Senin, 28 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (6): Berkenalan Dengan Dokter Militer & Dokter Xray

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.

 Rumah sakit baru terus bermunculan di Beijing dan kota-kota besar di China. Mereka menawarkan spesialiasi pengobatan dengan kelas beragam. Untuk pasien internasional, rumah-rumah sakit menyiapkan layanan khusus, sampai tingkatan sangat eksklusif. 

          Rumah sakit besar di dataran China jumlahnya mencapai ribuan. Ini diluar rumah sakit umum yang dibangun pemerintah. Di Guangzhou, orang menyebut, “ratusan” jumlahnya.  Dan di Beijing, diperkirakan 200-an rumah sakit telah dibangun.

          Jumat, 12 Maret 2016, rombongan jurnalis Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam pertemuan dengan sekitar 30 rumah sakit terbaik di China, sejumlah pakar dan akademisi kesehatan. Satu demi satu, pimpinan rumah sakit itu memperkenalkan diri dan menceritakan layanan unggulan, serta prestasi terbaik medisnya. Tema besar dari pertemuan itu adalah: Membawa Ilmu Medis China yang Maju kepada Dunia. Fasilitator pada konferensi tersebut adalah NorgenHealth. Sebuah platform layanan medis yang terbesar di China. NorgenHealth sudah puluhan tahun melayani pasien internasional, termasuk dari Indonesia. 

          Dua hal yang paling menarik adalah teknologi pengobatan dengan sel punca dari kedokteran militer China, dan pakar terapi melalui sentuhan tangan, yang dikenal sebagai Dokter X-ray.

Dr Xiaodong Wang (kanan), terlihat serius saat bicara dengan staf dari NorgenHealth.

Salah satu dokter militer yang hadir di konferensi itu adalah Dr Xiaodong Wang. Wanita berbadan tegap ini adalah komandan di General Hospital of Chinese People’s Armed Police Forces. Dr Wang ahli dalam pengobatan celebral palsy. Sepanjang dua tahun terakhir, RS Militer ini sudah mengobati sekitar 8 ribu pasien. Paling banyak menangani kelumpuhan otak, cedera otak dan kemunduran kerja otak. “Pasien lumpuh otak termuda berusia 18 hari,” katanya. 

Di depan audiens, Dr Wang memutarkan sejumlah video. Ada pasien anak kecil yang menjadi korban peluru nyasar. Lumpuh, tapi setelah ditangani, akhirnya bisa berjalan. Ada lagi, pasien pria 51 tahun mengalami sumbatan total di otak sehingga sebagian tubuh tak bisa respon. Setelah terapi stem cell, perlahan tangannya bisa membuka, berjalan, dan jongkok. “Setelah terapi stem cell, ada perbaikan di saraf perasanya. Pasien akhirnya bisa mengontrol gerakan duduk dan memegang tumpuan untuk berjalan,” kata Dr Wang. 

Rumah sakit militer di Beijing, kini terbuka untuk pasien internasional. Siapapun, boleh berobat di rumah sakit tersebut. “Soal biaya, dibanding rumah sakit swasta, di tempat kami lebih murah,” kata Dr Wang.

Dr He Shuhua (Dokter Xray) (berhadapan dengan jilbab biru) dikelilingi jurnalis Indonesia, saat observasi pemijatan tangan.


Figur lain yang menarik yakni, Dokter Xray. Namanya Dr He Shuhua, bisa mendiagnosis penyakit tanpa tes medis. Usianya hampir setengah abad, tapi penampilannya cantik dan segar. Dr He Shuhua hanya memijat telapak tangan, mengamati urat nadi dan menyentuh telinga, dan lima menit kemudian, dia tahu, pasiennya kemungkinan mengalami gangguan apa. Di tengah konferensi, Dr He Shuhua sempat mengobservasi beberapa jurnalis Indonesia. 

