Jumat, 25 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (3): Naik KA Cepat China, Serasa Argo Kecepatan Ferrari

China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya

 

Suasana di Stasiun Kereta Cepat CRH (China Railway High-speed), di Beijing. Foto by RadianSukma/Detikcom


Dua hari di Guangzhou, rombongan beranjak ke Beijing. Kami menggunakan jalur darat dengan Kereta Cepat China yang disebut CRH (China Railway High-speed). Senang sekali bisa mencobanya, karena di Indonesia, orang sedang ramai membicarakan kereta ini.

Kami naik kereta cepat bersama tim dari NorgenHealth. NorgenHealth adalah platform layanan medis pertama dan terbesar di China. Lembaga ini banyak membantu orang-orang Indonesia yang ingin berobat ke China. NorgenHealth mengurus lengkap. Mulai dari konsultasi medis, mencari pengobatan, dokter dan rumah sakit yang cocok, sampai layanan pasca pengobatan. Juga mengurus visa dan mengatur akomodasi kerabat yang mendampingi. Bahkan hingga layanan wisata selama berada di China. Di Beijing, rencananya kami akan berkunjung ke sejumlah rumah sakit.

Kembali ke kereta cepat. Harga tiketnya 862 RMB atau Rp1,7 juta perorang. Itu untuk second class. Untuk first class 1200 RMB dan business class 2700 RMB. Mahal? Ngga juga sih. Jarak Guangzhou-Beijing itu jauh sekali. Sekitar 2.200 kilometer, atau tiga kalinya Jakarta-Surabaya (690-an kilometer). Waktu tempuh 8 jam. Berangkat dan kedatangannya, benar-benar tepat waktu. Tak lebih tak kurang, semenit pun. Kalau memilih kereta api biasa, jarak sejauh itu membutuhkan 24 jam. Tiket CRH bisa dipesan online sampai 60 hari sebelum keberangkatan. Hari itu, kita memilih jadwal pagi.

Stasiun kereta api dalamnya mirip airport ya. Cukup bersih dan rapi 
(Foto: ratnasusilo)

Suasana di stasiun cukup tertib, rapi dan bersih. Padahal antrian padat. Penumpang seliweran, ribuan jumlahnya. Papan penunjuk informasi ukurannya besar dan menyala dimana-mana. Serasa mirip suasana airport. Kami naik dari Stasiun Selatan, stasiun terbesar di Guangzhou. Pemeriksaan tiap penumpang sangat detail. Meskipun sudah masuk xray, semua koper dan tas dibuka lagi oleh petugas, lalu diperiksa teliti, hingga ke bagian dalamnya. “Ini baju dalamku di tas ikut diperiksa juga,” kata Amri Husniati, wartawati JawaPos yang gabung di rombongan ini, sambil ketawa. 

Pemeriksaan koper penumpang sebelum masuk boarding room. (Foto: ratnasusilo)

Perjalanan menyenangkan. Tiap kali melewati terowongan, rasanya seru. Rupanya pembuatan jalur kereta cepat ini melubangi banyak bukit dan gunung. Ada yang terowongannya terasa panjaaaang sekali. Lalu yang sangat sangat pendek juga banyak. Bahkan, ada yang dilalui tak sampai dua detik. Ya, itungannya detik, karena kecepatan kereta ini sampai 300-an km perjam. Seberapa cepat kereta lari, bisa terlihat dari angka-angka yang ditampilkan papan monitor, persis di atas pintu kaca, pembatas antar gerbong. Angkanya menyala merah. 

Membutuhkan sekitar 10-15 menit dari kecepatan awal saat start, lalu terus naik ke 200 km perjam, 250 km perjam, hingga akhirnya stabil di 300-an km per jam. Sesekali menyentuh 305 km perjam. Suara gesekan rel terdengar tapi tidak keras. Ini mungkin menyamai kecepatan mobil balap Ferrari di sirkuit. Kereta terasa melesat. Wuzzzz. Tapi, kita masih bisa menikmati pemandangan yang jelas, di balik jendela. 

