Kamis, 12 Januari 2017

Menteri ESDM Ignasius Jonan: Presiden Bilang Listrik Harus Murah Supaya Bangsa Ini Kompetitif



Presiden ingin harga listrik lebih murah sehingga terjangkau masyarakat. Bagaimana caranya? Sebagai regulator, peran Kementerian ESDM amatlah penting untuk membuat harga listrik lebih kompetitif. Bagaimana caranya? Ignasius Jonan yang baru 2,5 bulan duduk di kursi Menteri ESDM itu membeberkannya cukup detail. Wawancara dengan Jonan berlangsung di Bali, pekan lalu, di saat kunjungan kerja ke pembangkit listrik dan terminal BBM. 

Presiden Jokowi berulang kali menyebut bahwa harga listrik harus murah. Bagaimana peran Menteri ESDM merealisasikannya?

Jadi begini. Pertama, goal atau tujuan dari Bapak Presiden, bahwa listrik harus makin lama makin affordable atau harganya makin terjangkau oleh masyarakat. Bagi kebanyakan orang yang tinggal di kota besar, atau yang kelas menengah ke atas, mungkin listrik itu bagian yang biasa saja saat harganya naik atau turun. Tapi Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Penghasilan orang beda dan kehidupannya pun berbeda-beda. Kita ini satu bangsa, tapi akses listrik sekarang baru tercapai 89 persen.

Target sesuai arahan presiden, tahun depan, diharapkan elektrifikasi 92 persen. Tahun 2018, menjadi 96 persen. Dan, 2019, jadi 100 persen. Sehingga 2019, semua rakyat Indonesia punya akses listrik. Nah, 100 persen elektrifikasi itu, bukan berarti listrik tersedia tapi orang nggak bisa beli. Listrik harus tersedia dan terjangkau. Itu yang dimaksud listrik murah, bahwa harganya makin lama makin terjangkau masyarakat. 

 

Kedua, ini masalah daya saing bangsa dari segi produksi. Kalau listrik makin murah atau kompetitif, maka barang produksi Indonesia bisa makin kompetitif. Ini tujuan Presiden yang harus dijalankan oleh semua stakeholder di bidang kelistrikan. Regulatornya, saya. Jadi, saya harus mendorong ini.

 

Caranya?

Caranya tentu bukan membuat peraturan semata. Satu, membuat atau mengarahkan sumber energi dasar listrik sesuai geografis dan juga sesuai dengan sumber-sumber listrik atau sumber energinya. Contoh, sekarang saya sudah izinkan di daerah tambang batubara dibangun mine mouth coal fire plant atau pembangkit listrik di mulut tambang.

 

Bukankah dulu rencana itu ada. Tapi nggak berkembang...

Begini. Kita akan ubah beberapa aturannya. Contoh, tambang batu bara Bukit Asam di Tanjung Enim. Kirim batu bara pakai kereta, dibawa ke Lampung. Lalu dibawa ke Tarakan (Kalimantan Utara) pakai kapal, atau dikirim ke Tanjung Jati di Jawa barat. Ini biayanya berapa besar coba? Nah, kalo bikin listrik di situ (dengan pembangkit mulut tambang), lalu tinggal bikin transimisi. Mungkin sebagian transmisi dibikin PLN, sebagian lagi dibikin Bukit Asam, lalu dibuatkan gardu induk, bisa nyambung. Bikin transmisi biaya perkilometernya lebih murah dan lebih mudah dibanding biaya transportasi (mengirimkan batu bara).

 

Kedua, kita lagi buat peraturan menteri. Kita mendorong PLN bisa tunjuk langsung pembangkit listrik tenaga gas untuk yang di sumur-sumur gas. Namanya, well-head gas turbine power plant. Nah, gas juga sama. Bayangkan, bikin pipa segitu panjang, ratusan kilometer. Kan lebih baik power plant dibangun di situ, bikin transmisi, lalu buat gardu induk. Itu lebih murah. 

 

Ketiga, kita mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sesuai kesepakatan di COP 21 (Conferene of the Parties) di Paris tahun lalu, bahwa bauran energi ini diharapkan mencapai 23 persen di tahun 2025. Tapi, begini ya. EBT jangan diarahkan bahwa yang mendorong adalah ide atau keilmuan semata, tetapi listrik yang reasonable. Yang masuk akal, sesuai sumber di daerahnya. Jangan yang sudah ada panas bumi, malah bikin PLTU yang pakai batu bara. Apalagi, ngirim batu baranya jauh. Di daerah yang ada panas buminya, ya bikin PLTP (Pembangkit Listrik Panas Bumi), seperti Lahendong (Minahasa), Ulubelu (Lampung), Kamojang (Garut) dan sebagainya. Panas bumi kita ini potensinya diestimasi bisa menghasilkan 29 ribu Megawatt. Tapi yang baru dibikin sekitar 1.500 MW atau baru sekitar 5 persennya. Target kita bisa mencapai 7.500 MW di tahun 2023.

 

Contoh lain. Di pesisir, misalnya Papua. Di Sorong, Kaimana atau Jayapura. Kalau ada pertanyaan, bisa nggak dibangun PLTU pakai batubara? Jawabannya, ya pasti bisa. Tapi mengirim batubaranya darimana? Kalau dari Kalimantan. Itu ongkosnya mahal. Nah, kalau mau, bisa pakai gas, supply lebih dekat, ada dari Tangguh. Gas bisa dibawa menggunakan kapal ke Jayapura, dan mungkin bisa sampai ke Manokwari.

 

Bagaimana dengan wilayah Papua yang aksesnya sulit. Pengiriman gas atau batubara tentu jadi kendala? Jadi, saya merasa beruntung ditugaskan hampir dua tahun di Perhubungan. Saya sudah melihat 34 provinsi sebanyak rata-rata 2,5 kali. Jadi tahu gambarannya. Yang di Wamena, Yahukimo, Oksibil dan wilayah yang pegunungan-pegunungan itu, nggak bisa pakai gas. Kalau mau pakai gas, misal bangun di Sorong, masa narik kabelnya sepanjang itu, ongkosnya berapa? Wong tengahnya hutan semua, nggak banyak yang tinggal. Kalau gas sudah pasti tidak mungkin pakai pesawat, karena gas itu mudah terbakar. Kecuali gas perut ya, hahaha (tertawa).

 

Nah, caranya bagaimana? Ya bikin pembangkit setempat. Liat kondisi. Kalau bisa tenaga matahari ya, pakai matahari. Ada orang bilang, mataharinya nggak cukup. Ya, kalau nggak cukup, bisa dual power. Matahari dan misalnya, diesel. Tapi saran saya jangan diesel ya. Bukan karena mahal. Tapi, bawa dieselnya itu ke sana pakai pesawat. Mahal.

 

Kalau bangun pembangkit tenaga matahari, ya solar farm-nya harus besar sekali. Kemungkinan lain, pakai mini hidro. Kalau letak desanya jauh-jauh, ya pakai mikrohidro. Satu kecamatan, bisa pakai satu Pembangkit Lisrik Mikrohidro atau PMH. Satu pembangkit menghasilkan setengah megawat. Itu setengah juta watt lho. Cukup. Masa ada satu kecamatan di desa terpencil butuh satu juta watt? 

 

Yang lain, misalnya di tempat yang banyak sungai. Presiden sudah pernah jelaskan. Di Papua, ada Sungai memberamo, ya itu dipakai. Kalau perlu bangun pembangkit listrik tenaga air. Lalu, di kota-kota besar, kami sarankan, pakai tenaga sampah atau biomassa. Itu bisa. Kecil-kecil nggak apa. Sifatnya independen. 

 

Nah, hal-hal seperti ini harus diperjuangkan, supaya harga listrik bisa terjangkau. Kalau PLN terus dipaksa untuk jual listrik murah, tapi beli listriknya mahal sekali, ya berat. Akhirnya teriak subsidi. Nah, itu nantinya debat lagi. 

 

Kalau pembangunan listrik bisa bersifat independen, berarti tidak ada lagi jaringan listrik nasional ya? Jaringan listrik nasional atau national grid nggak ada di Indonesia. Lha wong, Indonesia negara kepulauan kok pakai nasional grid. Amerika saja yang luas daratannya 4 kali Indonesia, tapi satu benua, dia juga nggak nyambung listrik ke kepulauan. Nah, Indonesia yang pulaunya ratusan ribuan, meski yang dihuni mungkin sekitar 800-an pulau, kalau mau nyambung listrik itu biayanya berapa? 

