Selasa, 16 Februari 2016

Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya: "Tukang Bakso, Petani & Kaki Lima, Kami Datangi Agar Jadi Peserta"

Ini adalah salah satu institusi yang penampilan luarnya sederhana, padahal dana yang dikelolannya mencapai 200 triliunan rupiah. BPJS Ketenagakerjaan mendapatkan uang tersebut dari iuran pekerja yang kini mencapai 19 juta orang. Diinvestasikan kemana uang sebesar itu, dan apa keuntungan bagi pekerja? Berikut ini obrolan eksklusif Tim Rakyat Merdeka, yaitu Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Feriolus Nawali dan fotografer .... dengan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G Masassya, pekan lalu. Elvyn didampingi seluruh direksinya, yaitu Amri Yusuf (Direktur Umum dan SDM), Agus Supriyadi (Direktur Perencanaan Strategis dan Teknologi Informasi), Junaedi (Direktur Kepesertaan dan Hubungan Antarlembaga), Achmad Riadi (Direktur Pelayanan dan Pengaduan), Jeffry Haryadi (Direktur Investasi) dan Herdy Trisanto (Direktur Keuangan). 
 
 
Bagaimana hasil kerja BPJS Ketenagakerjaan selama tahun 2015. Apakah mencapai target? Secara ringkas, di tahun 2015, peserta di BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 19.275.000 orang pekerja. Ini lebih tinggi dari target 19,1 juta. Dan kami berhasil mendapatkan iuran sebesar Rp35,9 Triliun, juga lebih tinggi dari target Rp34,3 T. Di 2015 ini, kami menjalankan tugas untuk membayarkan jaminan kepada para pekerja. Total klaim sebesar Rp15,5 Triliun.
 
Di saat ekonomi dunia melambat, kabarnya banyak PKH di Indonesia. Sebenarnya, berapa banyak peserta BPJS yang mengklaim dananya karena di-PHK? Sesuai data kami, dari klaim Rp15,5 Triliun itu, yang di-PHK sebanyak 87.094 orang. Mungkin ini jauh lebih kecil dari yang orang-orang perkirakan
 
Berapa dana yang dikelola oleh BPJS saat ini? Dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan saat ini sebesar Rp206 Triliun, dengan total aset sebesar Rp213 Triliun. Dari dana tersebut, tahun 2015, menghasilkan yield invetasi Rp17,6 Triliun. Di luar itu, kualitatif, kami mulai masuk ke area properti, yaitu membangun 23 ribu rumah untuk pekerja yang tersebar di 9 daerah, bekerjasama dengan berbagai developer. Ini program akan diteruskan, karena BPJS Ketenagakerjaan memberikan atensi untuk menyiapkan rumah bagi peserta. 
 
Bagaimana target di tahun 2016? Kita targetkan jumlah peserta naik menjadi 22,1 juta orang. Ultimate goalnya, bagaimana institusi ini bisa jadi universal coverage, di 2019. Yaitu 45 juta pekerja formal di Indonesia diharapkan terlindungi semua oleh program kami. Dalam roadmap, jumlah 45 juta ini harus tercapai di 2019. Sedangkan di bidang layanan, target jumlah klaim yang dibayarkan 2016, sebesar Rp22 Triliun. Target perolehan iurannya sebesar Rp42T. Dan target dana kelolaan menjadi Rp246 Triliun. Kita berharap, sesuai roadmap lima tahun ke depan, dana kelolaan ini bisa mencapai Rp500 Triliun.

Target lainnya? Saat ini ada perubahan signifikan yang berbeda dengan sebelumnya. Kami menerapkan teknologi dan sistem informasi baru. Sekarang menggunakan perangkat elektronik, pekerja bisa mendaftar via website atau mobile. Proses pencarian informasi lebih mudah, dan seterusnya. Di bidang pelayanan, saat ini ada 121 kantor cabang full, 150 kantor cabang perintis dan 1.115 outlet. Target kami outlet bisa mencapai 10 ribu, setelah kerjasama dengan perbankan. Sehingga nantinya sampai di pelosok-pelosok orang bisa mudah mengakses kami. Di bidang keuangan, kami menerapkan cashless transaction. Seluruh klaim, tidak tunai, tapi langsung diterima di rekening masing-masing. Pembayaran langsung ke account yang sudah disiapkan.

Tantangan terberatnya? Paling berat adalah bagaimana menjadikan seluruh pekerja sektor informal ini menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Untuk menjangkau mereka, tentu dibutuhkan effort yang lebih banyak. Mulai dari sosialiasi, dan seterusnya. Kalau menjangkau pekerja sektor formal, kami datang ke kantor mereka, lalu di-capture 50-100 orang. Sedangkan pekerja sektor informal, harus didatangi satu demi satu. Seperti pedagang bakso, kakilima, petani dan sebagainya. Kami punya rencana untuk meningkatkan coverage terhadap pekerja di sektor yang kami sebut sebagai pekerja bukan penerima upah. 
 
