Selasa, 27 Oktober 2015

Jeffrey Polnaja, Biker Indonesia Pertama Keliling Dunia Sendirian: Terdampar di Atacama, Saya Survive Karena Salju...



Jeffrey Polnaja pernah diledek sebagai orang gila. Tapi dia tak peduli. Semangat, tekad dan keyakinannya membara. Si gila ini, akhirnya bisa mewujudkan hal yang dianggap mustahil, jadi kenyataan. Maka, dunia pun terpana. Kini, Jeffrey dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang keliling dunia mengendarai motor seorang diri. Atau para petualang menyebutnya, solo ride. Orang-orang menjulukinya The Wind Rider. Ada juga yang menyapanya, Kang JJ, alias Jurig Jalanan.
            Berbicara dengan Jeffrey, kita terkesima. Tampang garang saat di atas motor, seolah berbanding terbalik dengan sikapnya yang rendah hati, murah senyum dan kata-kata yang penuh filosofi kehidupan. Di Cireundeu, rumah sahabatnya, Jeffrey menerima Tim Rakyat Merdeka (Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Ahmad Lathif Rosyidi dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho).
 
            Menjadi duta bangsa dengan mempertaruhkan nyawa adalah sebuah rekor tersendiri. Mengapa Anda memilih bermotor dan keliling dunia?
Saya ingin mengajak anak-anak muda meng-eksplore dirinya dan belajar menghargai orang, termasuk budayanya. Saat di comfort-zone, kadang kita merasa tidak perlu berubah. Keluar dari zona itu, barulah kita merasa, we are nothing. Di situlah, kita akan banyak belajar.
 
Apakah ada tujuan tertentu, dan mengapa memilih tema Ride For Peace?
Saya tidak mengejar target. Ini didedikasikan untuk perdamaian. Indonesia, saat itu, dicap sebagai negara teroris. Padahal, muslim bukanlah teroris. Untuk melawan stigma seperti itu, tidak cukup hanya bawa spanduk lalu teriak-teriak. Saya bermotor, keliling, bertemu semua elemen masyarakat, dari pinggiran sampai perkotaan. Dari rakyat biasa sampai pejabatnya. We show them that we are not terorist. Di jalanan, saya melihat, manusia itu sebenarnya sama. Yang membedakan, budaya yang berkembang dari tempat hidupnya. Jadi, harusnya, di dunia ini kita berkawan, bersaudara. Untuk apa bermusuhan, konflik dan perang.
 
Kapan mulai tercetus niat keliling dunia, bagaimana kisah awalnya?
Tahun 2001, terjadi tragedi 911, saya menyaksikan berita pesawat menabrak menara WTC. Anak saya bilang, setiap hari ayah mengingatkan agar saya baik sama kawan-kawan, tapi mengapa orang saling membunuh. Itulah yang jadi trigger dari perjalanan saya.
 
*(Jeffrey start di Jakarta 23 April 2006. Beberapa bulan sebelumnya, dia mengalami kecelakaan berat hingga lumpuh dan hanya bisa menggerakan jari-jari. “Dalam kondisi begitu, saya melihat anak saya. I just lying down, tapi saya janji pada diri sendiri, saya akan keliling dunia untuk dia,” kata Jeffrey. Dia berusaha keras mencari sponsor, dan menjual usahanya. “Ada yang mengatakan, sejak Indonesia merdeka, belum pernah ada orang Indonesia yang keliling dunia. Jadi, anda jangan mimpi ya,” kenangnya. Tapi, semua penolakan dan keraguan orang, justru makin menguatkan tekadnya.
“Selama 5 tahun, mental saya seperti dilatih oleh Sang Pencipta. Ditabrak, lumpuh, tapi bisa bangun lagi. Orang mengatai saya gila, impossible tapi saya, keep on going. Akhirnya dapat sponsor, dihitung, hanya bisa ongkos ke 9 negara. Orang bilang nggak cukup, tapi saya tetap jalan. Ternyata sampai akhirnya bisa mencapai 70 negara,” ujar Jeffrey. Modal awalnya tak sampai semiliar rupiah. Bahkan, kemampuan bahasa Inggris pun ala kadarnya. “Ya, cuma bisa ngomong Inggris khas pelajaran di saat sekolah. Misalnya, Hi my name is.. I come from.. bla.. bla dan seterunya. Tapi akhirnya, belajar dan bahkan saya bisa presentasi di depan orang-orang asing di sejumlah negara,” paparnya.
Perjalanan tahap 1 mencapai 70 negara, dan Jeffrey kembali ke Indonesia November 2008. Motornya pernah hilang dicuri saat di Belanda. Tapi itu tak menyurutkan semangatnya. Jeffrey pun meneruskan perjalanan, dan berakhir pada 20 September lalu. Selama hampir 8 tahun, Jeffrey berkendara 420 ribu kilometer, mendatangi 97 negara di lima benua.
“Dengan kekuatan mental dan pikiran, kita bisa. Manusia diciptakan dengan kekuatan luar biasa. Tapi manusia jugalah yang kerap membuatnya jadi biasa. Alam bukanlah sesuatu yang harus ditantang, atau dilawan. Tapi dijadikan sahabat. Saat salju turun, atau panas terik, nikmati dan disyukuri. Saya bisa, bukan karena hebat. Saat kita bersyukur dan gembira, sel-sel tubuh jadi senang dan memberikan energi luar biasa,” katanya.)
 
Bagaimana pengalaman menghadapi suhu dan kondisi paling ekstrim? Di
Alaska, misalnya, siang hari 55 derajat, tapi begitu malam nge-drop sampai minus 8 derajat. Tapi Alhamdulillah tidak pernah sakit berat. Saat start, usia sudah lebih dari 40 tahun, tapi kondisi cukup sehat. Saya sering riding dan pernah keliling Indonesia. Tua atau muda itu kuncinya dipikiran kita. Selama 7 tahun di jalanan, mengalami flu 2 kali. Saat pulang ke rumah, barulah semua badan terasa sakit (hahaha).
 
Siapa yang memfasilitasi dan membantu selama perjalanan ini?
Banyak orang membantu. Ketika start, saya seperti blank canvas. Tidak tahu bagaimana menghadapi cross border dan sebagainya, karena tak pernah ada contoh. Awalnya, sebelum jalan menuju negara tertentu, saya arrange semua, mulai dari rute sampai hotel. Tapi setelah enam bulan, ternyata lebih baik menggelinding saja, sehingga saya tidak berkejaran dengan waktu. Saat menemukan pemandangan bagus, saya camping. Saya tak mau melewatkannya, dan menikmatinya.
Di jalanan, saya banyak belajar. Dulu tidak tahu caranya presentasi, sekarang bisa. Dan di luar negeri, tiap presentasi dapat 2.000 USD. Itu lumayan untuk biaya menyambung perjalanan. Sebulan, bisa 8.000 USD. Saya juga mensiasati pembiayaan. Di negara-negara tertentu bisa saving, di negara lain, sharing. Tuhan memberi kita dua tangan, menerima dan memberi. Yang penting pandai mengatur.
Saat membanggakan, saya diundang Horison’s Unlimited Traveller Meeting, tahun 2013, di Amerika. Bertemu para legenda penjelajah dunia seperti Ted Simon dan Sam Manicom. Saya presentasi di penutup acara itu. Saya sampai menangis terharu. Itu penghargaan luar biasa untuk Indonesia. Mereka mungkin lupa nama saya, tapi mereka akan ingat bahwa saya orang Indonesia.
 
 
*(Ted Simon adalah biker Jerman kelahiran Inggris. Dia legenda petualang dunia. Tahun 1973, Simon berkendara 103 ribu kilometer dan melalui 45 negara, selama 4 tahun. Ted Simon Foundation mendirikan Jupiter’s Traveler, yang anggotanya 5 juta penjelajah dunia. Sedangkan Sam Manicom, kelahiran Belgia, biker selama 8 tahun, melalui 55 negara, sepanjang 321 ribu kilometer).
 

