Selasa, 28 April 2015

Arief Yahya Soal Target Pariwisata Ingin Datangkan 20 Juta Turis: Saya Dikritik Itu Mimpi...


          Enam bulan jadi menteri, gaya kerja Menteri Arief Yahya masih sama seperti saat dia jadi Dirut Telekom. Berangkat pagi, pulang menjelang tengah malam. Awalnya, ada saja yang protes. “Ada yang candain saya, kami sekarang kerja mirip seperti pegawai Telkom, tapi gajinya PNS,” kata Arief Yahya sambil tertawa, saat diwawancarai eksklusif oleh Rakyat Merdeka, antara lain Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Budi Rahman Hakim, Muhammad Fiki Azis dan Tim Redaksi, di kantornya, pertengahan pekan ini.
          Muka Arief Yahya kelihatan kelelahan. Tapi semangatnya tidak padam. Menggebu-gebu, Arief menceritakan program dan target dengan paparan sekitar satu jam melalui slide dan memperlihatkan contoh-contoh iklan untuk promosi wisata Indonesia. Sekarang iklan-iklan “Wonderful Indonesia” ada di Singapura dan China, pasar terbesar wisatawan Indonesia.
          Selain Bali, apa lagi potensi wisata Indonesia yang bisa masuk toplist dunia?Memang saat ini top destinasi masih Bali. Tapi kalau tujuan khusus sebenarnya banyak. Misalnya, Bunaken dan Raja Ampat masuk destinasi top dunia untuk diving, snorkling. Sejumlah pantai di Indonesia juga masuk yang terindah di dunia. Potensi kita amat besar. Ranking dunia secara umum, kita di nomor 70 dari 140 negara. Keindahan alam dinilai A, harga dianggap kompetitif. Tapi memang masih ada sejumlah kelemahan, antara lain infrastruktur dan health hygiene.
          Turis ke Indonesia, terbanyak datang ke mana? Ini ada data. Ternyata 90 persen orang datang ke tiga tempat, yaitu Bali, Jakarta dan Batam. Jadi, untuk marketing, sumber daya harus fokus di tiga tempat itu, dan sekitarnya. Misalnya, menjadi Greater Bali (termasuk Lombok, Banyuwangi, Bromo dan seterusnya). Lalu Greater Jakarta (termasuk Jabar bagian barat, Cianjur, Cipanas, Sukabumi), dan Greater Batam. Turis yang datang ke Jakarta ada 2,3 juta orang, tapi ke wilayah Banten, misalnya, baru 200-an ribu orang. Ini artinya daerah sekitar kurang memanfaatkan keberadaan orang yang datang ke Jakarta.
          Apakah tagline kita tetap Wonderful Indonesia atau akan diubah? Itu tetap. Sudah kita diskusikan dan debat, pilihannya tetap itu. Sebab, belum banyak juga yang tahu. Apapun bagi saya, sama saja. Yang tidak boleh, kita tidak mempromosikannya. Makanya, kita bisa kalah dengan Truly Asia (tagline pariwisata Malaysia).
          Bagaimana strategi Anda jualan pariwisata Indonesia? Strategi marketing simpelnya kita sebut DOT. Destinasi, Originasi (asal) dan Time (waktu). Terbanyak destinasi adalah Great Bali, Great Jakarta dan Great Batam. Dan originasi terbesar dari Singapura, Malaysia, Australia, Tiongkok dan Japan. Maka, promosi wisata harus menyesuaikan dengan waktunya mereka (Time). Jangan promosi di saat yang salah. Setiap negara itu ada kekhasan waktu libur. Misalnya Tiongkok. Mereka punya lima musim liburan. Tahun ini Februari saat Imlek, Mei saat liburan buruh, Juni-Juli liburan sekolah, lalu Oktober liburan nasional dan ada liburan akhir tahun sampai tahun baru. Jadi, saat menggarap pasar Tiongkok, promosi setidaknya lima kali di waktu-waktu itu. Kalau waktu promosinya tidak pas, target tidak akan tercapai.
          Anda punya target mendatangkan wisatawan 20 juta orang di tahun 2019. Bagaimana mencapainya? Turis dari Singapura, Malaysia dan China sekarang sudah mengalahkan jumlah turis yang datang dari Australia. Jadi, China adalah plan kita. Hipotesis saya, kalau promosi kita di China dilakukan dengan besar, maka meningkatkan 50 persen saja dengan cepat sangat mudah.
