharusnya diubah.
(Di saat kuliah, Amanda aktif mengajar. Setiap mahasiswa jurusan ilmu pendidikan dasar harus memiliki pengalaman mengajar sekitar 180 jam di luar kegiatan kampus. Ketentuan ini jadi salah satu persyaratan mendapatkan license sebagai guru. Amanda mengajar satu sampai dua kali sepekan. Antara lain, di University of Wisconsin - Eau Claire Chidren's Center, di Alcott School, Concord MA, di Alexander Hamilton Elementary School, Brighton MA, Museum Fine of Arts Boston, MA dan pada waktu libur sekolah Amanda juga mengajar di sekolah lamanya, di SD Santa Ursula Jakarta)
 
Di memori, terekam guru-guru kita dulu itu ada yang galak dan instruktif. Padahal zaman sudah berubah. Bagaimana cara mengubah mindset guru-guru yang seperti ini.
          Kadang saya menemukan ada guru mengatakan dengan bangga, “wah ulangan saya susah banget sampai anak-anak ngga ada yang bisa menjawab.” Saya heran, mendengar ini. Bukankah, berhasil tidaknya anak-anak mengerjakan ujian, adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai guru ya. Mengubah mindset guru memang sangat challenging. Yang membuat style mengajar seorang guru, bukanlah pendidikan dia, bukan training atau kursus yang dia dapat, tetapi memori selama 12 tahun, saat dulu dia diajari di sekolahnya. “Waktu saya SD, saya diajari peta buta seperti ini, and then Im gonna do that to my kids...” begitu pikirannya.
          Padahal, situasi sekarang amat berbeda. Ada perubahan dan perkembangan generasi. Fokus pehatian anak-anak sangat pendek. Sangat sulit ada anak yang duduk manis selama 30 menit mendengarkan.
 
Teknologi makin maju. Anak-anak makin akrab dengan gaget, bagaimana sikap guru menghadapi ini? Saat ini, otoritas guru dan orang tua menjadi tertantang karena teknologi. Dulu, misalnya, saat ke lapangan dengan guru, lalu murid melihat tanaman, mereka bisa langsung bertanya ke guru, apa namanya. Sekarang belum tentu. Anak yang pemalu, mungkin memotret tanaman itu lalu bertanya ke google. Sehingga murid mungkin nggak selalu pergi ke guru atau orang tuanya untuk mendapatkan ilmu. Karenanya, guru sekarang harus punya added value, supaya tetap dihormati dan memiliki peran yang relevan dengan mindset sekarang.
 
 
Putri Indonesia Yang Kini
Berkiprah International
 
          Pas dengan namanya. Amanda Putri Witdarmono, memang Putri Indonesia. Di tahun 2008, Amanda terpilih sebagai Putri Indonesia bidang Pendidikan, dalam kontes yang diadakan Yayasan Putri Indonesia. Usia masih muda, tapi pengalaman putri pertama Witdarmono dan Henny R ini, luar biasa. Kiprahnya mulai go international, saat tahun 2015, terpilih menjadi pembicara termuda dalamWorld Economic Forum (WEF), di Davos Swiss. Dia sepanel dengan tokoh-tokoh lain yang menginspirasi dunia. Sejak 2012, Amanda terlibat di WEF melalui komunitas Global Shapers. Sebuah jejaring yang merupakan simpul-simpul anak-anak muda berpotensi, berprestasi dan memberikan kontribusi kepada masyarakat.         
          Ketika jadi finalis Putri Indonesia, Amanda mengaku baru belajar dandan dan nge-blow rambut. “Dulu saya cuek. Tapi, rupanya physical appearence itu penting. Apalagi, kita berdiri di kelas dan bicara ke murid, tentu penampilan juga bisa mempengaruhi kualitas komunikasi. Anak-anak akan memperhatikan gurunya dari atas sampai bawah,” kata dia. Sekarang, Amanda terlihat sebagai profesional muda dengan penampilan fresh dan smart.
          Amanda mengaku passionnya di dunia anak-anak dan pendidikan. Tidak pernah ada orientasi masuk ke dunia modeling atau hiburan. Sehingga keterlibatannya di Putri Indonesia, dulu, sekedar untuk pengalaman dan exposure.
Makanan favorit Amanda sushi dan tempe. “Itu never go wrong, apalagi sekarang sedang nge-tred makanan sehat,” katanya. Lahir di New York 7 Oktober, 1988, tapi orang tuanya tetap mendidik Amanda dan adiknya etika dan adat ketimuran. ***
 
 
 
Pernah Magang Di Kantornya Jokowi-Ahok
 
          Amanda pernah magang selama tiga bulan dan ikut mensosialisasikan program Kartu Jakarta Pintar, saat Jokowi-Ahok memimpin DKI Jakarta.
          “Itu pengalaman menarik. Mengurusi pendidikan, tapi faktualnya yang saya kerjakan itu hanya 20 persen di kelas, sisanya di birokrasi. Saya mengetahui dinamika sosial antara orang tua dan problematika keseharian tentang KJP,” katanya. Dia turun ke jalan, sekolah dan bicara dengan guru, orang tua dan kepala sekolah. Hingga membuat infografis, untuk memudahkan prosedur pendaftaran di KJP.
          “Ini program yang amat membantu. Kalau biaya pendidikan sudah tercover, maka dana KJP juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan gizi dan nutrisi anak. Ini penting. Hasil pelajaran yang diterima anak dengan perut kenyang, tentu berbeda dengan anak yang perutnya lapar,” kata Amanda.
          Ditanya mengapa tertarik dengan dunia anak-anak dan pendidikan? Amanda menjawab, dari dulu senang dengan dunia itu. “Main dengan anak-anak, menggambar bersama, dan akhirnya menemukan minat, ingin berkaya bersama anak-anak.” Selama proses kuliah, dia menyadari bahwa dunia pendidikan rupanya amat luas. Ekonomi, politik, dunia, dan apapun semuanya terkait dengan pendidikan.
          Nyambung dengan dunianya, Amanda pun mendirikan Koran Berani, koran yang didedikasikan untuk anak-anak. Ayah Amanda, Witdarmono, adalah jurnalis di Harian Kompas. Di Koran Berani, Amanda adalah Pemimpin Redaksi. “Di koran ini saya bisa bebas membicarakan tentang hal-hal sensitif dalam kacamata anak-anak. Misalnya tentang kejadian di Paris, election dan sebagainya,” katanya. ***

Artikel ini dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Spesial 3 Desember 2015 
(60 halaman)




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar