Minggu, 20 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (1): Menyaksikan “Live” Bedah Lambung Secanggih Amerika

China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.

Foto 1.  Prof Wu Liang Ping, memberikan keterangan setelah melakukan operasi gastric bypass di Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine (Foto by ratnasusilo)        

  Ini pertama kalinya saya menyaksikan operasi pembedahan di perut secara live. Di China, prosedur gastric bypass (bypass lambung) untuk pasien diabetes type 2, dan sleeve gastrectomy (pengecilan lambung) untuk pasien obesitas, makin sering dilakukan. Sepuluh tahun lalu, teknik seperti ini berkembang di Amerika. Kini, China tak kalah hebat. Sudah banyak dokter di sana melakukan operasi ini. Salah satu dokter senior yang amat dihormati, Prof Wu Liang Ping dari Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine, melakukan operasi ini pertama kali tahun 2008. Dan kini, total pasien yang telah dioperasi olehnya mencapai 500-an orang. Prof Wu berkarir di kedokteran selama 20 tahun. Telah melakukan lebih dari 3000 jenis operasi laparoskopi, dan pelopor bedah metabolik. Telah menerbitkan lebih dari 40 jurnal kedokteran.

          Dari layar lebar yang dipasang di ruangan tertutup, saya dan sejumlah wartawan dari Indonesia, menyaksikan dengan jelas, proses operasi secara laparoskopi. Jenis bedah minimal invasif. Luka di luar sangat sedikit, sehingga sembuhnya lebih cepat. Ada empat titik di perut pasien dilubangi kecil, untuk memasukkan alat seperti selang kaku. Ujung selang itu berkamera, sehingga dokter bisa melihat jelas seluruh bagian dalam perut pasien melalui layar monitor. Lalu, tiga titik lainnya, untuk selang dan kateter yang memasok berbagai macam alat medis. Mulai dari pemisah lemak, alat pemotong, hingga alat jahit. 

          Prosesnya sekitar 40 menit sampai satu jam. Prof Wu terlihat amat terampil mengerjakan seluruh rangkaian operasi itu. Alatnya canggih. Begitu lambung terbelah dua, otomatis pinggirannya rapi dan rapat. Seperti memasang retsleting di baju. Dibantu 2 asisten dokter dan 8 perawat, tangan Prof Wu, lincah menggerakan jarum berbentuk huruf C, saat menjahit bagian lambung. “Ini mungkin karena kami terbiasa menggunakan sumpit, sehingga mengerjakan hal-hal detail seperti ini pun tidak sulit,” kata rekan Prof Wu, yang ikut mendampingi kami menyaksikan operasi ini. 

          Pasien saat itu adalah lelaki, usia 35 tahun dan menderita kegemukan. Berat badannya sekitar 120 kilogram, diabetes dan darah tinggi. Setelah operasi selesai, luka jahitan di perut ada 4 titik, dengan panjang sekitar 0,5-1 cm. Bandingkan dengan metoda pembedahan konvensional. Lukanya bisa menganga sekitar 20-an cm.

          Keluar dari ruang operasi, Prof Wu bergabung dengan kami. Dia tampak lega dan gembira. Begitu membuka masker mukanya, tampaklah senyum yang ramah. Usia Prof Wu terlihat masih muda. “Saya kelahiran tahun 1970,” katanya.

  Foto 2. Wartawan dan sejumlah dokter ahli serta pasien dan keluarga pasien bersiap menyaksikan siaran “live” operasi bedah lambung. Sihol Manullang (dengan selang infus) ikut hadir. (Foto doc norgenhealth)

Operasi hari itu sukses dan kondisi pasien bagus. Dia yakin, besok pasien sudah bisa turun dari ranjang, dan 3-4 hari kemudian pulang ke rumahnya. Satu-dua tahun setelah operasi, Profesor yakin berat badan pasien turun 30-40 kilogram. 