          Arief lantas menceritakan strategi promosi dengan fokus di Tiongkok. Beberapa bulan lalu, dia datang ke Beijing bersama Dirut Garuda Arif Wibowo. Mempromosikan Bali dengan timing yang pas, memasang iklan di koran dan televisi setempat, sekaligus ikut meluncurkan rute Beijing-Denpasar. Hasilnya, mengejutkan. Dari pintu Bali, turis asal Tiongkok naik sampai 60 persen. Tahun 2014, turis Tiongkok yang ke Indonesia tidak sampai 1 juta orang. Saat ini, orang Tiongkok yang ke Bali saja sudah mencapai 1 juta. Sehingga, kenaikan turis asal Tiongkok mencapai 42 persen. “Jadi, kalau kita promosi dengan benar, hasilnya pasti bagus,” kata Arief Yahya.
          Dia mengingatkan, target mendatangkan turis 20 juta adalah target Presiden. Bukan target menteri. “Untungnya, kalau target Presiden, maka semua menteri harus mendukung. Tapi, tetap saja banyak orang di luar kritik saya. Katanya, ini mimpi. Menurut saya, itu malah terlalu kecil. Harusnya kami dikritik, 20 juta itu kurang besar,” ujarnya, sambil membandingkan bahwa jumlah turis Malaysia saat ini mencapai 25 juta dan Thailand 26 jutaan.
          Bagaimana dengan anggaran promosi pariwisata Indonesia dibanding negara lain. Kalah biaya, bukan berarti kalah strategi kan? Tahun 2014 hanya Rp300 miliar, sekarang 2015 ditambah menjadi Rp 1 triliun. Untuk wilayah dengan potensi pariwisata Indonesia yang banyak sekali, anggaran ini ya sangat kecil. Bandingkan dengan Malaysia, anggaran promosinya mencapai 300 juta USD. Dan Singapura yang luas wilayahnya seuprit, mencapai 278 USD. Nominal kita kalah jauh.
          Menteri Arief lantas menceritakan strategi BAS atau Branding, Advertising dan Selling. Anggaran promosi Rp 1 triliun, dialokasikan untuk Branding 50 persen, Advertising 30 persen dan Selling 20 persen. Ke negara mana, promosi terbanyak? Sekitar 50 persen ke negara-negara ASEAN, pasar terbesar turis ke Indonesia.
          “Dulu, ada nggak iklan Wonderful Indonesia di Singapura, atau misalnya nempel di biskota Singapura? Ngga ada. Sekarang baru kita lakukan. Asean lebih dulu. Anggaran promosi jangan dibagi-bagi ke negara kecil, yang belum tentu turisnya datang ke Indonesia. Setelah ASEAN selesai, lalu ke Asia Pasific dan China, Jepang Korea. Sumber uang turis kita ada di situ. Baru ke tempat lainnya,” tutur Arief.
Apakah dulu promosi pariwisata kita ibarat jualan es di musim hujan ya? Kalau dulu, branding sendiri. Advertising sendiri. Setelah muncul di koran, misalnya, tidak dilanjutkan dengan action. Mestinya, setelah awarness, muncul interest, lanjutkan dengan desire dan action. Nah, actionnya ini selling. Jualan. Setelah orang tertarik, teruskan dengan penawaran, selling. Kalau mau ke tempat itu, biayanya sekian, sekian, dan seterusnya.
          Arief memaparkan strategi lainnya. Yaitu POS (Paid Media, Own Media dan Social Media). Tiga jenis strategi ini tak bisa dipisahkan. Beriklan di media, diikuti dengan penjelasan lebih detail di Own Media, atau portal milik Kementerian. Saat ini sudah dibuat dengan alamat www.Indonesia.Travel yang isinya rinci dan detail mengenai program dan penjelasan destinasi. “Kalau kita promosi tentang Lombok di media, misalnya, maka di own media harus dijelaskan ada apa di sana. Ada Gili. Lalu ke Gili naik apa, bagaimana mencapainya, ada penjelasan program, event dan seterusnya. Setelah itu mainkan di social media,” katanya. Arief menyebut, perlu kerjasama dengan pengguna medsos yang followernya banyak.
          Mau tidak mau, Kementerian Pariwisata sekarang harus melek teknologi. Hasil exit poll yang dilakukannya, sekitar 70 persen turis asal Tiongkok melakukan pencarian destinasi dan transaksi melalui digital media. ***
 