Telapak Adi Murtoyo dari Koran Jakarta dipijat-pijat di bagian jarinya. “Anda sering sakit leher dan mengalami gangguan perut,” kata Dr He Shuhua. Adi mengiyakan. Lalu, Amri Husniati, wartawan Jawapos. Beberapa menit dipijat tangan, Dr He Shuhua menebak, pernah sakit punggung. Amri pun heran. Setahun lalu, Amri memang pernah terjatuh, dan tulang punggungnya patah. Wartawan Kompas Atika Walujani penasaran. Dia pun ikutan. Telapaknya ditekan di titik-titik tertentu. Ada bagian yang terasa sakit saat ditekan, tapi ada juga yang tidak. Dr He bilang, kesehatan Atika bagus. “Tapi saya disarankan mengecek kandung kemih,” kata Atika, menirukan Dr He.  Sedangkan wartawan Tempo, Mohammad Taufiqurahman, dengan mudah didiagnosa oleh Dr He Shuhua pernah terkena stroke. “Itu memang benar. Beberapa tahu lalu, saya stroke, tapi sekarang sudah pulih,” ujar Taufiq.

Dr He Shuhua belajar dari keluarganya yang ahli terapi pengobatan khas China. Lalu, dia kombinasikan dengan ilmu kedokteran modern, sehingga keahliannya lengkap. Sehari-hari Dr He Shuhua praktek di Relife International Medical Centre, Beijing.

Bagaimana caranya mengetahui penyakit tanpa pemeriksaan medis? Menurutnya, ada beberapa katagori dasar observasi, yaitu melihat, mendengar, mencium, bertanya dan menyentuh. Pemijatan tangan untuk merasakan sumbatan darah dan nyeri. Sedangkan kesehatan organ dalam, bisa dilihat dari ketidakseimbangan fisik dan emosional pasiennya. 

Observasi juga berguna untuk menentukan jenis terapi tradisional yang akan diberikan. Apakah cocok akupuntur, bekam atau aijui (pengasapan). Juga untuk menentukan ramuan herbal yang tepat dan pengaturan pola makan. Dr He Shuhua juga dikenal sebagai ahli akupuntur, pengobatan infertilitas serta gangguan tulang.

Selain dua rumah sakit ini, masih banyak rumah sakit bagus lainnya. Misal, Beijing Puhua International Hospital and Clinic, pusat neurosurgery terbesar di Beijing. Stem cell dilakukan di rumah sakit tersebut untuk pengobatan masalah di lutut atau pinggul. 

Manajer International Department-nya, Susan Jiang menjelaskan, stem cell dilakukan dengan 'memanen' jaringan lemak dari area perut. Setelah diekstrak, lalu disuntikan ke area yang cidera. Sepanjang tahun 2015, pihaknya sudah menolong 1.200-an pasien yang menderita sakit ini. “Kami pernah menangani bintang Hollywood Chuck Norris, stem cell untuk gangguan di lututnya,” kata Susan.  (Bersambung)

Artikel Ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline. Silakan klik di


http://dunia.rmol.co/read/2016/03/25/240838/Berkenalan-Dengan-Dokter-Militer-&-Dokter-Xray-


Artikel ini juga sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka, edisi Selasa 29 Maret 2016.


Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (5): Operasi Cangkok 400 Kali Setahun Di Lu Daopei Hospital

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.


          Di sini, kita masih jarang mendengar operasi transplantasi atau cangkok sumsum tulang belakang. Selain butuh teknologi yang amat modern dan biaya mahal, belum banyak dokter ahlinya. Di China, operasi ini tergolong biasa. Lu Daopei Hematology Oncology Center melakukan cangkok sumsum tulang belakang 40 kali sebulan. Itu baru satu rumah sakit. Belum yang lainnya. “Pasien antri sampai 3 bulan untuk melakukan ini,” kata Dr Chuenrong Tong, Director of General Hematology and Immunotherapy. Dia mengajak kita berkeliling melihat seluruh bagian rumah sakit. Mulai dari areal resepsionis sampai ke ruang-ruang perawatan, dan kamar khusus operasi yang amat steril atau laminar room. Suasananya amat tenang, dan sama sekali tak ada kesibukan layaknya rumah sakit di Indonesia. “Apakah ada pasien yang dirawat di sini?” tanya saya, penasaran. Sebab rumah sakit kelihatan sepi. “Tentu saja. Semua kamar perawatannya penuh,” jawab Dr Chuenrong.

Prof Lu Daopei (Bapak Transplantasi Sumsum Tulang di Asia) bersama putrinya, Dr Peihua Lu (foto by: ratnasusilo)

Pendiri Lu Daopei Hospital, yaitu Prof Lu Daopei, dikenal sebagai Bapak Transplantasi Sumsum Tulang di Asia. Masih hidup, dan kini berusia 85 tahun. Bahkan, Prof Lu terlihat segar saat menemui rombongan wartawan Indonesia.