Terjauh berkendara sehari berapa kilometer?
Pernah 1.400 kilometer tak berhenti, saat melewati Gulag, Siberia. Daerah yang cukup berbahaya. Setelah berkendara 600 km, cari hotel, ternyata penuh. Diberi petunjuk next hotel, sekitar 200 km, saya terus. Ternyata penuh juga. Saat itu summer, jadi siangnya amat panjang. Sampai jam 10 malam, masih terang. Melihat saya kelelahan, pemilik hotel terakhir rupanya kasian, dan saya ditawari tidur di atas menara penjaga. Begitu bangun pagi, wah rasanya luar biasa. Saya tidur dikelilingi pemandangan menakjubkan. Keajaiban dan pertolongan Tuhan, sering saya alami. Saya banyak dibantu orang, mengandalkan skill dan networking. Tapi saya pantang meminta-minta. Pokoknya, jalani saja, maka pertolongan datang.
 
*(Gulag dikenal sebagai kamp kerja paksa yang didirikan tahun 1917. Gulag adalah tempat buangan para penjahat, dan tahanan politik. Tahun 1939, labih dari 1,5 juta orang dibuang di sini. Orang yang selesai menjalani hukuman tidak diizinkan kembali ke kota, sehingga banyak menetap di kota-kota sekitaran Gulag).
 
Kenapa memilih motor BMW, dan bagaimana mensiasati bawaan yang banyak? Saya butuh motor dengan engine besar. Tapi saat itu sulit, karena motor besar surat-suratnya banyak yang ilegal. Akhirnya ketemu BMW, ada surat resmi tapi umurnya kuno. Tapi nggak apa-apa. Pakai motor kuno, touch-nya beda.
Beban yang dibawa di motor memang overload. Sekitar 450 kilo. Ahli dari Jerman pernah meragukan saya bisa sampai ke negaranya, dengan beban seberat itu. Tapi, saya buktikan bisa. Lalu, dia malah mau tukar motor ini dengan yang baru.
 
*(Jeffrey mengendarai BMW R1150GS dengan nomor D 5010 JJ. Mengusung bendera Ride For Peace, tahun 2006-2008, Jeffrey menjelajahi 72 negara di Asia, Timur Tengah, Afrika dan Eropa. Lalu, dilanjutkan tahun 2012, mulai di Paris, Perancis, dan masuk Benua Amerika melalui Vancouver, Canada. Motornya sempat hilang di Belanda, dan diganti motor sejenis, dengan nomor D 5010 JP. Di Alaska, dia melalui loose gravel, ribuan kilometer sepanjang Dalton Highway dan mencapai Deadhorse, Prudhoe Bay, jalanan di utara Amerika yang amat terkenal keganasan medannya. Juli 2015, sampai di Australia, lalu masuk Timor Leste, menuju Indonesia dan perjalanannya berakhir di Jakarta pada 20 September yang lalu. Total 97 negara.
 
Apa saja yang Anda bawa di motor?Yang saya bawa, rumah, karena bisa kemping dimana saja. Saya bawa dapur, bisa masak apa saja termasuk omelete. Juga bawa garasi, bengkel. Saya bisa perbaiki kerusakan motor. Saya bawa kantor. Saya bisa mengedit foto, membuat video sendiri. Semua barang itu, dipacking khusus dan lebih simpel. Menurut saya, tiap orang kebutuhannya beda. Jadi bawa apa saja boleh, asal membuat diri kita nyaman.
 
