Rabu, 01 April 2015

Mimpi Mewujudkan Bandara Kelas Dunia: Ini Bukan Bisnis Ketawa-Ketiwi Yang Brengsek, Ya Dipecat...




          Bandara Soekarno-Hatta sedang bebenah. Memang belum banyak, tapi perubahannya mulai terasa. Motor pembenahan adalah Budi Karya Sumadi, yang sejak 15 Januari 2015 ditunjuk Pemerintah menjadi Direktur Utama Angkasa Pura 2, pengelola 13 bandara Indonesia, termasuk Soekarno Hatta.
          Selama dua bulan memoles bandara, apa yang sudah dilakukan Budi Karya? Kapan kita punya bandara bagus seperti di negara lain? Kepada Tim Rakyat Merdeka yaitu Kiki Iswara, Ratna Susilowati dan Kartika Sari, Budi Karya membeberkan rencananya.

          Apakah pengalaman Anda mengelola bisnis properti dan rekreasi cukup memberi manfaat untuk posisi baru saat ini, yaitu mengelola airport. Dan bagaimana meningkatkan speed kerja di tempat baru, agar bisa melaju cepat. Properti dan rekreasi sebenarnya sangat relevan dengan pengembangan bandara. Menjalankan bisnis airport ya kalau diurut-urut, ada kaitan dengan properti juga. Untuk mempercepat kerja, saya yakin bisa karena ada etos kerja di antara kawan-kawan AP 2. Kita punya kemampuan membuat airport jadi jauh lebih baik. Dalam dua bulan, hubungan kerja diantara kami sudah tune in. Direksi melakukan pendekatan, dan sudah bisa telpon-telpon antar bagian, bahkan tengah malam sekalipun. Kami tidak maulah bilang, yang dulu baik atau yang dulu jelek. Apa yang dilakukan di masa lalu pun, tetap ada manfaatnya untuk saat ini. Kawan-kawan AP 2 mendukung program yang kami lakukan.
          Apa masalah terbesar yang ditemui dalam dua bulan pertama duduk di posisi ini. Jujur saja, masalah terbesarnya, manusia. Mengelola bandara yang organisasinya sudah besar, manusianya memiliki karakter khas. Sebagian terjebak dalam comfort zone. Ini keywordnya: comfort zone. Karakter ini terbentuk karena jenis bisnis ini “given” seolah datang dan untung dengan sendirinya. Padahal kalau kita bisa keluar dari wilayah comfort zone, jayalah kita.
          Berarti program revolusi mental amat dibutuhkan di sini ya. Benar. Namun masih ada yang menginginkan suasana tidak dibuat seperti seharusnya. Kita kerja karena butuh uang, untuk penghidupan. Tapi, seharusnya tak sekedar itu. Dalam hidup, kita harus punya legacy. Harga diri lebih dari sekedar uang. Ini guyonan orang Jawa, jika kita jadi eyang dan berhasil membangun bandara hebat. Kita bisa ngomong sama cucu: “Le, ini bandara kuwi, embahmu sing gawe.” Nah, itu namanya kebanggaan. Kebanggaan tak pernah habis. Ada identitas dan kredibilitas yang jadi bekal untuk anak cucu kita.
          Untuk melakukan revolusi mental, apakah sudah jatuh “korban” atau sudah memecat berapa orang? Saya ini lebih senang persuasif mengajak orang keluar dari comfort zone. Tapi menerapkan gaya ini bukan berarti tak jatuh korban. Yang brengsek ya dipecat, tapi mengikuti prosedur. Yang jadi korban tidak banyak. Tindakan pemecatan sebenarnya bukan tipikal gaya saya. Saya memecat bukan karena tidak senang. Kalau ada yang brengsek, ya mestinya orang jenis ini jadi musuh bersama. Saya dasarnya meyakini, semua manusia itu punya potensi dan kemampuan.
          Anda memiliki target menjadikan bandara sebagai smile airport. Apa itu, dan bagaimana mewujudkannya? Smile yang saya maksud itu senyum bahagia, senang. Bukan senyum meledek ya. Mereka yang datang ke bandara, senyum karena merasakan pengalaman, menemukan something different, dan sesuai dengan harapan. Smile airport hanya bisa diwujudkan oleh pengelola yang juga selalu smile. Tersenyum bibirnya, juga senyum jiwanya. Kita ingin menciptakan bandara sebagai beranda Indonesia yang ramah.
          Menurut Anda, kondisi bandara Indonesia, terutama Soekarno-Hatta sekarang bagaimana ya. Saat ini bandara kita ya jadi beranda, tapi belum ramah. Masih banyak gangguan. Soekarno-Hatta ini bench-mark bandara-bandara Indonesia, jadi harus diperbaiki dengan cepat. Kesan-kesan kriminal perlu segera dihilangkan. Sekarang masih banyak orang atau turis yang takut datang malam ke Soekarno-Hatta. Target saya, dalam waktu 6 bulan, tiga persoalan besarnya selesai. Porter teratur, calo tiket diberantas dan taksi liar ditertibkan.