 

Misalnya, di kepulauan-kepulauan Maluku. Begitu ada Blok Masela, bisa dipakai gasnya. Di Maluku Utara juga bisa, karena pegunungannya nggak terlalu tinggi. Kalau Masela jadi, itu untuk dijual gasnya, dan bisa untuk bangun listrik di situ. Dari Sulut, dekat dengan Maluku Utara, PLTG juga cocok, karena tidak terlalu jauh dari Teluk Bintuni. 

 

Di Sulawesi Utara, kalau mau bangun coal fire (PLTU) sebenarnya cocok karena batubaranya dari Kalimantan nggak jauh. Tapi, pembangunan PLTU di sana, kecuali diatur luarbiasa soal polusinya. Kalau nggak (diatur) bisa mengganggu, karena Sulawesi Utara targetnya menjadi provinsi pariwisata, seperti Bali.

 

Bagaimana support pemerintah terhadap energi baru dan terbarukan. Pemerintahan sebelumnya tidak memberi atensi khusus terhadap hal ini. 

 

Begini. Jangan orang sekedar bilang Pak, saya punya teknologi. Misalnya, solarcell, mereka bilang, ini harus dipake dan di Jakarta pun harus dipakai. Lho, menurut saya, ya tergantung. Harganya bagaimana? Orang cari listrik, kan sama dengan cari penghidupan. Dimana yang paling kompetitif, ya apa (sumber untuk listriknya) di situ. Ini penting. Arahan Presiden begitu. Bukan bilang pokoknya harus, pokoknya begini. Nggak bisa dipaksakan. 

 

Sebulan lalu, saya bicara dengan menteri energinya Uni Emirates Arab, saat pertemuan OPEC, Wina. Dia bilang, negaranya membangun solar cell 150 MW, dan harga listriknya 2,99 sen. Lha, di sini, pembangkit solar cell mintanya 14 sen, 15 sen atau 20 sen USD. Orang lalu bilang, ya Timur Tengah, mungkin absorbsi sinar mataharinya banyak. Yo wislah, dikali dua deh. Sekitar 6 sen USD, bisa? Atau, sudahlah. Kalau nggak bisa 6 sen USD, bisa tidak disamakan saja dengan harga listrik gas. Kalau itu bisa, sudah alhamdulilah. Gitu, lho. 

 

Januari ini, saya mau ke sana mewakili Presiden. Coba nanti kita liat sendiri. Ini negara Emirates, lifting minyaknya sehari 3 juta barrel, dan konsumsi mereka cuma 100-150 ribu barrel. Negara eksportir minyak terbesar, tapi mereka sudah memikirkan membangun listrik dengan sollar cell. Jadi, saya sangat mendorong energi baru terbarukan. Itu passion luar biasa. Kita targetnya ada, tapi harganya harus terjangkau.

 

Tentang pernyataan Presiden bahwa harga listrik selama ini mahal karena ada broker atau makelar pembangkit listrik. Bagaimana tanggapan Anda?

Saat di Lahendong (Minahasa), ada arahan Presiden. Tolong, listrik ini investasinya dan segala macemnya itu, jangan sampai ada makelar di tengah. Jadi ini, misalnya begini. Ada investor asing mau investasi listrik dan ikut tender. Karena prosesnya sulit –nah, ini harus kita permudah ya— maka, dia cari-cari dan dikenalkan dengan Tuan X. Nah, X lalu bilang pada investor itu, sudah begini saja, sampeyan bawa uang nggak? Bawa. Punya teknologi? Punya. Ya, sudah semua dokumen, kata Tuan X, saya yang urus sampai jadi deh. Tapi, nanti saya minta saham gratis 20 persen. Nah, yang kayak begini ini kan nambah biaya. Gitu lho.

 

Apakah ada upaya lain terkait regulasi perhitungan investasi, untuk membuat harga listrik murah? 

Ini terkait dengan arahan Presiden menyangkut energi dasar. Waktu kami ke Iran. Iran itu jual LNG murah. Katanya murah. Saya belum tahu sih. Tapi, apabila masuk ke Indonesia, lalu masuk ke pembangkit-pembangkitnya PLN, itu mesti dihitung, nett berapa harganya. Nah, kita akan bikin patokan. Kita keluarkan peraturannya. Misal, harga gas per mmbtu itu 0,12 ICP (Indonesia Crude Price). Nah, kalau harga penawaran lebih dari itu, dia boleh impor tapi harganya harus di bawah itu. Boleh saja impor dan Presiden bilang kenapa nggak, supaya lebih sehat, ada kompetisi. 

 

Menurut Pak Dirut PLN, investasi listrik itu ya, kadang uangnya 8-10 tahun kembali. Jadi, kalau ada kontrak selama 30 tahun, orang itu berarti untungnya besar sekali. Di PLTP Lahendong yang kemarin, saya tanya. Ini, disusutkan berapa tahun aktiva tetapnya, semua instalasi. Jawabnya, 7 tahun. Ya, menurut saya, kurang dong. Lha wong pipa segala, misalnya, itu bisa dipakai 15-20 tahun kan. Makanya, harga jadi mahal. Nah ini akan kita atur. Kita akan usulkan, nanti diubah penyusutan seumur kontrak atau minimal 20 tahun, mana yang lebih kecil.

 

Harga jual listrik di PLTP Ulubelu, misalnya sekitar 7,5 sen USD. Di Lahendong sekitar 11,4 USD. Itu menurut saya terlalu tinggi. Penyusutannya harus dibikin 20-an tahun supaya harganya turun. Terhadap kontrak yang sudah ditanda-tangani ya tidak bisa diubah. Kita harus menghormati kontrak. Tapi, yang belum ya kita akan perbaiki menggunakan Peraturan Menteri. Tentunya, kita akan mendorong sebuah aturan yang fair dan reasonable buat pelaku dunia usaha juga.

 

Listrik murah ini kan tujuannya mulia sekali. Bapak Presiden bilang, harga listrik harus lebih murah supaya bangsa ini lebih kompetitif produksinya dan semua rakyat bisa menjangkaunya. Listrik ini termasuk kebutuhan dasar. Tidak ada listrik, maka peradaban sangat sulit tumbuhnya. 

 

Listrik Indonesia sekarang ini katagorinya mahal atau murah dibanding negara lain?

Mahal murah itu harus ada komparasinya. Ini, contoh. Ada pembangkit listrik tenaga hidro yang besar sekali, sekitar 2.000-an MW di Serawak. Terserah, orang mau bilang ini desperate atau nggak desperate. Tapi, faktanya, dia jual listrik ke PLN Malaysia kira-kira 2 sen USD. Nah, kita liat, pembangkit listrik tenaga hidro di kita, harganya sekitar 7-8 sen USD. Nah, kenapa nggak dicari efisiensinya, gitu lho. Kok industri ini tidak berjuang supaya output produknya menjadi lebih mudah, terjangkau dengan kualitas lebih baik dan lebih murah. Kan mestinya, itu harus diperjuangkan. Semua industri di era globalisasi, tanpa pengecualian, termasuk industri energi, ya harus begitu.

 

You tahu, misalnya handphone. Dulu, 25 tahun yang lalu, ukuranya besar sekali. Padahal fungsinya, cuma buat telepon, nggak bisa untuk SMS, padahal harganya bisa satu Kijang. Nah sekarang, handphone sudah canggih, kapasitas mungkin 10 kali lipat dari handphone zaman dulu itu, tapi harganya cuma seperlimapuluh Kijang. Nah, itu lho maksudnya teknologi itu. Jangan tambah lama, tambah mahal. Industri listrik itu ya, harusnya kayak gitu. 

 

            Detikcom mengutip data dari PLN, harga rata-rata listrik Indonesia dibanding negara lain perSmester 1 2016, adalah sebagai berikut: 

 

Tarif Listrik Industri Besar: Singapura (Rp1.689/kWh), Filipina (Rp1.551/kWh), Thailand (Rp1.270/kWh), Malaysia (Rp1.066/kWh), Indonesia (Rp1.011/kWh) dan Vietnam (Rp777/kWh).

Tarif Listrik Bisnis Besar: Singapura (Rp1.843/kWh), Filipina (Rp1.607/kWh), Malaysia (Rp1.320/kWh), Vietnam (Rp1.305/kWh), Indonesia (Rp1.159/kWh) dan Thailand (Rp1.114/kWh). 