Bisa dikisahkan, pengalaman di perjalanan yang paling luar biasa?
Saat di tengah gurun, sering kesasar, karena di GPS, kadang tidak ada rutenya. Yang paling berat di Atacama (Amerika Selatan). Itu gurun terkering di dunia. Dua hari tersesat dan kehabisan air. Di peta, jaraknya sekitar 60 km, tapi pasirnya lembut sekali jadi saya mendorong motor jalan kaki, sekitar 10 km. Jelang malam, air tinggal sedikit. Saya berpikir, mungkin besok meninggal. Saya berserah. Bukan pasrah, bukan menyerah. Saya bicara sendiri, dan berterimakasih kepada Yang Kuasa. “Terimakasih, saya sudah sampai di sini. Mungkin besok saya meninggal, tapi tak mengapa. Itu Kuasa-Mu.” Malam, saya tertidur, tiba-tiba mengalami kedinginan luar biasa. Saya pakai dua lapis sleeping bag, dan baju salju, tetap dingin. Tengah malam, saya ingin kencing, saya tampung airnya, untuk bertahan hidup. Tapi begitu buka tenda, saya melihat salju. Wow, luar biasa. Bayangkan, di gurun terkering di dunia, bisa turun salju. Tuhan tidak tidur. Saya kumpulkan salju dalam botol besar. Saya selamat.
            Saya juga sering dalam kondisi bahaya. Tapi akhirnya saya menyimpulkan, bahaya itu tergantung waktu dan tempat. Di Jakarta pun bisa celaka kalau waktu dan tempatnya salah. Saat di Meksiko, saya masuk wilayah yang tidak ada polisinya, karena dikuasai kartel narkoba. Local rider melarang saya masuk ke wilayah itu. Tapi, makin dilarang malah penasaran. Dua hari sebelum ke situ, saya posting di facebook, ternyata ada kawan yang berada di sekitarannya, mention saya. Orang ini pernah saya tolong saat di Alaska, dan kini gantian, membantu saya. Dia mengawal saya di jalanan. Motor kadang menepi di jam-jam tertentu jika masuk informasi kartel narkoba akan lewat. Saya tidak sok jagoan. Kuncinya respek pada orang lain, maka Tuhan akan kasih jalan.
 
Berarti, hasil dari perjalanan ini membuat Anda makin religius ya...
Saya banyak mendapat pengalaman spiritual dan pencerahan. Karakter saya jadi jauh berubah. Saat takut, saya yakin kepada Yang Di atas. Pernah ditodong senjata di Afghanistan, saya tetap tenang. Yang menodong itu bingung, “Anda tidak takut? Nggak. Kamu akan mati? Saya jawab, I know.” Begitu saya membuka helm, dia kaget melihat kulit saya hitam dan bilang dari Indonesia. Orang itu akhirnya melepaskan saya, karena dia ingat dulu pernah ditolong banyak mujahidin Indonesia, saat melawan musuhnya.
 
Atas keberanian mengelilingi dunia sendirian, jangan-jangan urat takut anda sudah putus..
Hahaha. Sebenarnya ketakutan itu bisa jadi rem. Ketika kita berserah, maka serahkan diri kita 100 persen kepadaNya. Apapun yang terbaik, itu keputusanNya. Saat kita takut, klik di otak kita, ke zero emotion. Buat diri kita numb. Bebal, netral. Percaya kepada kekuatan Yang Maha Kuasa. Saya sendirian di jalanan, tapi ada Yang Di Atas yang menemani. When you are alone, you never be alone.
Di Pakistan, saya berputar-putar di jalanan, tak tentu. Tiba-tiba ada orang berhenti dan bertanya, mau kemana, dan mana temanmu? Saya jawab sendirian. Wah, dia kaget. Dia bilang ini areal bahaya, mari ikuti saya. Nah, akhirnya dia jadi teman saya. Coba, misalkan, saat itu saya berdua, belum tentu dia berhenti dan membantu saya.
 
Tips menepis rasa takut? Ibarat kita naik kendaraan, saat malam menyalakan lampu. Nah, kita melihat, jarak sepanjang jalur yang diterangi lampu. Kerjakan dan fokus pada bagian yang terang itu. Rasa takut dan kuatir timbul karena kita sering memikirkan bagian yang gelap. Kerjakan yang bagian terang saja. Kita nge-gas kendaraan, toh akhirnya maju. Pelan-pelan pun akhirnya sampai.
 
 
Bertahun-tahun di jalanan, bagaimana dukungan keluarga?
Keluarga tidak ada masalah. Saat mau start, saya bertanya kepada mereka, dan akhirnya kami sekeluarga committe. Saya berterimakasih pada teknologi. Bisa telepon, skype saat ada kesempatan.
 