          Menyelesaikan tiga persoalan besar itu cukup berat. Bagaimana menghadapi perlawanan dari pihak yang merasa dirugikan oleh penertiban tersebut. Misalnya porter, nggak boleh langsung bertemu penumpang, tapi melalui counter dengan tarif sama. Petugas porter kini diseleksi ulang. Yang gemuk misalnya, dihentikan, karena porter harus lincah. Lalu taksi liar. Ditertibkan. Taksi harus plat kuning, sopirnya berseragam, ada counter. Lalu, calo tiket. Salah satu upayanya, menghilangkan counter tiket. Calo adalah profesi kuno sehingga tidak mudah diberantas, apalagi ada kongkalikong dengan orang dalam.
          Penutupan counter memang tidak disukai penumpang yang go show dan calo. Padahal tujuannya mulia, demi good governance. Sehingga perlu all out melakukannya. Menurut kami, semua transaksi harus terdaftar. Kami menertibkan mereka dengan menciptakan sistem.
          Apakah Bandara perlu bekerjasama dengan aparat keamanan untuk mengoptimalkan penertiban. Kami memang akan membangun kerjasama dengan Kepolisian, TNI, Marinir dan Paskhas. Kita minta bantuan mereka karena tidak sanggup menyelesaikan ini sendirian. Memang saat pembenahan, ada perlawanan. Kalau semua persoalan itu dihilangkan sekaligus, ada kekhawatiran timbul masalah sosial yang besar. Bayangkan, 1000 orang tiba-tiba kehilangan kerjaan. Jumlah taksi liar saja mencapai 1500. Lalu saya diskusi berulang-ulang. Cara terbaik saat bukan dihilangkan sama sekali, tapi ditertibkan, dibenahi.
          Apakah benar ada maskapai asing yang protes dengan penutupan counter tiket? Sepertinya tidak. Kalau maskapai asing protes, mudah menjawabnya. Di negara lain bisa, kenapa di sini tidak bisa. Yang agak sulit (menerima) justru LCC (low cost carrier), karena berkaitan dengan kelas menengah ke bawah. Kini, di permukaan kelihatan sudah tertib. Tidak bisa langsung hilang, tapi pelan-pelan tertib. Sebagian calo masih ada. Tidak di depan counter, tapi mungkin di parkiran. Kami ingin membuat sistem, membeli tiket semudah membayarnya. Jumlah penumpang go show tidak banyak. Hanya 7-10 persen dan kebanyakan penerbangan LCC.
Mayoritas bandara yang dikelola AP2 dilaporkan merugi. Mengapa bisa terjadi? Pertama, terlambat berinvestasi. Kedua, pengelola belum memiliki jiwa entrepreuner. Misalnya, ada bandara yang pendapatannya 30 miliar, tapi biaya SDM-nya 20 miliar. Itu persoalan besar. Kalau bisnis ini bukan layanan ke masyarakat, bisa-bisa tutup. Menangani itu, ya caranya dua. Naikan sales, atau cost-nya diturunkan. Atau lakukan dua-duanya. Kerugian harus dijadikan stimulasi bahwa bisnis ini bukan untuk ketawa-ketiwi. Bisnis ini pelayanan, bukan langsung untung, lalu memberi kesenangan begitu saja pada orang-orang tertentu. Bandara Soekarno-Hatta saat ini untungnya cukup signifikan.
Anda ingin mewujudkan Bandara Soekarno-Hatta seperti apa di masa depan? Apakah ada bench-mark yang ingin ditiru? Target saya, Bandara Soekarno-Hatta lebih bagus dari Kuala Lumpur (Malaysia) atau Swarnabhumi, Bangkok (Thailand). Biaya untuk itu sekitar Rp6 triliun. Dan, April 2016 ini, saya yakin mulai terwujud. Di (terminal 3 Soekarno-Hatta) yang baru kapasitasnya 25 juta penumpang. Lalu terminal 2 akan direnovasi untuk kapasitas 22 juta penumpang. Target total 50 juta penumpang. Selama 2-3 tahun, kemungkinan ada selisih sekitar 20 persenan tapi masih oke.
Direksi Angkasa Pura berinduk ke dua menteri. Yaitu Menteri BUMN dan Menteri Perhubungan. Memiliki dua bos seperti ini, bagaimana koordinasi kerjanya. Sejauh ini tidak ada masalah. Menhub domainnya operasional, pelayanan. Sedangkan BUMN urusannya keuangan. Dengan Menteri BUMN mungkin hanya bertemu saat RUPS. Sedangkan hari-hari, lebih sering berhubungan dengan Menhub.
Apakah benar di zaman Pemerintahan Jokowi, para CEO bekerja lebih keras dan capek. Yang terasa, saat ini kami bekerja lebih egaliter. Memang lebih capek, tapi juga lebih puas.

