Rabu, 18 Februari 2015

Kisah Tujuh Kembang & Rasa Ngilu Karena Presiden Tak Datang


Yang tersisa dari HPN 2015, Batam
         
Ini topik obrolan saat ngopi Selasa kemarin. Tentang kebebasan pers. Tentang kemandirian atau independensi pers. Kesannya agak berat, padahal kami berbincang sambil tertawa-tawa.
Perayaan pers nasional sebenarnya sudah lewat sepuluh hari lalu. Biasanya, sepulang dari peringatan HPN, kami lantas lupa begitu saja. Kali ini nggak. HPN atau Hari Pers Nasional di Batam, 9 Februari lalu memang berdampak cukup seru. Komunitas pers terus membincangkan. Bukan tentang perhelatannya, tapi karena Presiden tidak hadir.
Seru. Sebab absennya Presiden banyak dipertanyakan. Mungkin sepanjang 25 tahun kegiatan HPN, baru kali ini Presiden tidak datang. Bahkan, selama zaman Presiden SBY, 10 tahun berturut-turut tak pernah dia tidak datang ke HPN.
Ketua Umum PWI Pusat Margiono menyebut, ketidakhadiran Kepala Negara sebagai “catatan sejarah” untuk menggarisbawahi itu sebagai hal yang langka. Mendengar pidatonya di perayaan puncak, kalimat-kalimat Margiono menyiratkan kekecewaan.
Air mandi tujuh kembang. Ngilu di sendi karena Pak Jokowi tak datang.” Itu pantun Margiono saat sambutan di depan Pak Jusuf Kalla, yang hadir mewakili Jokowi.
Lalu, dia tambah cerita. Katanya, di salah satu event perayaan hari pers diadakan pesta rakyat yang menghadirkan penyanyi Cita Citata. “Dia menyanyikan lagu: Sakitnya Tuh Di sini,” kata Margiono. Sepertinya, dia ingin menggambarkan suasana hatinya saat itu. Cita Citata memang datang dan menyanyikan lagu itu, Minggu malam. Sehari sebelum perayaan puncak. Saya ikut menyaksikan goyangannya di Lapangan Daratan Engku Putri, Batam.
Pernyataan Margiono hari itu menggemakan kekecewaan sebagian besar insan pers senior. Tarman Azzam, Daniel Dhakidae dan Agus Sudibyo, misalnya, kepada sejumlah media, terang-terangan menyatakan rasa kecewa atas keputusan Presiden tidak datang di HPN. Jokowi yang dikenal sebagai “media darling” kok menganggap pertemuan pers bukan sebagai kebutuhan. Ketika konflik KPK-Polri menajam, dan posisinya terjepit saat itu, logis-nya, pemerintah butuh simpati komunitas pers. Tapi, Jokowi tak begitu.
Kembali ke obrolan kami yang sambil ngopi. Diskusi seru karena bosku, yang juga pengurus PWI, terus mengecam Presiden. Melawan senior lain yang justru bertepuk tangan dengan ketidakhadiran Presiden.
Yang beda pandangan ini, senior, dulunya memimpin koran berbahasa Inggris di Jakarta. Dan pernah jadi pemimpin redaksi di sebuah televisi swasta. Saat ini, dia petinggi di majalah bisnis berbahasa Inggris. Usianya mungkin beda 10 tahunan dengan saya.
“Saya senang sekali Presiden tidak datang ke HPN. Saya yakin, itu keputusan yang diambil dengan amat sangat sadar,” katanya, sambil nyeruput minumannya.
 Kenapa sih orang-orang pers malah kecewa? Malah bagus Presiden tidak datang. Saya bahagia. Bukankah cita-cita pers itu independen, mandiri?” tanyanya. “Lucu, ngaku-ngaku independen, tapi marah kalau undangannya tak dihadiri kekuasaan.” Senior omongannya makin provokatif. Bosku mungkin agak tersengat. Tapi, dia meresponnya dengan tertawa. 
Kupikir, ada benarnya senior itu. Bukankah selama ini, pers sering mendengung-dengungkan pentingnya kebebasan dan berjuang agar tidak dikooptasi kekuasaan? Jadi, kalau kekuasaan tak datang, mungkin saja, karena sedang memperlakukan pers dengan cara yang benar.
“Apakah ada di negara lain di dunia, yang pers-nya merayakan sejenis HPN, dan dihadiri presidennya?” Tanya saya, penasaran. Senior itu ngakak. “Kayaknya nggak ada. Cuma di Indonesia,” jawabnya, yakin. 
Nah, kan. Jangan-jangan Presiden bukan tidak peduli. Tapi sedang memberi pelajaran “kemandirian” kepada insan pers. Ini mungkin salah satu efek revolusi mental itu, dan pers mesti siap menghadapi era baru, di luar kebiasaan selama ini.
Nikmat dan gurihnya kopi, ditambah obrolan sore itu, alhasil mencerahkan pikiran. Selasa kemarin, kopiku tidak terlalu pahit. Legit karena dicampur alpukat murni. R