Capaian lain? Tanpa bermaksud membanggakan diri, BPJS Ketenagakerjaan tahun lalu mendapat Recognition Award dari berbagai lembaga jaminan sosial dunia. Dan meraih penghargaan transformation excellence dari Asosiasi Jaminan Sosial Asean atau ASSA (Asean Social Security Association). Hasil survei customer satisfaction index pada 2015 sebesar 90,2 meningkat dari periode sebelumnya 85. Ini menunjukkan bahwa setidaknya kami sudah on the right track untuk mencapai visi BPJS Ketenagakerjaan sebagai bagian dari institusi kelas dunia. Meskipun begitu, masih banyak yang harus dikerjakan. Kami belum sempurna, masih butuh support, saran dan kritikan.
 
Peserta BPJS Ketenagakerjaan meningkat setiap tahun. Apa yang menjadi dorongan mereka bersedia menjadi peserta BPJS. Dukungan regulasi cukup memadai atau ada faktor lain? Kami mengubah pendekatannya. Dari legal driven menjadi need driven. Dulu seolah-olah ikut karena keharusan. Karena syarat undang-undang, sehingga jika tidak ikut, bisa jadi masalah. Tapi, dua tahun terakhir ini, menjadi peserta adalah sebuah kebutuhan. Bagaimana caranya? Kami membuat konsep total benefit. Dengan menjadi peserta, bukan hanya mendapatkan hasil pengembangan yang baik, tapi juga mendapat akses lain, misalnya perumahan. Jadi, ada dua sisi. Pertama, sosialisasi jaminan sosial sebagai kebutuhan. Dan kedua, memberi additional benefit. 

Mengenai RUU Tabungan Perumahan Rakyat yang saat ini sedang diajukan pemerintah ke DPR, Apindo (Asosiasiasi Pengusaha Indonesia) dan Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) menolaknya, karena menganggap iuran untuk perumahan pekerja membebani perusahaan. Bagaimana sikap BPJS Ketenagakerjaan?
 
Kami tidak merespon tentang RUU Taperanya. Itu domain pemerintah dan DPR. Namun jika RUU itu jadi UU Tapera, maka kami usulkan, sebaiknya ada harmonisasi dengan BPJS Ketenagakerjaan, karena aktivitas yang relatif sama, sudah dilakukan melalui program housing benefit untuk pekerja. Akan baik kalau tidak overlap dengan aktivitas kami. Program yang kami lakukan ini pun mengacu kepada Peraturan Pemerintah.
 
Tentang pungutan iuran, ada kesan ketidakadilan. Sebab, kalau sudah jadi peserta, lalu telat bayar kena sanksi pidana. Tapi pekerja yang tidak masuk BPJS hanya sanksi administrasi. 
Kami memang sedang mereview hal ini. Sebagai penyelnggara, kami akan sampaikan masukan untuk menyempurnakan peraturan tersebut, agar tidak menimbulkan perkiraan ketidakadilan. Memang ada intepretasi seperti itu, kenapa yang tidak masuk BPJS tidak didenda, tapi yang tidak membayar penuh malah pidana. Kami sedang melakukan kajian untuk disampaikan kepada regularor yang meninjau atau melakukan penyempurnaan atas aturan tersebut.
 
Apakah ada insentif bagi perusahaan yang patuh, dan apa sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh? Kami melakukan awarding kepada sejumlah perusahaan peserta di berbagai bidang, setahun sekali. Misalnya, award untuk perusahaan yang memenuhi kaidah K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Kami menerapkan ini sebagai stimulus dan motivasi. Sedangkan sanksi bagi perusahaan yang tidak patuh, itu adalah treatment terakhir setelah melalui sosialisasi, surat peringatan, pemeriksaan dan seterusnya.



Dirut Pun Tak Bisa Intervensi Atau Perintahkan Investasi...