Suasana saat wawancara (foto: Rakyat Merdeka)

Tentang Gaya Kepemimpinan 
“Saya Tidak Mau
Terlalu Textbook”

          Baru satu bulan kerja, Angkasa Pura 2 kena sorotan tajam. Pada Februari lalu, AP 2 menalangi refund tiket ratusan penumpang Lion Air yang penerbangannya mengalami delay parah. Saat itu, ribuan penumpang menumpuk di bandara, dan mengamuk meminta pengembalian dana tiket. Sejumlah pihak menilai AP 2 tak etis menalangi refund tiket yang jadi tanggungjawab maskapai.
          “Di hari ketiga, ada yang mulai memecahkan kaca. Itu anarkis. Risikonya terlalu besar jika dibiarkan. Bandara adalah beranda kehormatan negara. Karena itulah diputuskan menalangi pembayaran tiket. Itu bukan keputusan saya sendiri. Kami sudah bicara dengan pihak kemenhub dan otoritas bandara. Orang yang ribut adalah yang tidak mendapat kepastian pengembalian tiket, kondisi uang di kantongnya pas-pasan dan terlantar. Kami perkirakan saat itu 4 ribuan orang, ternyata yang me-refund hanya sekitar 500-an orang. Yang kalap ternyata tidak banyak. Setelah ditalangi, kemarahan dengan cepat mereda,” kata Budi Karya, mengomentari lagi insiden itu. Kini dana talangan sudah diganti oleh Lion Air.
Kelihatannya Anda termasuk cepat mengambil keputusan. Bagaimana Anda menilai gaya bekerja. Berdasarkan text book, feeling atau pengalaman? Kombinasi ketiganya. Saya orang sekolahan, jadi masih suka membaca. Tapi saya juga orang lapangan, sehingga tidak mau terlalu textbook. Bagi saya, pengalaman dan studi banding itu sangat berarti. Yang baik, ditiru.
Misalnya? Contoh, saat ke Singapura, saya lihat ada rangkaian anggrek di entrance Changi Airport. Saya potret, lalu share ke teman-teman. Saya ajak mereka diskusi. Masa kita nggak bisa membuat begini? Bagi saya, pengalaman keseharian sangat memberi warna. Kalau kerja selalu text book, kita bisa ketinggalan terus. Kita berpikir mencari solusi sebuah masalah, padahal masalah baru terus bermunculan.
Budi Karya mengagumi dua orang senior yang dianggap sebagai guru perjalanan karirnya. Yaitu Ciputra dan Eric Samola. “Pak Ciputra saat bicara angka, amat detail. Saya berguru secara tidak langsung pada beliau selama 30 tahun. Sedangkan Pak Eric Samola, feeling bisnisnya luar biasa.  Dengan Pak Eric, saya berguru langsung selama 15 tahunan.”
Agar tetap fit setiap saat, Budi Karya mengatakan, kuncinya adalah menyenangi pekerjaan, dan jatuh cinta padanya. “Saya jatuh cinta pada bandara. Orang jatuh cinta ya akan smile terus. Senyum. Dan dengan senang hati berkorban demi rasa cinta itu. Saat ini, pengorbanannya ya misal Sabtu-Minggu, saya tidak selalu dengan keluarga, tapi bekerja. Di Bandara, kami menerapkan kerja piket Sabtu-Minggu.
Untuk menjaga kesehatan, Budi punya kebiasaan bagus. Tiap pagi, minum air hangat dan madu. Selain itu, dia senang mendengarkan musik. “Apa saja didengarkan. Dangdut juga oke.”
          Apakah Anda saat ini sudah merasa memberikan kontribusi terbaik dan menjadi orang hebat? Saya sudah memberi kontribusi, tapi belum hebat. Hebat itu kalau semua orang yang datang ke bandara tersenyum.