Prof Lu melakukan transplantasi ini sudah ribuan kali, sejak 52 tahun yang lalu. Pasien pertamanya, wanita 22 tahun, menderita anemia aplastik, yaitu kondisi sumsum tulang belakang berhenti memproduksi darah baru. Tahun 1964 wanita itu menjalani cangkok dari sumsum tulang belakang saudara kembarnya. Sampai saat ini masih hidup, telah berusia 74 tahun, dan sehat.  Ini termasuk salah satu operasi cangkok sumsum tulang belakang paling sukses di dunia. Prof Lu bahkan menunjukkan fotonya bersama wanita itu, saat terakhir bertemu, dua tahun yang lalu. 

Menurut Dr Chuenrong Tong, Prof Lu sangat genius. Sifatnya selalu penasaran dan senang berpikir. Dia tak mudah mempercayai sesuatu, sebelum membuktikan sendiri. Di usia 40 tahun, Prof Lu dan putranya membedah kodok sawah, lalu diambil racunnya dan diteliti. Dia ingin tahu, apakah benar anggapan orang bahwa jika kodok mengenai mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan. 

Prof Lu juga ahli mengkombinasikan obat, antara resep modern dengan herbal, pengobatan tradisional khas China. Kakek dan buyut Prof Lu adalah ahli-ahli TCM (Tradisional China Medicine) yang sangat diakui di China. Kini, keluarga Lu dan lima generasinya, termasyur di China, sebagai ahli-ahli medis yang hebat.

Ada jenis kanker darah yang bisa diobati tanpa cangkok sumsum tulang belakang. Yaitu Acute Promyelocytic Leukemia (APL) dengan pengobatan sejenis arsenik. Menurut Prof Lu, sejak 2.000 tahun lalu, arsenik dalam jenis dan dosis tertentu telah digunakan oleh orang-orang China sebagai obat. Arsenik sulfida dikombinasikan dengan obat-obat tertentu, hasilnya sangat baik untuk kanker darah. Dia mengambil sendiri arsenik dari sebuah pertambangan di China, dan menelitinya. 

Di masa lalu, tidak mudah melakukan prosedur medis yang baru. “Political pressure dan beban tanggungjawab medis sangat tinggi, saat itu,” kata Prof Lu. Karenanya, sebelum diterapkan pada pasien, sebuah prosedur medis harus diteliti berulang-ulang. Selain itu, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk bisa meyakinkan pasien akan keberhasilannya.

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti yang rusak karena kanker. Sumsum bisa diambil dari tulang pasien yang sehat, atau dari orang lain, yang masih ada hubungan kekerabatan. Tim yang dipimpin Prof Lu Daopei, saat ini menduduki peringkat ketiga di dunia, dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 persen.

          Putri Prof Lu, yaitu Dr Peihua Lu, saat ini menjabat sebagai Director and Specialist in Lymphoma and Myeloma, menjadi penerus jejaknya. Peihua atau disapa Peggy, adalah dokter ahli lulusan Stanford University, USA. Dia menyebut ada tiga pasien Indonesia yang ditangani rumah sakitnya baru-baru ini. Dua diantaranya sudah pulang, dan seorang lagi masih dalam perawatan. 

          Menurut Peggy, Lu Daopei adalah pelopor imunoterapi untuk kanker darah, dan tempat berkumpulnya banyak ahli dalam dan luar negeri dalam bidang hematologi. Setiap tahunnya, melakukan hampir 400 kasus transplantasi, dan 70 persennya dengan tingkat kesulitan tinggi. 

Resepsionis di RS Lu Daopei, Beijing (foto by: norgenhealth)

          Di Indonesia, untuk penderita leukemia atau kanker darah lainnya, dan membutuhkan pengobatan lebih serius di China, bisa dibantu melalui NorgenHealth. Ini adalah platform layanan pertama dan terbaik di China. Bisa diakses melalui websitenya di www.norgenhealth.com, dan menyediakan berbagai jenis layanan. Mulai dari jasa konsultasi, pemilihan rumah sakit, sampai penjemputan dan pendampingan selama pengobatan di China. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline. Silakan klik

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/24/240690/Operasi-Cangkok-400-Kali-Setahun-Di-Lu-Daopei-Hospital-


Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Senin, 28 Maret 2016, Halaman 13