Tarif Listrik Rumah Tangga: Filipina (Rp2.653/kWh), Singapura (Rp2.602/kWh), Indonesia (Rp1.496/kWh), Malaysia (Rp1.374/kWh), Thailand (Rp1.351/kWh) dan Vietnam (Rp1.120/kWh).

***

Wawancara ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Rabu, 4 Januari 2017


 

 

Asman Abnur, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Pegawai Lembur Jangan Cuma Diongkosi Martabak Doang..


 

Putra Batam ini tak menyangka jalan hidupnya tiba-tiba berubah, saat dia ditunjuk menjadi pembantu Presiden Jokowi. Empat bulan duduk di kursi Menteri PAN-RB apa saja yang sudah dilakukan? Seberapa sulit melakukan reformasi birokrasi dan mengubah kultur pegawai sipil kita? Berikut ini petikan wawancaranya dengan Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Haikal Amrullah dan Wahyu Dwi Nugrono dari Rakyat Merdeka, akhir pekan lalu. 


Selama empat bulan jadi menteri, terobosan apa saja yang dilakukan untuk mereformasi birokrasi? 
Selama empat bulan ini, saya konsentrasi kepada dua hal. Pertama, fokus kepada pelayanan publik.  Dan kedua, penerapan sistem e-goverment di pemerintahan. Caranya, dengan menciptakan role model, dari pusat hingga ke banyak daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota dan propinsi.

 

Role model ini untuk bidang apa saja?
Fokus utamanya role model untuk pelayanan publik. Karena, selama ini pelayanan publik birokrasi banyak dikomplain masyarakat. Bukankah, nampak sekali terasa perbedaan sistem pelayanan, jika kita masuk ke kantor pemerintahan, dibandingkan masuk ke bank. Sekarang, sudah ada sekitar 59 role model. Dan ini, nanti direplikasi tingkat nasional hingga ke daerah. Jadi, jangan lagi pergi studi banding kemana-mana. Sudahlah, tiru saja 59 role model ini. Datang, lihat, copy atau tiru dan terapkan di daerahnya.

Di beberapa daerah kabupaten/kota, propinsi, sudah diterapkan e-budgeting. Dan dengan sistem ini, anggaran bisa dihemat luar biasa. Maka, saya menjadikan daerah ini contoh penerapan e-budgeting. Sistemnya, mulai dari e-planning, e-control dan e-procurement dan seterusnya. Saya harapkan, role model bisa mempercepat penerapan sistem reformasi birokrasi di daerahnya masing-masing. Di bidang SDM, saya menggenjot Lembaga Adminsitrasi Negara (LAN) untuk melakukan pelatihan-pelatihan. Sistemnya jangan seperti yang dulu lagi.

Dulu, sistem pelatihannya bagaimana?
Antara lain, pelatihan dijadikan (syarat) jabatan. Sekarang, tidak boleh lagi seperti itu. Masuk ke LAN karena pelatihannya memang bagus. LAN kini mereformasi diri juga. Saat ini ada mekanisme Pendidikan dan Pelatihan Pimpinan (Diklatipim) 1 dan Diklatpim 2. Setiap lulusannya, misal, diwajibkan mencipta inovasi. Misal, jika dia birokrat dibidang keimigrasian, maka ciptakanlah sebuah sistem reformasi bidang keimigrasian. Hari ini, saya baru saja dari Kemenkumham menutup Diklatpim 2 dengan Menkumham. Target saya, setelah ini, pelayanan imigrasi kita tidak kalah dengan di luar negeri.

Peserta Diklatpim sekarang tidak akan diberi sertifikat sebelum menciptakan sebuah inovasi. Sekarang ini, tercipta sekitar 3.000 inovasi. Tinggal kita lihat saja, mana yang bisa ditiru dan dijadikan role model. 

 

Apa contoh ide inovasi yang menarik?
Diklatpim 2 di Ambon diikuti sekitar 52 peserta. Malahan ada yang dari Papua juga. Saat diberi tugas membuat sebuah inovasi, ada yang unik. Di Papua, ada pegawai kesehatan yang berusaha agar malaria tidak jadi penyakit mewadah. Caranya, dengan membuat sistem agen. Agen ditunjuk dari orang-orang biasa, tapi dididik untuk mengatasi demam malaria. Biasanya bidan yang keliling mengobari malaria, tapi ini agen. Orang ini mengobati, tapi sekaligus jualan di warungnya. Ini kan sebuah ide inovasi, yang perlu diapresiasi.Ada sekitar 52 ide inovasi pelayanan publik yang sudah dipamerkan. Dari dinas perikanan, misalnya, ada ide inovasi budidaya tidak perlu pakai kolam. Cukup dengan kotak-kotak buatan, diisi air, dan di situ dilakukan pengembangan ikan. Ternyata banyak diantara birokrasi kita pintar-pintar dan kreatif. Kini, tinggal diapresiasi saja kerja mereka. Sekarang ini, seluruh ASN (aparatus sipil negara), yang hendak naik jenjang jabatan, wajib mengikuti diklat dulu. Kalau tidak punya sertifikat diklatpim, tak perlu diberi jabatan tertentu. Sehingga, aparatur birokrasi itu perlu diakreditasi. Ibaratnya, kalau di perusahaan ada ISO.

 

Jadi Aparatur Sipil Negara nanti harus memiliki semacam sertifikat kompetensi?
Iya, kita arahkan seperti itu. Jadi tidak ada lagi kepala daerah yang memberi jabatan kepada seseorang, hanya karena dia, misalnya, bagian dari tim suksesnya. Karena dia ikut memenangkan sebagai bupati atau walikota, lalu diberi kedudukan tinggi. Tidak boleh ada yang begitu ke depan. Jabatan di birokrasi baiknya terpisah dari kekuatan politik.

Bukankah hal seperti itu sudah sangat lumrah dan menjadi kultur. Mungkin tidak mudah mengubahnya? Justru kultur yang seperti itu harus kita ubah. Dengan metoda dan sistem yang baik. Gunakan sistem merit. Inilah target kami di Kemenpan.

 

Apa hal tersulit dalam mereformasi birokrasi?
Banyak birokrat yang sudah merasa ada di zona nyaman. Maksudnya, mereka terbiasa dalam situasi yang menguntungkan dirinya. Maka, orang seperti itu akan berusaha mempertahankan sistem lama. Ini tidak ada tawar menawar lagi. Kita paksa ubah dengan sistem IT. Juga diberikan apresiasi untuk yang bisa melakukan inovasi di bidang unit kerjanya. Apresiasi dalam bentuk kenaikan pangkat lebih cepat, atau rekomendasi untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi agar mereka jadi ASN unggulan, yang diharapkan menjadi pemimpin di unitnya.

 

Berapa banyak aparatur sipil negara sekarang?
Banyak. Jumlahnya mencapai 4,7 jutaan. Terpenting, masing-masing unit, sistemnya sudah jalan dengan baik. Tinggal kita desain bagaimana sistem pelatihan dan pendidikannya. Jenjang karier pegawai tidak boleh ada lagi yang sistemnya suka-suka. Harus ada standarnya.

 

Saat ini banyak sekali badan-badan dan lembaga yang kerjanya tidak kelihatan di publik. Terkait reformasi birokrasi, apakah ada badan atau lembaga yang dibubarkan? Sekitar 11 lembaga non struktural, sudah kami bubarkan. Saya tidak hafal apa saja. Tapi, badan atau lembaga yang seperti itu, biasanya orangnya ada, pekerjaannya tidak produktif. Jadi dibubarkan saja. Hal lain, saya juga melakukan penyederhaanaan organisasi di Pemda. Sekarang ada PP No 18. Pemda tidak boleh mengembangkan organisasi di luar aturan yang sudah dibuat. 

 

 

 


Jiwa Birokrat Harus Melayani, Jangan Merasa Berkuasa...

 

Sebelum berkiprah di kabinet, Asman Abnur adalah anggota DPR RI. Mantan Wakil Walikota Batam ini, lahir di Pariaman, 2 Maret 1961. Asman adalah politisi berdarah pengusaha. Ayahnya pedagang emas yang sukses di Tanjung Pinang dan Batam. Asman Lulus S-2 Magister Manajemen tahun 2004 dari Universitas Airlangga. Dan saat ini tengah menjalani studi doktoral Ilmu Ekonomi Islam, di Universitas yang sama.