Lahir Di Palembang, Kuliah Di Yogyakarta
Saya Dekat Sekali Dengan Ibu...

Budi Karya lahir di Palembang, 18 Desember 1956. Anak ke-enam dari delapan bersaudara. Ayahnya pejuang di Sumatera Selatan bernama Abdul Somad Sumadi. Pernah berprofesi sebagai guru sekaligus utusan pemerintah Bung Karno. Sampai tahun 1962, Abdul Somad Sumadi bekerja di Kanwil Deppen Sumsel.
Ibunya, Kusmiati, orang Jawa di Palembang. Seorang guru taman kanak-kanak yang kemudian jadi anggota DPRD Sumsel tahun 1956-1959. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Obor Rakjat, terbit tahun 1962. Kusmiati dan Abdul Somad bertemu dan menikah di Palembang.
Budi menghabiskan masa kecil dan remaja di Palembang. Masuk TK Persit di Bukit Besar (1960), lalu SD Muhammadyah Bukit Kecil (1963). Melanjutkan ke SMPN I Talang Semut Lama (1969), dan SMA Xaverius I Palembang (1972). Budi lalu hijrah ke Yogyakarta saat kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada Yogyakarta (1976).
Masa kecilnya prihatin. Saat usia 10 tahun, dia membantu orang tuanya berjualan. Yang dijual sabun, lilin, makanan kering sampai selai pisang. Barang itu didatangkan dari daerah, dia masukkan ke plastik dan ditaruh di warung-warung atau dijajakan keliling. 
“Dalam bekerja, ada pattern dari ayah dan ibu saya. Mereka mengingatkan, pentingnya selalu berbagi. Gaya saya persuasif dan tidak suka memecat orang, mungkin itu warna dari orangtua saya,” katanya.
Dari ayahnya, Budi mendapat ilmu berinteraksi dengan orang lain. bersosialisasi. Ayahnya Ketua RW, sering berkirim surat ke banyak orang, ke pemuda masjid, pemuda kampung, masyarakat sekitar. “Itu pengalaman berharga saya, dan mewarnai hubungan saya saat berinteraksi dan sosialisasi,” ujar dia.
Apakah memiliki hubungan sangat dekat dengan Ibu? Saya dekat sekali dengan ibu saya. Sekedar untuk diketahui ya, nomor di bank saya itu ada kaitan dengan Ibu saya.
Karir Budi diawali di Grup Pembangunan Jaya (1982), lalu sejumlah proyek ditangani di Bintaro Jaya, Slipi, Semarang, Surabaya, Tangerang. Tahun 2002 mulai berkiprah di Ancol sebagai Direktur Keuangan. Sukses membawa Ancol go public, Budi menjadi Presdir PT Pembangunan Jaya Ancol. Tahun 2013, sebagai Presdir PT Jakpro, Budi menggarap sejumlah proyek besar Ibukota. Revitalisasi Waduk Pluit, waduk Ria-Rio, penyelesaian rusunawa di Marunda, Pusat Distribusi, Electronic Road Pricing (ERP) dan sejumlah proyek besar lainnya. “Pengalaman terbaik saat membangun Ancol menjadi ecopark. Bagi saya, itu menjadi legacy. Kebanggaan,” katanya.
Pernah memiliki pengalaman terburuk? Wah, ada. Saat berada di BUMD. Proses yang tidak mudah, tapi tidak perlulah diceritakan.
Saat ini, selain Bandara Soetta, AP 2 mengelola 12 bandara lainnya, yaitu Halim Perdanakusumah (Jakarta), Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), Supadio (Pontianak), Minangkabau (Padang), Sultan Syarif Kasim (Pekan Baru), Husein Sastranegara (Bandung), Sultan Iskandar Muda (Aceh), Raja Haji Fisabilillah (Tanjung Pinang), Dipati Amir (Pangkal Pinang), Sultan Thaha Ijambi), Kualanamu (Deli Serdang) dan Silangit (Tapanuli Utara).

Wawancara ini sudah dimuat di Rakyat Merdeka, edisi Senin, 30 Maret 2015. Juga ada di link  Rakyat Merdeka Online di: 

http://www.rmol.co/read/2015/03/31/197443/Budi-Karya,-Mimpi-Mewujudkan-Bandara-Kelas-Dunia-