Minggu, 01 Maret 2015

Berebut Jadi Mata & Telinga Presiden



Catatan Ratna Susilowati

Dimuat di Rakyat Merdeka
Edisi Senin 2 Maret 2015
 
Kursi Kepala Badan Intelijen Negara sangat seksi untuk diperebutkan. Beberapa hari terakhir ini, tercium aroma persaingan yang seru untuk meraih posisi itu. Kalau pertarungannya makin panas, ada kemungkinan nasib kursi ini mirip Kapolri. Pejabat lamanya, tak perlu diganti.
Kursi Kepala BIN amat strategis. Dia adalah mata dan telinga Presiden. Merujuk Undang-Undang Intelijen Negara, Kepala BIN memberikan masukan dan informasi akurat ihwal ancaman yang bisa mengganggu pemerintahan. Kepala BIN adalah orang yang mahir berdiplomasi, mengelola, serta mengolah data untuk disajikan kepada presiden sebelum mengambil keputusan.
          Ada sejumlah nama yang belakangan disebut jadi kandidat Kepala BIN. Dari muka lama yang familiar, sampai muka yang jarang kelihatan di publik. Dari sipil, militer asli, sampai militer politisi. Semua nama yang muncul ada nilai plusnya. Ada yang memiliki kedekatan historis, kawan sekampung, kawan se-koalisi, ada juga yang disokong orang dalam kekuasaan, atau se-chemistry dengan Teuku Umar.
Yang paling sering disebut adalah As’ad Ali. Dia bukan tentara. Mantan Wakil Kepala BIN di zaman Presiden Gus Dur itu, dikabarkan dekat dengan Hendropriyono, purnawirawan jenderal paling top dalam urusan intelijen di negara ini. Di lingkungan BIN, As’ad amat dikenal. Seorang kawan sampai memberi perumpamaan begini: “Di kantor BIN, Pak As’ad berhubungan akrab bahkan sampai level tukang sapu sekalipun,” katanya, sambil tertawa. Entah, itu benar atau tidak.

As'ad Ali (Foto: Antara)
Lelaki asal Kudus itu, 19 Desember lalu berusia 65 tahun. Melihat track recordnya, figur As’ad memang cukup paripurna. Saat kuliah di Fisipol UGM, dia juga mesantren di Al-Munawwir Krapyak, Yogya. Di BIN, dia bertugas lama di Arab Saudi, Syuriah, Lebanon, dan pernah di Amerika Serikat. Selain paham politik, dia juga diterima baik oleh kalangan Nahdliyin. Di PBNU, posisinya cukup bergengsi, sebagai Wakil Ketua Umum, mendampingi Said Aqil Siradj. As’ad pernah bertemu Osama Bin Laden. Di media onlinehttp://www.rmol.co/read/2012/02/18/55180/Empat-Kali-Bertemu-Osama-Bin-Laden-As’ad mengaku bertemu tak sengaja dengan Laden di sebuah restoran di Jeddah, Arab Saudi, tahun 1984. Melihat jejaringnya yang seperti itu, banyak yang menilai As’ad mumpuni dalam urusan terorisme dan paham-paham radikal. Dia akan mampu menghalau ISIS.
          Nama lain, Fachrul Razi. Pensiunan jenderal bintang empat, kawan seangkatan Luhut Panjaitan, di Akmil 1970. Luhut adalah Kepala Staf Kepresidenan, salah satu orang kepercayaan Presiden Jokowi, sekarang. Figur Fachrul Razi juga menarik karena dia sekampung dengan Surya Paloh. Sama-sama orang Aceh.

Fachrul berusia 67 tahun. Selepas pensiun dari militer, dia aktif di Partai Hanura, besutan Wiranto. Partai ini termasuk loyalis Koalisi Indonesia Hebat, yang menyokong kemenangan Jokowi-JK. Sepanjang karirnya di militer, Fachrul belum pernah mengurusi intelijen. Namun, sebagai mantan Wakil Panglima TNI di tahun 1999-2000, pasti dia memahami cara kerja intelijen, dan mampu mengkoordinasi kegiatan intelijen di lembaganya.