Selepas sarjana, Asman melanjutkan usaha orang tuanya berjualan emas, dan berkembang jadi banyak usaha. Diantaranya beberapa unit SPBU, sejumlah restoran, apotek, pusat kebugaran, Bank Perkreditan Rakyat Konvensional & Syariah dan money changer. Pernah menjabat Ketua HIPMI Batam dan Ketua Kadin Batam. Asman ditunjuk menjadi Menteri PAN-RB pada 27 Juli 2016. “Jadi menteri ini, saya anggap garis tangan, amanah, ada kesempatan memberikan pengabdian untuk negeri ini,” kata pria yang hobinya ngopi ini. 

Setelah jadi menteri, waktu luangnya makin terbatas. “Kalau weekend saya jogging, lalu ngopi. Atau ke Batam jenguk orang tua. Kadang kalau saya ke daerah, saya cari, kedai kopinya dimana,” ujarnya.

 

Sikap aparatur birokrasi yang baik, idealnya punya rasa melayani. Bagaimana caranya menumbuhkan kesadaran ini? Saya menuntut aparatur memiliki dua hal. Pertama, kesadaran hospitality, yaitu sikap melayani, ramah dan jangan lagi mengedepankan kekuasaan. Selama ini ada stigma, ASN seolah berkuasa, padahal harusnya dia melayani. Kedua, sikap entreuprenership. Jika memiliki jiwa ini, dia akan melakukan inovasi. Ini penting. Tanpa sikap seperti itu, kita akan kalah dalam persaingan. Dua hal ini membuat aparatur bersikap semangat kerja tinggi, tidak cepat menyerah dan mengacu pada hasil. Setiap langkah dan setiap anggaran yang dikeluarkan, harus dipikirkan, apa hasilnya untuk negara. Jangan sampai hanya berpikir, yang penting duitnya terserap, tapi hasilnya tak bisa diukur.

 

Di negara-negara maju, justru lulusan-lulusan terbaiknya diangkat menjadi birokrat. Di negara kita mengapa tidak seperti itu ya? Saya sedang menguber sistem pengupahan. Di jabatan-jabatan tertentu, seharusnya, gaji pegawai tidak kalah dengan swasta. Kita ini sudah melakukan penghematan, maka wajar kalau pegawai yang berprestasi diberi apresiasi. Ibaratnya, masa lembur sampai jam 10malam, tapi pulang cuma dikasi martabak doang.. hahaha (tertawa).

Selama ini begitu? Ya, palingan dibelikan nasi bungkus. Itukan tidak profesional. Mudah-mudahan ke depan segera diperbaiki. Aparatur sipil kita tidak boleh kalah dengan ASN di Korea, Jepang dan Singapura. Coba sekarang, lihat berapa gaji gubernur, walikota, bupati itu berapa? Saya tidak menyebut gaji menteri ya. Lalu, bandingkan dengan BUMN. Gaji menteri dengan gaji pegawai BUMN saja jauh. Saat ini saya sedang coba hitung, gaji standar eselon satu dan dua itu berapa yang baik. Kalau sistemnya bagus, kan mereka juga bahagia bekerjanya.

 

Bagaimana progress moratorium aparatur sipil negara? Ke depan, kita akan merekruit aparatur sipil sesuai kebutuhan. Jangan sampai membebani anggaran negara. Ada beberapa daerah, yang belanja pegawainya mencapai 80 persen. Coba, itu bagaimana kepala daerahnya bisa membangun kalau anggarannya banyak untuk belanja pegawai. Saya mensyaratkan, ke depan, belanja pegawai tidak boleh lebih dari 50 persen. 

Bagaimana upaya mengurangi jumlah ASN, apakah ada program pensiun dini atau sejenisnya? Sebetulnya, melalui sistem online, kita jadi bisa tahu mendetail jumlah pegawai. Misalnya, kita akan tahu jumlah guru yang menumpuk ada di wilayah mana, dan guru apa saja. Yang menumpuk itu, bisa kita distribusi ke wilayah yang membutuhkan. Saya mengharapkan, ASN ini jadi perekat nasional, jangan terkotak-kotak. Pegawai daerah A, tak berarti hanya bertugas di daerah A. Eselon dua, misalnya, harusnya diputar lintas kabupaten. Banyak terjadi, saat pilkada, pejabat eselon dua yang tidak mendukung, tidak terancam dinonjobkan. Untuk tamatan STPDN, setelah lulus, tidak dikembalikan dulu ke daerahnya. Ada 2000 tamatannya yang kita distribusikan lintas propinsi. Anak Papua, bertugas dulu di Jabar, Jateng, agar saat kembali ke daerahnya, dia punya wawasan nasional.

 

 

Tentang Pelaksanaan e-government

Dengan Sistem Online, Otomatis Tak Ada Lagi Pungli

 

Bagaimana penerapan sistem online kepegawaian. Sudahkah dilakukan menyeluruh?
Badan Kepegawaian Negara (BKN) wajib tahun depan akan online dengan seluruh kementerian, di seluruh propinsi, kabupaten dan kota. Kita sedang membangun data centernya di lantai 3 (kantor Kemenpan-RB). Jadi, kalau seluruh data sudah online, kita akan tahu, misalnya, hari ini, berapa orang pegawai yang pensiun di seluruh Indonesia, berapa yang harus naik pangkat, dan seterusnya. Kelak, tak perlu lagi ada pegawai bawa-bawa map mengurus dokumen ke BKN. Bahkan, seharusnya tak perlu lagi diminta surat pengangkatan pegawai negeri, karena itu harusnya otomatis terdata di BKN atau BKD. Dengan online, maka kita juga bisa tahu berapa komposisi pegawai yang dimiliki, di tiap daerah dan distribusinya.   

Kelak, mungkin kita juga bisa tahu jumlah pegawai yang bolos tiap harinya?
Ya, mudah-mudahan nanti bisa sampai begitu. Tapi, dengan sistem online, maka kita jadi bisa tahu formasi birokrat, dan standar pendidikannya. Saya targetkan, semua tamatan universitas yang IPK-nya tinggi, kalau perlu tak usah tes untuk jadi pegawai negeri. Ini agar kita dapat bibit-bibit yang bagus. Tentu, ini harus dibarengi dengan perbaikan tunjangan kinerja. Orang yang bibitnya bagus, dituntut kerja bagus dan transparan tapi kerja lembur selama ini tidak pernah dihitung. 

Jadi harusnya gaji birokrat yang ideal itu bagaimana hitungannya? Apakah lembur akan masuk hitungan pendapatan?
Nanti ada hitung-hitungannya. Ada peraturan pemerintah yang akan kita keluarkan. Saat ini, sudah disampaikan ke Presiden, mudah-mudahan dalam waktu dekat keluar. Mudah-mudahan disetujui Presiden. 

Dengan sistem online, apakah akan terjadi penghematan biaya birokrasi?
Saya yakin efisiensi akan terjadi. Dengan e-budgeting, e-planing dan e government, Kabupaten Banyuwangi, misalnya bisa hemat sampai Rp 1 triliun. Sistem online juga otomatis mencegah pungli. Kalau transparan, terbuka, kita jadi tahu prosesnya sudah sampai mana, kapan selesainya dan nomor antrian jelas. Bayarnya juga jelas ke bank, tidak ada lagi sistem pembayaran cash, dan tidak ada kesempatan untuk pungli. Selama ini, pungli terjadi karena ada celah, ada peluang. Bayangkan, jika uang pembayaran cash, melihat uang menumpuk, apa tidak tergoda?

 

Bagaimana caranya agar sistem online bisa menjamin tidak terjadi pungli? Sebab, pegawai yang nakal bisa membuat sistem yang online dimatikan. Sistem elektronik saja tidak menjamin. Sudah online tapi sistemnya di-off kan. Itu terjadi apabila pengawasan tidak ketat. Karenanya, kita perlu memperkuat sistem pengawasan internal. Inspektorat perlu diperkuat. Jangan sampai orang luar tahu lebih dulu daripada pengawas internalnya

Apa ada target dari Presiden, kapan pelayanan publik harus bisa online secara menyeluruh? Target Presiden, agar saya fokus pada dua hal. Yaitu, pelayanan publik dengan sistem e-gov. Jadi saya kencang saja di dua hal itu. Dan di daerah ternyata sudah banyak sekali perubahan. Bagi daerah-daerah yang belum, kami berikan role model. Saya suruh copy paste, nggak perlu studi banding kemana-mana lagi yang hanya menghabis-habisin duit.