Saat menyentuh kecepatan maksimalnya itu, posisi kereta sudah berada di pinggiran kota. Terlihat dari pemandangannya yang berubah. Mulanya, melihat gedung-gedung tinggi, cerobong industri, lalu jadi pegunungan, pepohonan hijau, perkebunan, pedesaan dan hutan. Pagi itu kabut terus menyelimuti jalur di sepanjang perjalanan. 

Komposisi duduk di kelas ini 3 kursi di lajur kanan, dan 2 kursi di lajur kiri. Jadi, sebaris ada lima kursi. Saya hitung, ada 15-an baris dalam satu gerbong. Dan jumlah gerbong hari itu, ada 9. Jadi, sekitar 1200-an orang bisa sekali angkut di kereta cepat ini. Kalau musim liburan, gerbong kereta bisa ditambah. Tergantung padatnya penumpang. Ujung gerbongnya berbentuk peluru. Mirip sih dengan penampakan Kereta Shinkansen Jepang, atau TGV di Paris. Di China disebutnya Gao Tie.

Sama seperti orang Indonesia, orang China juga rupanya gemar bawa banyak barang saat bepergian. Kardusan, koper dan makanan. Tempat koper di kabin pun penuh berjejalan. Juga memadati tempat koper di lemari extra yang disediakan di antara pintu pembatas antar-gerbong. Sebagian koper terpaksa ditaruh di lorong antar-kursi. 

Suasana di second class, serasa naik kereta Argo-nya milik PT KAI. Menurut Alfio Aprilio, guide perjalanan dari NorgenHealth, tempat duduk di first class lebih lega. Bahkan, di kelas bisnis, tempat duduk bisa diposisikan jadi tempat tidur.

Selama delapan jam perjalanan, penumpang disuguhi tontotan berita dari layar televisi yang jumlahnya dua buah dan ditanam di langit-langit kereta. Layarnya bisa dua muka, depan belakang. Banyak penumpang mengusir rasa bosan dengan menonton film dari laptopnya. Layanan makan, ada restorasi kereta atau pramugari yang mondar mandir menawari makanan. Beli mie atau nasi ayam sekitar 45-60-an RMB. Wartawati Antara, Desi Purnama menaburi abon cabe dari Indonesia. Lumayan, mie jadi berasa pedas gurihnya.

Makin ke pinggiran, jumlah terowongan makin banyak. Belum seperempat perjalanan, sudah lebih 50-an yang terhitung. Di terowongan ke 56, saya tertidur. Saat bangun, entah sudah berapa terowongan terlewati. Sampai Beijing, mungkin jumlah terowongannya ratusan.


Toilet bersih. Ukuran cukup lega

Toilet? Bagus dan cukup bersih. Ukurannya lebih besar sedikit dari toilet pesawat terbang. Pembuangan disedot dengan sedikit air. Wangi, dan ada tisu yang selalu terisi penuh. Petugas kebersihannya mengepel lorong-lorong kereta api nyaris tiap jam. Dan setiap saat, ada petugas lain yang bolak balik mengecek dan mengambili sampah yang berserakan. Petugasnya berani. Kalau kelihatan ada bungkus makanan di meja lipat langsung dibersihkan. Meskipun isinya belum habis, dia tak peduli. Pokoknya harus bersih. 

Dispenser untuk penumpang kereta.

Yang unik, kereta menyiapkan dispenser air minum. Gratis. Banyak penumpang yang membawa botol air kosong dan diisi di situ. Sampai di Beijing, pukul 18.00 on time. Keluar dari stasiun, suasananya amat sibuk. Aroma metropolitan pun terasa. Welcome to Beijing. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di Rakyat Merdeka Online, Selasa 22 Maret 2016 http://dunia.rmol.co/read/2016/03/22/240396/Naik-KA-Cepat-China,-Serasa-Argo-Kecepatan-Ferrari-

Artikel ini juga sudah dimut di Harian Rakyat Merdeka, Sabtu (26/3/2016)