Apa mimpi atau rencana Anda selanjutnya?
Saat ini saya ingin menginspirasi generasi muda. Banyak undangan ke kampus-kampus, untuk memotivasi. Saya yakinkan mereka, kita ini bangsa yang mampu dan punya segalanya. We have everything. Salju, gurun, gunung, pantai yang indah, dan sebagainya. Kita ibarat lahir di surga, tapi sering kurang menghargai. Masih buang sampah sembarangan. Maka, mulailah kita menghargai dari hal-hal kecil. Kalau kita melakukan ini, kita akan jadi bangsa juara dunia.
 
 

 
Sudah Keliling Indonesia Di Usia 25 Tahun
Pernah Disangka Mata-mata Di Pakistan
 
Begitu punya SIM, Jeffrey mengendarai motor Honda CB100 dari Bandung sampai Bali. Sendirian. Setelah itu petualangannya tak berhenti. Jeffrey lahir di Bandung, 18 Juni 1962. Di usia 25 tahun, dia sudah bermotor keliling Indonesia. Saat muda, Jeffrey hobi mendaki gunung, terbang layang solo flight, menunggang kuda dan menembak.
Atas prestasinya keliling dunia, Jeffrey diganjar berbagai penghargaan. Salah satunya yang prestisius dari Ikatan Motor Indonesia. Sejak IMI berdiri seratus tahun lalu, baru dua orang yang menerima penghargaan ini. Salah satunya Jeffrey. Dia juga tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang bergabung dalam organisasi penjelajah dunia Jupiter’s Traveller, naungan legenda Ted Simon Foundation.
 
            Saat keliling dunia, motornya pernah rusak atau jatuh? Gear box rusak berulang kali. Ganti ban 39 pasang. Motor pernah ganti tapi tak pernah beli. Kalau motor rusak di jalan, saya perbaiki sendiri. Ada beberapa alat khusus yang diberi atau tukaran dengan teman saat di perjalanan. Tapi, sebelum rusak parah, dan saat terasa gejalanya, saya belok ke kota. Jadi diperbaiki di bengkel. Ban bocor pertama kali di Malaysia. Saya perbaiki sendiri, butuh waktu 8 jam. Duduk di pinggir jalan, sambil membaca buku manual. Bongkar, bongkar. Susah dan keringatan. Tapi, akhirnya belajar. Berikutnya, sudah tidak 8 jam lagi. Kalau motor jatuh di gurun, memberdirikannya bisa dua jam. Saya unload dulu barangnya. Gerakan tidak bisa cepat karena hemat tenaga di suhu yang panas.
            Saat lewat daerah konflik, apakah tidak dicurigai sebagai mata-mata? Ya, pernah saat di Pakistan. Saya diinterogasi berkali-kali. Di Islamabad, mereka geledah saya tiga jam, mencari telepon satelit. Sebelum ketahuan, saya benamkan telepon satelit milik saya ke dalam pasir. Kalau ketahuan, saya pasti langsung masuk penjara. Sejak itu, saya tidak pernah lagi membawa telepon satelit.
            Apakah di perjalanan pernah jatuh cinta lihat wanita cantik di negara-negara tertentu? Apalagi jauh dari anak istri? Awalnya, memang berat menahan godaan. Tapi, saya sering mengingatkan diri. “Hati-hati nanti kena penyakit. Nanti kena aids.” Saya respek pada isteri saya. Dia mengizinkan saya pergi. Tak semua istri bisa bersikap seperti itu. Pada dasarnya, godaan itu datang karena kita meng-create. Jadi, saya akhirnya bersikap rileks dan lurus-lurus saja. Saat “kepenuhan” ya luar biasa, malah diberi mimpi kan (hahaha). ***
 
Note: Semua foto-foto yang ditayang di atas adalah Koleksi Pribadi Jeffrey Polnaja. 

Wawancara ini dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Kamis, 28 Oktober 2015 (Inspirasi di Hari Sumpah Pemuda)