 

Apakah Kementerian PAN-RB memiliki penilaian, birokrasi di kementerian mana yang paling rapi sistemnya? Itu rahasia. Saya memang membuat sistem penilaian. Yang dinilai, sistem reformasi birokrasinya, kinerjanya. Penilaian setiap tahun ada.

Apakah penilaian ini diumumkan di sidang kabinet?
Sementara ini belum. Saya akan lapor dulu ke Presiden. Nanti (penilaian) masing-masing kementerian ada tingkatannya. 

Parameternya apa? Itu ada metodanya. Kerja salah satu deputi bidang reformasi birokrasi dan pengawasan. Kita punya standar penilaian berdasarkan survei. Ada kuesionernya ke publik. Sistem kerja yang efektif ada ukurannya, ada targetnya. Hasil dari penilaian itu bisa rekomendasikan besarannya tunjangan kinerja. Di tahun 2017, saya ingin kita lebih fokus memberi apresiasi ke pelayanan publik yang bagus. Dengan KPK saya menghadiri acara antikorupsi di Riau. Dan kejutan, ada sejumlah Polres, yang dinyatakan bebas korupsi.

***

Wawancara ini sudah dimuat di

Harian Rakyat Merdeka

Senin, 19 Desember 2016

 



Sabtu, 12 November 2016

Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar: Ada Titik Api, Pemilik Lahannya Langsung Kita Telepon

 

            Peristiwa kebakaran hutan dan darurat asap, meredup setahun terakhir. Apakah kebakaran hutan sudah bisa ditaklukan? Bagaimana agar bencana asap tidak terulang lagi? Berikut ini obrolan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat silaturahmi dengan Tim Rakyat Merdeka di kantornya, akhir pekan lalu. Dari Rakyat Merdeka Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Riky Handayani, Kartika Sari, Fiki Azis dan Fotografer Dwi Pambudo

 Bagaimana caranya menaklukan kebakaran hutan. Setahun terakhir ini, kejadiannya tidak masif seperti waktu lalu. Adakah strategi khusus? Ya dijagain terus. Atau orang Jawa bilang, di-rewangin. Yang kami lakukan, begini. Pertama, memonitor setiap hari, sepanjang tahun. Itu konsisten. Meskipun kadang ada yang bete, tetapi harus dilakukan konsisten.

 Kedua, komunikasi dan interaksi. Harus rajin memberitahu gubernur saat di kabupaten tertentu titik apinya diperkirakan banyak. Tiap Dirjen dan Irjen mendapat tanggungjawab wilayah untuk melakukan pemantauan dan komunikasi. Misalnya, begitu ada hotspot, gubernurnya diajak bicara sampai ditemani saat mengambil keputusan. Juga ada komunikasi dengan Satgas. Secara teknis, kebakaran hutan itu sebenarnya ditangani BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Mereka yang menyediakan pesawat. Saat ada warning, kita berinteraksi. BNPD turun bersama Manggala Agni (pasukan pemadam kebakaran hutan dan lahan) juga TNI dan Polri. Yang tak kalah penting adalah terus menerus mewarning perusahaan. Tiga bulan sekali kita ingatkan. Kita kirimi mereka surat. Begitu ada hotspot (titik api), kita lihat di konsensi, dan langsung pemilik lahannya ditelepon.

 Dengan mekanisme bekerja seperti ini bagus hasilnya. Tahun ini sampai minggu kedua Oktober, lahan yang kebakar seluas 270 ribuan hektar. Dibanding sebelumnya mencapai 2,6 juta hektar. Di lahan gambut, tahun lalu mencapai 900 ribu hektar, sekarang 42 ribu hektar.

 Illegal Logging biasanya jadi isu yang seksi. Tapi dua tahun belakangan ini terasa meredup. Mengapa demikian? Tentang illegal logging. Kita masih terus mengejar pelaku-pelakunya. Tapi memang makin sedikit ya. Dulu, pemain-pemainnya ada di Kaltim, Kalbar dan di beberapa kabupaten tertentu. Sekarang mulai nggak kelihatan. Masih ada tapi sedikit. Sebagian dari mereka ada yang sudah bermetamorfosis. 

 Maksudnya metamorfosis? Dulunya, mereka merambah dan mungkin masuk katagori illegal logging, lalu dilegalisir dengan izin kepala daerahnya. Kemudian dimintakan lagi izin hingga ke pusat, sampai disahkan dengan tata ruang. Begitulah metamorfosisnya. Tapi yang seperti ini kita tetap waspadai. Ada beberapa contoh. Yang Taman Nasional Tesso Nilo (Riau), misalnya, itu kelihatan banget. Dari 80 ribu hektar, sebanyak 60 ribu hektar diantaranya sudah diokupansi. Katanya diambil rakyat. Tapi, masa ada rakyat yang punya 1000 hektar? Atau 300 hektar? Oleh karena itu, kita kolaborasi dengan kawan-kawan LSM, sama-sama memperhatikan, dan akhirnya ada yang konsensinya dicabut. Kalau terasa penanganan ilegal logging itu lamban, karena di lapangan complicated banget. Rata-rata ada keterkaitan dengan perusahaan, keterkaitan dengan aparat dan keterkaitan dengan masyarakat yang dimobilisasi. Tapi, sekarang sudah terlihat polanya, dan operasi pun disiapkan. 

 Apakah Kementerian melakukan moratorium perizinan?

Moratoirum izin di hutan primer, lahan gambut. Lalu lahan Sawit di-hold dulu sambil menata dan mengidentifikasi riwayat izin yang 2,3 juta, legal atau nggak. Kami koordinasi dengan BPN dan Kemendagri.

 Bagaimana support dari Presiden terhadap penindakan para pelanggar aturan kehutanan? Apakah Kementerian memiliki kewenangan penindakan hukum?

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum cukup memegang peranan. Apalagi, pejabatnya (Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK) adalah yang termuda di sini. Konsepnya penertiban dan pembinaan. Jadi, bukan hanya penegakan hukum yang dirapihkan, tapi juga perizinannya. Support Presiden sangat luar biasa. Beliau tanya, “Bu Nurbaya, ada beban nggak?” Saya bilang, ngga. “Ya, udah kalau nggak ada beban, kita jalankan. Saya dukung penuh.” Begitu kata Presiden. Jadi, ya kita jalankan. Jumlah polisi hutan kita sangat terbatas. Hanya 8 ribuan, sementara luas hutannya sampai 120 juta hektar. Okupansi konflik, biasanya terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, atau dengan masyarakat adat. Belum lagi, ada konflik hutan dengan satwa, dan lain-lain. Sehingga, persoalannya menjadi kompleks.

 Kerja Birokrasi 

 Bagaimana pola dan program kerja selama dua tahun pertama, mengingat dua kementerian ini sering mengalami bongkar pasang. Disatukan, dipisah, lalu disatukan lagi. Dua tahun ini, kami struggle dengan hal-hal konseptual. Ada beberapa hal dilakukan. Pertama, dari aspek keterbukaan. Ada unsur luar, termasuk LSM, yang rutin dilibatkan dalam policy exercise. Ini supaya konsep menjadi lebih pas dan lebih kena dengan situasi lapangan. Unsur dari luar menambah kekuatan data, metoda, dan lain-lain. 

 Kedua, aspek keterbukaan informasi. Ini dampaknya banyak tekanan juga ke kita. Misalnya, pengaduan melalui whatsaap, sms dan lainnya. Banyak orang di luar, lembaga, bahkan Komnas HAM juga cukup keras terhadap kita, apalagi soal kebakaran hutan. Namun akhirnya terasa di ruang publik, bahwa bahaya lingkungan itu ancaman bagi kehidupan manusia. Makanya, kita membenahi sama-sama. 

 Lalu ketiga, penegakan hukum. Sekarang ini, penegakan hukum oleh Kementerian LHK, sampai sanksi administratif. Terhadap perusahaan yang salah, dikenai pembekuan sampai pencabutan. Jadi, penyatuan dua kementerian (Lingkungan dan Kehutanan), membuat regulasi saling menguatkan.