Wawancara ini telah dimuat di Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 20 April 2015
 

Pariwisata & Toilet Jorok: Arief Yahya Ngambek


  Syukurlah Menteri Pariwisata kita yang baru, Arief Yahya, peduli pada urusan toilet di tempat wisata. Dia, sama seperti kebanyakan dari kita, ngambek dan kesal tiap kali melihat toilet yang jorok. Turis datang jauh-jauh dari mancanegara, disuguhi pemandangan indah, tapi bisa emosi melihat toilet yang kotor dan menjijikan.
          “Saya sudah ngamuk. Sudah, umumin saja di koran. Menpar ngambek,” kata Arief Yahya, saat berbincang dengan Tim Rakyat Merdeka, di kantornya, pekan ini.
          Menurut Arief, harusnya urusan toilet di tempat wisata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Tapi kenyataannya, sulit. Saat ini, nilai kualitas toilet Indonesia, mengutip World Economic Forum, hanya 40, dari 140 negara atau termasuk terburuk di dunia. Menteri Arief sangat malu dengan kenyataan itu.
“Pemda mengelola toilet saja tidak bisa. Saya agak marah. Karena itu, Kementerian Pariwisata akan membuat 34 toilet percontohan, atau satu proyek percontohan di tiap provinsi. Target awal nantinya dibangun 1000 toilet untuk dibisniskan. Dalam setahun bisa untung. Dengan cara ini, everybody happy,” katanya.
          Bagaimana caranya membisniskan urusan toilet? Idenya mirip dengan membangun wartel (warung telekomunikasi) saat dia jadi Dirut Telkom. Waktu itu, jaringan komunikasi buruk dan penetrasi telepon rendah. Karenanya muncul ide membangun wartel dengan menggandeng para pebisnis lokal. Dari 125 proyek percontohan, akhirnya menjamur hingga 125 ribu wartel di seluruh pelosok.
          Kini, dia mengajak Asosiasi Profesi Laundry Indonesia (APLI) dan Asosiasi Perusahaan Klining Servis Indonesia (Apklindo) untuk menggerakan usahawan daerah berbisnis toilet. Standar ditetapkan Kementerian. Misalnya, untuk membangun toilet tipe 27 (berisi 6 unit toilet) diperlukan biaya sekitar Rp150 juta. Operasional 10 jam sehari atau 600 menit, bayar Rp1000 tiap pengguna. “Ini keuntungannya besar. Dalam setahun bisa balik modal,” katanya. Dengan cara ini, pengelola untung dan wisatawan pun senang karena datang ke tempat wisata dan mendapat toilet bersih.
          Bagaimana kalau Pemda marah? Arief menjawab, kalau ada yang marah, ya silakan. Ayo tunjukkan ke saya, mana toiletmu.” 



Ngiri & Gemas Melihat Maldive
 
          Sektor pariwisata menyumbang 10 persen PDB atau Produk Domestik Bruto. Bandingkan dengan Malaysia, menyumbang 16 persen PDB negaranya, dan Thailand 20 persennya. “Makanya, saat nilai tukar Dollar naik dan neraca perdagangan turun, kondisi ekonomi Thailand tetap stabil karena ditopang oleh tourism,” kata Arief. Padahal potensi pariwisata di Malaysia dan Thailand kalah jauh dibanding Indonesia.
          Arief mencontohkan Maldive. Pendapatan Maldive dari sektor pariwisata 2 miliar USD atau sekitar Rp26 triliun, padahal jumlah penduduknya hanya 300 ribuan orang. Dia ngiri dan gemas melihat kenyataan ini. Di Indonesia, kepulauan sejenis Maldive banyak, dan berpotensi dikembangkan jadi aeal wisata besar. Misalnya di Belitung, Anambas, Nias dan Raja Ampat. “Jadi, proyeksi untuk mengalahkan Thailand itu sangat mungkin,” katanya.
          Biaya untuk ke Raja Ampat itu amat mahal, karena sebanding dengan biaya keliling Tiongkok. Bagaimana plannning pemerintah untuk mempermudah aksesnya? Sementara ini, positioningnya dipertahankan untuk pasar high end. Sehingga kondisi alamnya bisa terjaga.
 
Kira-kira bagaimana pengaruh kebijakan pembebasan visa terhadap sektor pariwisata. Peningkatan pendapatan bisa berapa persen? Kebijakan itu akan dimulai Mei nanti. Saya perkirakan pendapatan naik 1 miliar USD atau sekitar Rp13 triliun. Kita memang kehilangan 25 USD (dari biaya pembuatan visa) tapi spending turis minimal 1200 USD per orang. Dan itu, efeknya langsung ke masyarakat. ***

Wawancara ini dimuat di Rakyat Merdeka edisi Senin, 20 April 2015