          Lima tahun terakhir, operasi ini banyak dilakukan di China karena penderita obesitas dan diabetes terdeteksi makin banyak. China termasuk negara dengan penduduk terbanyak di dunia yang menderita diabetes (data 2015, jumlahnya mencapai 90-an juta orang). Menyusul, India (61,3 juta), Amerika (23,7 juta) dan Indonesia ada di urutan ke-10 dunia (7,3 juta). Lima belas tahun mendatang, diprediksi jumlah penderita diabetes dunia akan naik rata-rata hampir dua kali lipatnya. 

Data lain menyebut, pasien obesitas yang tertinggi di dunia adalah di Amerika (65 persen dari populasi orang dewasanya menderita kegemukan). Tak heran, di sana sekitar 200 ribu operasi dilakukan pertahunnya. Disusul Australia (59 persen), dan China ada diurutan ke delapan (30 persen), setelah Rusia, UK, Arab, India dan Brazil. 

Bagi penderita diabetes, operasi gastric bypass bertujuan mengubah aliran makanan. Lambung yang kecil membuat cepat kenyang, dan efeknya menurunkan penyerapan kalori. Dalam jangka panjang, kerja pankreas tidak berat, produksi insulin perlahan naik. 

          Berapa biaya untuk operasi ini? CEO NorgenHealth Lin Junxiong menyebut sekitar 100 ribu RMB, atau Rp200-an juta. “Apakah itu mahal?” tanyanya. Ini termasuk biaya penanganan post operasi. NorgenHealth adalah sebuah platform layanan medis taraf internasional yang pertama dan terbesar di China. Norgenhealth kini telah membuka kantornya di Jakarta, untuk memfasilitasi pasien Indonesia yang makin banyak berobat ke China. Prosedur amat mudah, karena bisa diakses melalui www.norgenhealth.com di website resminya.

Bagi pasien diabetes, yang sudah menahun, biaya sebesar ini, cukup murah. Jika tak dioperasi, penderita harus mengonsumsi obat-obatan dan suntikan insulin secara teratur seumur hidupnya. Kualitas hidup pun secara perlahan menurun, karena sifat obat hanya mengendalikan, bukan menyembuhkan diabetes. Dalam jangka panjang, efek diabetes berpotensi besar merembet jadi berbagai penyakit serius, seperti tekanan darah tinggi, stroke, kebutaan, gagal ginjal, jantung dan sebagainya. 

Menurut Prof Wu, hasil berbagai penelitian di Amerika dan Eropa menyebutkan, operasi ini efektifitasnya 83-95 persen. Beberapa tahun setelah operasi, dampaknya akan bagus sekali. Tak ada lagi penggunaan obat dan bisa memperpanjang usia. Pasien obesitas yang  pernah ditangani, terberat sekitar 235 kilogram. Dan kini, setelah tiga tahun, berat badannya berkurang 80 kilogram.

Apa risiko terburuknya? Kata Profesor Wu, mungkin ada yang khawatir kekurangan gizi karena asupan makanan pasca operasi terbatas. Itu bisa diatasi dengan penambahan suplemen dan vitamin. Dan kekhawatiran tentang kebocoran lambung, bisa dikontrol sangat baik dengan teknik bedah yang modern. Sampai hari ini, ratusan pasien Prof Wu bisa aktivitas normal dan kondisinya sehat. 

“Pasien ini tak lama lagi membeli baju baru. Dan mungkin juga identitasnya akan baru,” canda Prof Wu, tentang pasien yang baru dioperasinya. Untuk mempercepat pemulihan, Profesor mengkombinasi dengan pengobatan tradisional China. Ini adalah metoda khas di hampir seluruh rumah sakit di sana. Kecanggihan teknologi medis dan alat-alat modern dari barat, digabung dengan teknik pengobatan tradisional.

Tiga pasien dari Indonesia, juga melakukan operasi di sana. Bagaimana testimoni mereka, tunggu di tulisan berikutnya. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline pada Sabtu, 19 Maret 2016, silakan klik:

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/19/240026/Menyaksikan-Live-Bedah-Lambung-Secanggih-Amerika-

Artikel ini juga sudah dimuat di Harian Rakyat Merdeka, edisi Selasa, 22 Maret 2016