 Keempat, direktif dari Presiden sangat jelas. Presiden berasal dari Kehutanan. Sehingga beliau betul-betul melihat bahwa kehidupan masyarakat desa kawasan hutan itu sulit, dan tahu bagaimana memperbaiknya. Direktif beliau sangat keras. Saat terjadi kebakaran, misalnya, direktif lapangan konkrit. Misalnya, harus sekat kanal, harus begini, harus begitu, gambut direstorasi, gambut di-manaje dan lain-lain. Saya berharap, makin ke sini, kesadaran masyarakat bermunculan, sehingga sama-sama merasakan bahwa ancaman lingkungan itu berbahaya, dan harus ditangani bersama. 

 Bagaimana melakukan beragam terobosan dengan cepat, sesuai keinginan Presiden, dalam situasi kerja birokrasi yang dikenal lamban? Apakah dikerasi? 

Yang lebih pas bukan keras. Tapi istilah saya, permurnian birokrasi. Dulunya, birokrat di Kehutanan itu di-stigmakan sebagai rezim perizinanlah, mafia hutan-lah, dan sebagainya. Tapi saya perhatikan, ternyata ini persoalan birokrasi dan harus dimurnikan ke relnya. Kita punya tekad dan akhirnya bisa berjalan.

 Bagaimana caranya melakukan pemurnian birokrasi? Mengubah mind set tentu bukan hal mudah. Sesuai keinginan Presiden, pemerintahan ini maunya dekat dengan rakyat, terbuka untuk rakyat. Sementara di birokrasi, stigmanya kaku, tidak bisa tembus dan awalnya, tak ada LSM yang mau masuk ke sini. Lalu, saya menyadari bahwa dua kementerian ini (Kehutanan dan Lingkungan), punya database yang kuat. Data apa saja yang saya minta, hampir nggak pernah nggak kejawab. Tetapi, gaya kerjanya sangat silo, sesuai fungsi dan tugasnya sendiri-sendiri. Kuat di content, tapi lemah di context. Saya sendiri pun ketika baru masuk ke sini, berusaha mencari konteks. Kehutanan dan lingkungan dikaitkan dengan kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat itu bagaimana ya? Dari sebelah mana mulainya ya. Lalu, saya pelajari. Di birokrasi istilahnya, one step up, two steps down. Jadi sekarang kalau mengerjakan sesuatu, ya exercise-nya bersama, dan saya ajak dua layer ke bawah. 

 Bagian tersulit dari upaya memurnikan birokrasi? Bagian tersulitnya adalah memberikan pemahaman tentang konteks secara menyeluruh sampai ke jenjang bawah. Karena selama ini, mereka bekerja dengan juklak, juknis, sesuai aturan, sesuai regulasi. Pekerjaan di dua kementerian ini, knowledgebases-nya kuat. Ada keilmuan dan nggak bisa pakai common sense. Tentang definisi hutan, definisi pohon, pohon tumbuh, fast growing, spesies dan sebagainya. Itu semua ada ilmunya dan mereka jago-jago. Tapi keilmuan harus dikawinkan dengan kebutuhan. Dikawinkan dengan pandangan dari luar.  Ini nggak gampang. Awalnya, agak sulit menyatukan cara kerja birokrasi dengan LSM.

Mula-mula ada resistensi, tapi kini semua merasakan manfaatnya. Tantangannya berat, tapi relatif baik jalannya. Saya merasa, satu demi satu, masalah selesai. 

 Program Kerja

 Ruang lingkup dan kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu banyak sekali. Bagaimana menentukan skala prioritasnya. Memang kerja kementerian kita ini gila-gilaan ya hahaha (tertawa). Tugasnya, menjamin oksigen bagus, menjamin alam dan lahan untuk pangan. Juga harus menjamin air bagus, menjamin energi oke, menjamin tumbuhan dan tanaman obat, jalan. Karenanya, concern dan atensi kepada lingkungan dan kehutanan itu harus kuat karena ini menjadi aspek penopang kehidupan.

 Dalam dua tahun ini, sudah ada penyiapan. Tentang air, misalnya. Kita identifikasi, ada 334 lokasi sumber air di Jawa, dan 120 di luar Jawa, yang harus dijaga. Itu spring, danau, sungai dan sebagainya. Kami data, sampai kapasitasnya, berapa meter perdetik. Untuk tumbuhan, misalnya, kami identifikasi, untuk pangan antara 24-137 jenis. Untuk obat ada 21-300 lebih jenis. Tapi ya, setelah diidentifikasi, terus mau dibagaimanakan? Ini PR masih banyak. Belum lagi terkait pertambangan. Tambang rakyat, kita sudah identifikasi. Ada 352 spot di lebih dari 110 kabupaten dan kota. Kenapa saya agak telat dan merasa sulit mengurus tambang, karena harus kerja bareng dengan kementerian lain. 

 Dari sekian banyak pekerjaan, mana yang prioritas? Sepertinya penting semua. Pertama, snapshot atau show case-nya kebakaran hutan. Karena itu sudah terjadi belasan tahun, bahkan sampai 17 tahun, sehingga nggak boleh terjadi lagi. Kita sudah dapat cara memadamkan, tapi sistemnya harus dikembangkan dan dibuat lebih bagus, lebih mapan. 

 Kedua, memberi masyarakat akses untuk bisa memanfaatkan hutan, melalui program perhutanan sosial. Data menyebut, lebih dari sepertiga desa di Indonesia, yang miskinnya, ada di tepi atau di dalam hutan. Yang kita pikirkan, rakyat disuruh beresin hutan, tapi masak nggak dapat apa-apa. Kalau kita suruh masyarakat menanam, terus mereka mendapat apa? Makanya, kita kuatkan konsep hutan sosial. Kita serius menyiapkan konsep ini.

 Ketiga, deforestasi, kemerosotan lingkungan. Keempat, perizinan dan sebagainya. Itu bagian paling sensitif dan sudah kita benahi di dua tahun pertama. Penataan perizinan di kawasan-kawasan hutan yang diokupansi oleh konsensi, mulai ditertibkan. Bagian itu, yang disebut Presiden sebagai moratorium. Ada lokasi-lokasi yang nggak boleh dibuka. Misalnya, sebagian hutan yang benar-benar hutan di Papua, Gorontalo, dan beberapa daerah lainnya. Kalau pun dibuka, harus ada konsensi untuk masyarakat. Termasuk untuk masyarakat adat. 

 Kementerian LHK sedang mengembangkan program restorasi ekosistem. Bisa dijelaskan? Itu adalah program kombinasi. Konsep pemberdayaan masyarakat sekaligus bisnis. Sambil berbisnis, tapi alamnya di-restore, dikembalikan. Masyarakat mengambil manfaat dari hutan, tetapi lingkungannya tetap dijaga. Caranya, masyarakat diberi pemahaman manajemen korporasi agar tercipta generating income, profit dan lain-lain. Memang, ada unsur patriotik juga. Sebab, saat menjalankan bisnis restorasi ekosistem, dalam 10-15 tahun pertama mungkin hutannya nggak boleh diapa-apain. Yang bisa diambil terbatas, misalnya hasil hutan madu.

 Program restorasi ekosistem sudah pernah dirintis tahun 2006-2008. Format seperti ini tak ada modelnya di negara lain. Sementara di sini, ada 15 perusahaan dan 550 ribuan hektar, dan 50-an lagi izinnya antri. Program restorasi ekosistem kita perkirakan mencapai 1,6 juta hektar. 

 Ini konfigurasi bisnis baru. Setelah HTI, HPH dan lain-lain, dulunya dianggap “bermusuhan” sama rakyat. Dimana, pada areal tertentu, di dekat areal produksi dibuat rekayasa industri baru. Kita pakai pola koperasi tanaman rakyat. Dikelola korporasi dan diberi manajemen korporat. Ide ini sudah dilaporkan kepada Presiden dan beliau oke. Sekarang ini kita sedang membuat pilot project. Antara lain di Pulang Pisau Kalimantan Tengah.

 Bagaimana kepedulian masyarakat menyangkut kerusakan lingkungan? Isu-isu kritis yang lahir dari masyarakat belakangan ini, apa ya? Ada. Misalnya, persoalan sampah dan sampah plastik. Itu dianggap sudah kritis dan benar-benar kuat di-drive masyarakat. Ada orang whatsaap saya. “Bu Nurbaya, saya mau bikin pengumuman Indonesia darurat sampah.” Nah, saya bilang, diskusikan dulu deh dengan multistakeholder. Jangan minta izin sama saya untuk deklarasi. Kita mesti mendengar dulu dari seluruhnya. Juga terkait limbah sungai dan danau.