Sutiyoso (Foto: PKPI)
Figur menarik lain adalah Sutiyoso. Lebih populer sebagai mantan Gubernur DKI Jakarta. Gayanya lucu dan nyeleneh, meskipun usianya tidak muda lagi. Tahun ini, lelaki kelahiran Semarang itu sudah 70 tahun. Seorang politisi yang akrab dengannya, menyebut Sutiyoso sebagai ahli intelijen tempur, karena pengalamannya sebagai Wakil Komandan Jenderal Kopassus di tahun 1992. Di politik, dia dan partainya, PKPI, termasuk ikut berkeringat memperjuangkan kemenangan Jokowi-JK bersama Koalisi Indonesia Hebat.
          Di luar itu, ada sejumlah nama lainnya. Misalnya, Ian Santoso. Angkatan udara dengan pangkat terakhir Marsekal Madya. Namanya disorongkan untuk mengakomodir posisi TNI AU yang belum mendapat tempat strategis di pemerintahan Jokowi. Ian adalah putra Halim Perdanakusuma. Pernah menjadi Kepala BAIS (Badan Intelijen Strategis) di masa pemerintahan Gus Dur. Kabarnya, chemistry Ian nyambung dengan Megawati.
          Yang lain, ada Erwin Syafitri. Ini nama jarang terdengar. Maklum saja, sebagai Kepala BAIS, dia tak bebas bicara kemana-mana. Militer aktif ini pangkatnya jenderal bintang dua, dan termasuk kandidat termuda. Usianya baru 55 tahun. Putra sunda kelahiran Cimahi ini peraih Adhi Makayasa, penghargaan siswa Akabri terbaik tahun 1982.
          Terakhir, Sjafrie Sjamsoeddin. Ini jenderal cerdas. Jika Jokowi menempatkannya sebagai Kepala BIN, itu berarti ada pertimbangan politik yang amat strategis, mengingat Sjafrie cukup dekat dengan Prabowo Subianto, sama-sama seangkatan di Akmil 1974. Sjafrie adalah putra Makasar, sekampungnya Jusuf Kalla. Pengalaman teritori dan birokrasinya mumpuni. Penampilannya juga meyakinkan dan enak dipandang. Di luar, Sjafrie tidak kelihatan cari-cari jabatan. Dia tak sibuk bermanuver demi sebuah posisi. Selepas dari jabatan Wamenham, hidupnya santai saja. “Dia tak mau ikut rebutan. Tapi amat pantas kalau dipinang,” kata seorang sahabatnya.
          Peta perebutan posisi Kepala BIN rupanya adem di luar, tapi panas di dalam. Presiden sepertinya menyadari hal ini, sehingga itulah kenapa, Kepala BIN yang sekarang, Marciano Norman belum diganti.

Marciano Norman (Foto: Tribunnews)
          Kalau aroma persaingan menajam, ada yang menduga masa kerja Marciano Norman akan diperpanjang. Indikasinya ada. Kabarnya, belakangan ini chemstry Jokowi sudah nyambung dengan Norman. Menkopolhukam Tedjo Edhy Purdjiatno, beberapa waktu lalu diwawancarai Tempo, mengeluarkan pernyataan begini, “Kalau belum diganti-ganti, berarti cocok dong.” Kata Tedjo, tidak ada keharusan mengganti posisi Kepala BIN saat ini, bahkan ada kemungkinan Norman diperpanjang selama beberapa tahun ke depan. “Boleh Terus (menjabat). Tidak melanggar secara peraturan undang-undang. Pokoknya terserah presiden mau digunakan hingga kapan,” ujarnya.
          Seorang politisi, orang kepercayaan ketua umum di Partai Koalisi Indonesia Hebat juga menyatakan hal serupa. Dia membaca, tak akan ada perubahan Kepala BIN dalam waktu dekat ini.
          Ini baru spekulasi. Jika benar dipertahankan, Marciano Norman akan jadi sosok yang menarik di kabinet. Tokoh yang memiliki hubungan sangat baik dengan SBY, tapi diterima dengan lapang dada oleh Jokowi.
          Siapapun yang jadi Kepala BIN, terpenting sosoknya berintegritas dan berkualitas. Mata dan telinga Presiden, jangan sampai dipakai oleh pihak lain, diluar kepentingan negara. ***