Kamis, 12 Maret 2015

Apakah Sudah Waktunya Membenci Jokowi?

Apakah sudah waktunya membenci Jokowi? Pertanyaan yang kerap dilontarkan sejumlah Jokowi Lovers. Beberapa kelihatan mulai kecewa, hari-hari terakhir ini.

          Perkembangan ekonomi belakangan ini memang kurang menyenangkan. Ditandai dengan rupiah yang terus loyo. Hari ini bahkan menyentuh ke Rp13.200-an. Ada analis yang memprediksi Rupiah bakal makin letoy. Bisa Rp15.000-an sampai ke penghujung tahun. Ini artinya pengusaha yang punya utang dalam Dolar, menjerit makin keras. Kalau di-rupiahkan, mungkin hitungannya, utang dia naik 30-an persen, hanya dalam waktu 3-4 bulan terakhir.          


ilustrasi by liputan6.com

Pemerintah sendiri “nggak bunyi” alias banyak diamnya. Wapres dan beberapa menteri kalau ditanya, jawabannya santai betul. Pokoknya, kondisi ekonomi Indonesia aman, stabil, terkendali. Pelemahan rupiah karena faktor eksternal, karena ekonomi Amerika lagi membaik. Intinya, Indonesia tak perlu khawatir. Kamis ini, Jokowi komentarnya begini: Gubernur BI tenang, saya juga tenang. Kenyataannya? Bener nggak sih kita tenang. Apa goyangan rupiah ini terasa ke rakyat?

Awal pekan kemarin, sempat ke pasar. Eh, harga beras belum turun beneran. Dan cabe kok makin mahalita. “Ini cabe mahal, karena musim hujan, Bu. Jadi susah panen dan transportasinya,” kata Ibu penjual. Sepertinya, itu jawaban asal bunyi saja. Sayuran impor juga harganya goyang. Wortel Rp3.000 sebiji, jagung Rp4.000 sebuah. Busyet, Tempe kesukaannku juga mihil. Maklum, kedele-nya impor. Lebih tragis lagi, kopi starbuck sudah naik pula harganya.

Pagi ke pasar, siangnya ketemu Diplomat Malaysia. Sambil makan siang di kawasan Senayan, tema perbincangan agak serius. Isu-isu politik Indonesia-Malaysia memang kerap menarik. TKI, mobnas, nasib Jokowi sampai pertanyaan tentang reshuffle kabinet. Hah? Baru 4 bulan, masa sudah ada gosip reshuffle kabinet.

“Kalau itu benar terjadi, saya....,” kata Diplomat ini, sambil tangan kiri mengibas di dahinya. Seperti tanda memberi hormat. Mungkin maksudnya, dia salut pada Jokowi, jika benar-benar berani mengganti sejumlah menteri, di saat pemerintahan baru seumur jagung. Saya dan sahabat yang menemani dia ngobrol pun tertawa liat reaksinya. 

“Kenapa tidak berani? Jokowi sepertinya tipikal pemimpin yang bisa mengambil keputusan ekstrim kalau diperlukan,” jawab saya. Karakter Jokowi khas. Sepertinya, tidak mudah terkesan pada seseorang, tidak mudah memberi pujian dan tidak mudah percaya, bahkan pada orang yang kerap bekerja di sampingnya. “Jadi reshuffle itu sebuah kemungkinan. Saya bakal tidak heran, andaikan menteri yang selama ini dikenal amat dekat dengan Presiden pun bisa saja di-reshuffle,” tambah saya.

Dia makin heran. Tapi, sambil senyum, lalu dia bilang. “Makin ke sini, Saya mulai belong to Jokowi,” ucapnya, campur-campur Bahasa Inggris khas Melayu. Tiap kali ada kawan di negara saya yang mengkritik Jokowi, saya spontan balas. “Saya bilang, tak begitu, tapi... bla.. bla,” katanya sambil tertawa. Dia memuji Jokowi. Tenang tapi menghayutkan. Seperti ketakutan, padahal aksinya bisa mematikan.          

Isu reshuffle memang sempat bergulir sebulan kemarin. Sumbernya tak jelas, tapi cukup ramai. Ada yang bilang, Teuku Umar kurang sreg dengan performa sejumlah menteri, bahkan beberapa ada di lingkaran utama Presiden. Tapi, soal ini tak pernah terkonfirmasi. Puan Maharani malah pernah bilang, “Itu terserah Presiden, nyamannya bagaimana,” kata dia saat suatu kali ditanya reshuffle.          

Selesai ketemu Diplomat Malaysia, obrolan pindah tempat. Tapi, topik pembicaraan rupanya sama saja. Wartawan senior, kawan ngopi paling setia mancing-mancing lagi soal politik. Dia ini termasuk Jokowi Lover. Lawan diskusinya, bos saya, yang kadang jadi SBY Lover. Nah, hari itu, dua-duanya ada di hadapan saya. Seru dah.          

Soal manuver yang terjadi di KPK, Polri, lalu sejumlah partai, terasa bahwa pertarungan memang keras. Musuh politik kekuasaan kini mulai berjatuhan. Satu demi satu. Katagorinya bukan lagi pelan tapi pasti, atau alon-alon asal kelakon. Tapi ini, lari sambil melibas. PPP, PAN, lalu terakhir Golkar, sudah takluk. Prabowo dan Gerindra sudah beberapa kali ketemu Jokowi atau JK. Kini, kejayaan SDA, Hatta dan Ical tinggal sisanya saja. Yang belum merapat ke kubu kekuasaan, hanya SBY dan Demokrat. Hilmi dan PKS.         

“Kawan saya mau melaporkan kasus korupsi, tapi beberapa orang menganjurkan baiknya ke Polisi atau Kejaksaan Agung saja,” kata Bos saya. Soalnya, KPK sekarang sedang landai. Tidak ada pergerakan. “Kalau mau langsung di-follow up, energi besar sedang ada di kepolisian dan kejaksaan,” tambah dia. “Apalagi, kalau kasus itu melibatkan orang musuh kekuasaan, sepertinya Polisi dan Kejaksaan tambah semangat,” celetuk saya. “Benerrrr,” jawab mereka hampir barengan, sambil ngakak.          


Foto by Tribunnews
“Jadi, Mega the real president itu fakta. SBY kini yaaa nothing,” itu kenyataan yang harus diterima, ujar Bosku, miris.      

“Power itu ya kotor. Meskipun pelaksananya bersih, tapi mau tak mau pelaksana harus menggunakan power untuk menghabisi lawan politik. Itu wajar saja,” spontan kawanku mereaksi.          

Jadi, apakah sudah waktunya membenci Jokowi sekarang? Biarpun rupiahnya lagi jungkir balik, ekonomi landai, penegakan hukum kontroversial, tapi pemerintahan ini memperlihatkan satu hal paling penting. Bekerja dan menumbuhkan harapan, optimisme. Berita miring ditimpa dengan planning. Ada pembangunan infrastruktur yang digenjot, pelabuhan, jalur kereta hingga Papua, swasembada pangan dan seterusnya.          

“Selama menteri-menteri di posisi strategis bekerja profesional, itu cukup melegakan dan memberi harapan,” kata kawan saya.Jadi, belum waktunya membenci pemerintahan ini? Tentu terserah Anda, bagaimana menilainya. ***