 Yang lain lagi, ekowisata. Wacana ini muncul dari masyarakat di sekitar taman-taman nasional, kawasan konservasi dan pelestarian alam. Saya respon, begini deh, kita buat, orientasinya kawasan konservasi tapi menjadi basis pengembangan wilayah. Jadi taman nasional harus dihubungan dengan tujuan pembangunan di daerah itu. Perkiraan saya, setelah ini, dari masyarakat akan muncul penguatan hutan desa. Itu mungkin usulan dari kalangan adat dan desa.

 Ada lagi tentang lahan kritis. Soal ini, penanaman (pohon) itu harus terus menjadi kesadaran bersama. Kalau nggak ada pohon, ya nggak bisa ketolong. Misalnya di Jepara. Setelah ditanami pohon banyak-banyak, kini sudah tumbuh sampai 40 mata air baru. Beberapa tahun lalu, Pak JK menanam pohon di kawasan Cisanti Jawa Barat. Itu masa-masa Pak JK jadi wapres di periode lalu. Nah, ketika saya ke sana lagi, sudah bertambah tiga mata air baru. Jadi, saat ada pohonnya, mata air bisa bertambah.

 Ada Grup Whatsaapan Antar Menteri 

Rapat-rapat Langsung Nyelonong, Nggak Protokoler

 Bagaimana koordinasi antar kementerian? 

Komunikasi kita bagus. Kita kalau rapat dengan menteri lain, ya nyelonong aja. Misalnya, tadi malam, saya dengan Bu Rini (Soemarno). Lalu tadi pagi dengan Ibu Sri Mulyani. Tempo hari sekitar jam 7 pagi, Pak Sofyan (Djalil) tahu-tahu sudah di sini. Atau tiba-tiba Mentan datang ke sini. Atau, saya juga bisa saja muncul di ESDM. Komunikasi relatif oke dan bagus. Nggak pakai protokoler. Ada whatsaapan antar menteri. Misalnya, kalau ada Dirjen yang terlalu keras, nanti menterinya telepon. Bu Nurbaya, tolong Pak Dirjennya jangan galak-galak, misalnya hahaha (tertawa). Atau kalau ada Dirjen salah bicara, saya yang menelpon, eh Pak Dirjennya begini, begitu, dan seterusnya. 

 Bagaimana intensitas komunikasi langsung dengan Presiden? 

Saya setiap bulan membuat laporan dan dilaporkan kepada Presiden. Monitoring (kebakaran hutan) itu kita patroli, lalu difoto. Tiap kali turun atau ada laporan dari lapangan, langsung masuk ke posko sehingga publik dan wartawan langsung tahu. Ini perintah Presiden, kita harus siaga terus sepanjang tahun. Untuk rakyat, ya kita harus siap. Nggak boleh stop. ***

Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Rabu, 9 November 2016.



****

 

 

 

 

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (2)

“Kerjaan Di Laut, Banyak Hengki Pengkinya...”



            Kementerian Perhubungan punya rencana besar, yaitu privatisasi 7 bandara dan 22 pelabuhan, yang selama ini dikelola secara BLU (Badan Layanan Umum) oleh Kemenhub. Selain diserahkan ke BUMN (Angkasa Pura dan Pelindo), ada skema baru mengajak perusahaan asing. 

            Kepada Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Aditya Nugroho, Nur Rochmanuddin dan Randy Tri Kurniawan, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menceritakan program-programnya. Sabtu akhir pekan lalu (22/10), di rumah dinasnya, Budi Karya menyempatkan ngobrol sambil main pingpong, dan pertemuan santai dengan alumni kampusnya, di UGM.

Sudah tiga bulan bertugas sebagai Menteri Perhubungan. Bagian mana yang menjadi fokus perhatian?

Kita concern pada manusia. Sebab, dari manusia itulah kita bisa men-drive kegiatan. Saya memberdayakan semuanya. Mengenali karakter. Dalam 1,5 bulan pertama, saya tidak melakukan perubahan satu posisi pun. Saya biarkan mengalir dulu, sambil melakukan pemotretan. Kalau tiba-tiba dilakukan perombakan, itu berarti justifikasi subjektif. 

Apa yang Anda temukan?

Saya melihat kegiatan di perhubungan itu birokrasi. Secara birokrasi, pintar. Pintar membuat regulasi. Tapiada yang perlu dikoreksi. Bahwa, sebaiknya, kita lebih terbuka. Open mind. Saya sharing dengan teman-teman, mari membuka diri. Birokrasi melayani, tapi juga care terhadap stakeholder, partner. Operator adalah klien utama kita. Kalau ada masalah, bukan harus ditegur, tapi diajak diskusi dan mencari jalan keluar bersama. Kita nggak membuat jarak dengan mereka. Saat rapat, kita duduk, selesaikan masalah bersama-sama. Pada titik tertentu, kita tempatkan satu pola. Kita back to basic menjadi regulator, dan memberi kesempatan lebih luas kepada operator melakukan kegiatannya.

Bagaimana maksudnya, memberi kesempatan luas kepada operator berkegiatan?

Saya mengerti konsepnya dulu. Di-keep beberapa pelabuhan dan bandara, supaya ada tempat untuk rotasi pegawai Perhubungan. Itu memang bisa jadi motivasi. Tapi, objektivitasnya jadi menurun. Terhadap bandara, pelabuhan yang dikelola (pegawai Perhubungan) tidak tegas. Tapi, yang dikelola operator, lebih tegas. Karenanya, kita mau memberikan kesempatan 7 bandara dan 22 pelabuhan dikelola BUMN, atau sebagian di-swastakan.

Bandara mana saja yang akan diserahkan pengelolaannya ke BUMN?

Rencananya, Batam, Belitung, Lampung, Samarinda Baru, Berau, Tarakan dan Sentani akan diserahkan pengelolaannya ke Angkasa Pura. Prosesnya bertahap. Kita fact finding dulu. Katakanlah 1-2 bulan kerjasama, sampai akhirnya bisa digembrengkan ke BUMN.

Ada 235 bandara di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, Angkasa Pura 1 mengelola 13 bandara, Angkasa Pura 2 kelola 13 bandara. BP Batam mengelola satu bandara, dan 28 bandara dikelola Pemda. Sisanya? Sebanyak 180 bandara dikelola Kementerian Perhubungan, dengan sistem BLU (Badan Layanan Umum). Sedangkan, jumlah pelabuhan di Indonesia saat ini 1241. Yang dikelola Pelindo 112 pelabuhan. Sisanya, 1129 diurus Kementerian Perhubungan.

 Pembagian kepemilikannya bagaimana?

Ya, kalau dialih pengelolaan, berarti milik Angkasa Pura. Pemerintah memberikan sebagian modal. Akan ada dua skema. Bisa digembrengkan, dikerjasamakan. Atau yang kedua, privatisasi yang benar-benar di-swastakan. Misalnya, Kualanamu itu spin off. Rencana, bisa sekitar 49 persen sahamnya dijual ke internasional, apakah ke Jerman, Swiss, Perancis. Di Kualanamu, misalnya. Saya hitung-hitung market cap-nya sekitar Rp3 triliunIni tidak termasuk tanah lho. Cuma bangunan plus BOT (Build Operate Transfer) sekitar 30 tahun. Artinya, AP 2 bisa langsung dapat Rp1,5 triliun, dan bisa dipakai untuk membesarkan yang lain. Lalu, kemungkinan Ujung Pandang dan Balikpapan. Kedua wilayah itu, secara ekonomi sudah bagus, dan menjadi ujung tombak pertumbuhan baru. Saya ingatkan, saat proyek masih dibangun, investor kurang begitu eager, karena masih janji. Beda, kalau sudah operasi, investor langsung ada (minat). Size-nya di AP 1 kurang lebih sama. Bisa dapat sekitar Rp3 triliunan juga, dari dua tempat itu (Ujung Pandang dan Balikpapan).

 Dengan mengajak asing, maka akan ada vested interested dari asing untuk menguatkan wilayah itu. Kelak, muncul bali-bali baru, dan tempat-tempat turis lain.

 Ini sepertinya skema baru ya?

Iya. Baru. Malah ini masih di kepala, tapi saya sudah mendapat persetujuan dari Presiden Jokowi dan Bu Rini (Rini Soemarno, Menteri BUMN). Asing boleh masuk, tapi tidak mayoritas. Yang mayoritas tetap Angkasa Pura. Itu catatannya.

 Bandara di Bali & Jakarta bagaimana? Mau diswastakan juga?

Yang itu nggak boleh. Bali dan Jakarta tidak akan di-swastakan. 

 Lombok dan Labuan Bajo bagaimana, Pak? Ada rencana diambil alih oleh Angkasa Pura?

Itu belum komersial. Belum untung. Preferensi saya mengundang asing itu ke sana, seberapa banyak tamu Australia. Tamu kita yang terbanyak di Bali adalah dari Australia. Kalau mereka bisa bergeser, dari Bali ke Lombok, lalu Labuan Bajo. Saat sudah komersial, baru bisa (diberikan ke Angkasa Pura).

 Selain bandara, apakah perlabuhan juga akan di-privatisasi?

Ada 22 pelabuhan akan diambil Pelindo. Swasta juga diberi kesempatanKalo aset negara, tetap harus dijaga, jadi kita mintaPelindo mayoritas. Kalau swasta mau ambil mayoritas ya, silakan bikin baru. Jangan ambil aset pemerintah. Bikin baru misalnya terminal khusus, seperti di Natuna, atau ada beberapa tempat lain. Yang besar, yang sifatnya hub, itu seperti Kuala Tanjung, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Bitung, itu bisa asing. 

 Di urusan perhubungan darat, laut dan udara, mana yang paling rumit persoalannya?

Di laut, paling banyak homeworknya. Kenapa begitu? Ada dua hal. Pertama, laut memberikan dampak ekonomi paling besar, (logistik barang) bisa berton-ton. Yang kedua, banyak hengki pengkinya. Yang nggak-nggak-nya. Dan itu terbukti kan....

 Ada OTT pungli di Kemenhub itu ya...

Jadi, penangkapan itu menunjukkan, bahwa memang di laut banyak masalah dibandingkan direktorat lain. Di laut, izin dan uang banyak sekali, sehingga potensi (pungli) besar. Kalau darat, izin ya paling karoseri. Di udara, izin slot. Tapi sudah online.

 Yang urusan laut, kenapa tidak dibikin online?

Lho, sudah online. Tapi, justru yang canggih itu, sistemnya online tapi tidak dibuat online.

 Maksudnya? Banyak online tapi ya, tidak online. Yang online ini, malah rawan tidak di online-kan. Sekarang saya sedang mencari jalan menyelesaikannya. Memang nggak gampang menemukan cara efektif

 Penerimaan dari laut selama ini menyumbang cukup besar ya?

Incomenya memang paling besar karena kegiatan ekonominya juga besar di lautGCG (good coorporate governance) masih sangat lemah di situ, padahal, duitnya paling banyak. Soal PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dari laut itu ibarat pisau bermata dua. Kalau dikencengin, kita dapat banyak uang. Tapi di sisi lain, kegairahan stakeholder menurun. Ini berdampak, daya saing turun, dan pajak juga menurun. Saya berkesimpulan, beberapa PNBP tidak harus tinggi, sebab kita ingin meng-encourage, agar mereka kerja dulu deh. Ibaratnya, mau motong ayam, atau mau dapat telurnya? Jelas, kita mau dapat telurnya kan.

 Selain dwelling time, PR lain di laut apa ya?

PR saya berikutnya soal kapal ngantri. Ini akan saya selesaikan. Setelah ditemukan masalahnya, saya akan ngomong. Itu kapal yang antri sebenarnya banyak banget. 

Memang, dalihnya kalau sembako atau orang, bisa diduluin. Tapi kan itu bisadimanipulasi. Siapa yang tahu. Nanti saya mau lihat caranya. Yang jelas, saya mau evaluasi antrian pelabuhan

 Primadona angkutan penumpang adalah kereta api. Apakah ada perhatian khusus terhadap kereta api.

Memang, laut menyimpan banyak cerita. Logistik itu laut. Kalau bicara penumpang, primadonanya ya kereta api. Saya take care kereta api, dengan cara lebih lugas. Bagaimana agar kereta bisa mengangkut sebanyak mungkin manusia dan menjangkau banyak tempat.

 Apakah pengurangan anggaran mempersulit target dan program kerja Kementerian?

Anggaran dikurangi bukan masalah besar. Saya mencari jalan dan bisa diselesaikan dengan baik. Contohnya, selama ini kita membeli bus, lalu kita berikan ke Pemda A, B dan C. Padahal, tidak semua Pemda punya kemampuan mengelola, sehingga dampaknya ada yang mangkrak dan terbengkalai. Nah, sekarang saya potong anggaran untuk itu sampai 50 persen. Kapal atau bis yang harusnya keluar 1 tahun, 3 tahun dicicil jadi 10 tahun atau sekian tahun. Saya panjangin. Lalu, saya siapkan skema subsidi. Ada 50 kota, semuanya saya subsidi. Soal ini, saya pikir sendiri, nggak mau diskusi berkepanjangan. 

 Lalu, soal perjalanan dinas. Ada biaya hotel, jalan, dan seterusnya. Sekarang, saya nggak mau lagi buka acara di Bandung, Semarang, Bali, misalnya. Lakukan saja di Jakarta, atau di kantor. 

Yang perjalanan ke luar negeri, ini saya tandatangani sendiri. Saya kurangi jumlah orangnya, waktunya. Masa, mau seminar di Eropa, butuh 10 hari. Itu nggak bener. Pejabat yang ikut, saya hilangin kenek-keneknya. Ibaratnya, ya cukup supirnya. Nggak usah pake kenek. Hahaha (tertawa).

 Bagaimana perhatian Anda mengenai perhubungan udara?

Urusan udara, style-nya saya ubah sedikit. Industri penerbangan kita sedang sakit, jadi akan diberi kesempatan recovery supaya lebih kompetitifapalagi penerbangan menjadi ujung tombak mendatangkan turis. Safety and security tidak boleh dikesampingkan, tapi kita akan checking langsung saja. Kerja sedikit cape, tapi langsung tertuju ke inti-intinya. 

Baik di udara, maupun laut, kita punya masalah, negara kita bukan hub. Sementara tetangga jadi hub. Padahal, hub itu berbanding lurus dengan potensi turism. Bagaimanapun, kita harus membangun diri kita, agar kita bisa jadi hub.

 Dengan hadirnya terminal 3, apakah kita berpotensi jadi hub? Paling tidak menyaingi Singapura dan Malaysia?

Terminal 3 adalah modal kita. Tapi hal lain, kita ini punya potensi banyak sekali membuka jalur penerbangan. Lawan kita semakin sangat kuat. Sehingga saya minta, lima maskapai (Garuda, Citilink, Lion, Sriwijaya, AirAsia), membuka destinasi-destinasi baru. Coba bayangkan, kita sekarang baru punya 35 destinasi, sementara di negara tetangga, bisa sampai 100 destinasi. Ke Srilangka, Mumbai, Maldives, kota-kota di China coba buka. Ini supaya mereka juga ke sini. 

 Kapan Terminal 3 fully operated?

Fully operated menjadi bandara internasional rencananya April 2017. Tetapi, harus menunggu penyelesaian kereta api bandara. Dan itu schedule-nya selesai pertengahan tahun depan. Saya akan menunggu kereta api, kalo memaksakan, saya kuatir itu lalu lintas antaranya repot. Target, sebelum bulan puasa tahun depanlah. 

 Anda termasuk menteri yang banyak blusukan. Fokusnya ke mana saja?

Kerja di balik meja saja tidak cukup. Banyak keputusan saya buat, setelah saya turun ke lapangan, karena jadi tahu realitasnya. Misalnya, di Ilaga, Papua. Saya menteri pertama yang datang ke sana. Runaway-nya cuma 600 meter dan miring. Dulu katanya, nggak bisa dipanjangin karena ujungnya jurang. Ternyata kalau runawaynya dibuat belok bisa.  Lalu di Wamena, saya juga panjangkan runawaynya. Dan beberapa contoh lain.

 Setelah jadi menteri, apakah waktu untuk keluarga banyak berkurang?

Saya selalu pulang ke rumah. Rasanya komunikasi dengan keluarga makin bagusDi rumah, pagi masih sempat olahraga. Pingpong, jalan pagi atau senam ringan. Dalam sepekan, tetap ada libur sehari. Seperti hari ini. Libur, tapi tetap bisa bertemu teman-teman saya. ***

Artikel ini sudah dimuat di edisi khusus Harian Rakyat Merdeka Jumat, 28 Oktober 2016