Situasi perekonomian dianggap melambat, belum lagi ada tantangan MEA di depan mata. Bagaimana BPJS menyiapkan diri menghadapi hal tersebut?
Pertama, secara langsung, dampak keberadaan MEA kepada BPJS Ketenagakerjaan, relatif tidak terlalu signifikan. Tapi secara tidak langsung, mungkin berpengaruh kepada tingkat persaingan perusahaan. Perusahaan yang jadi peserta diharapkan mampu bersaing dengan negara lain, agar tidak berdampak, misalnya, ada PHK dan seterusnya. Kedua, kalau MEA diterapkan dan ada pekerja-pekerja asing masuk Indonesia, maka mereka eligible, atau boleh masuk jadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sepanjang menetap lebih dari enam bulan. Ketiga, dalam konteks menjalankan jaminan sosial, kami sudah bergabung dengan ASSA, dan dalam proses bekerjasama dengan BPJS Malaysia dan Singapura. Tujuannya, agar bagaimana mereka memberikan perlindungan kepada TKI-TKI kita. Dan juga sebaliknya, kita memberikan perlindungan tenaga kerja mereka di negara kita. Selama ini, TKI kita di luar negeri, belum mendapatkan jaminan sosial. Dampak MEA lainnya, mungkin akan muncul persaingan kerja yang ketat di sektor tertentu. Tapi ini berarti akan membuat kualitas TKI jadi meningkat. Sebab, adanya sertifikasi bagi mereka, atau skillnya dinaikan dan seterusnya. MEA harusnya dilihat secara positif, sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia. 

Saat ini ada 296 ribu perusahaan menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Sebanyak 70 persen katagorinya adalah UKM, sisanya perusahaan besar. Menurut Anda, apakah perusahaan Indonesia didominasi UKM, atau perusahaan besar tidak berminat masuk ke BPJS Ketenagakerjaan?
Ini memang mencerminkan arsitektur tenaga kerja yang berbanding lurus dengan arsitektur dunia usaha Indonesia. Dari 112 juta pekerja Indonesia sekarang, yang formal sekitar 45 juta. Dan dari jumlah itu, mereka terdistribusi kepada beberapa kelompok usaha. Nah, data menunjukkan, 70 persen perusahaan berasal dari UKM, karena arsitektur ekonomi dunia usaha kita memang didominasi UKM. Apakah usaha besar tidak masuk? Faktanya, sebagian besar usaha yang besar sudah bergabung. Karena sudah masuk, maka kami masuk ke segmen di bawahnya, yaitu UKM. Untuk menumbuhkan jumlah kepesertaan di level ini, memang membutuhkan effort dan tantangannya pun besar. Sebab UKM jumlah tenaga kerjanya lebih sedikit ketimbang perusahaan besar. 

Mengenai pengelolaan dana pekerja di BPJS Ketenagakerjaan. Bisakah diceritakan bagaimana instrumen investasinya.
Pengelolaan dana, mengacu kepada regulasi pemerintah dalam UU No 55 Tahun 2015. Secara rigid di situ tercantum, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. 

Direktur Investasi Jeffry Haryadi menambahkan penjelasan mengenai hal ini. 
Dana kelolaan yang dititipkan kepada kami dikelola sesuai dua peraturan pemerintah. Nomor 99 Tahun 2013 dan perubahannya PP Nomor 5 Tahun 2015. Dana yang dikelola harus menghasilkan manfaat yang maksimal. Untuk JHT (Jaminan Hari Tua), minimal, harus sama dengan suku bunga pemerintah, tenor 1 tahun. Jangan sampai iuran yang disetor ini berkurang. Jadi, kami berbeda dengan fund manager. Saat ini, dari dana kelolaan, per 31 Desember 2015, sebanyak 23 persen deposito, Surat Utang 47 persen, saham 21 persen, sisanya reksadana 8 persen dan properti penyertaan 1 persen.  Setiap 3 bulan, instrumen ini di-review. Apakah strategi 3 bulan lalu, masih bisa untuk diterapkan 3 bulan ke depan, 6 bulan atau 9 bulan ke depan? Relevan diteruskan, kalau tidak, dicari cara lain. Selama 2015, yield kami sekitar Rp17 Triliun. Tahun 2016, targetnya yield Rp21 Triliun. Kalaupun ekonomi melambat, ya bukan alasan, tetap harus dicari strateginya, agar investasi tetap tumbuh. 

Apakah BPJS Ketenagakerjaan menggandeng mitra untuk mengelola dana ini?
Secara umum kita mengelola dana sendiri tetapi ada yang kerjasama dengan pihak lain, khususnya untuk instrumen reksadana. Dalam hal ini, dana di pihak ketiga tidak boleh lebih dari 10 persen. Kami punya tiga divisi untuk mengelola itu, dengan jumlah pegawai sekitar 60 orang. Kami serius menjadi inhouse investment manager. Ada divisi yang bergerak di bidang riset, divisi yang bergerak untuk mentransaksikannya di pasar uang dan pasar modal. Juga ada divisi investasi langsung untuk di bidang proprety. Kenapa demikian? Karena usaha ini karakteristiknya beda dengan yang lain. Kita nggak boleh rugi dan harus bisa memberi imbal hasil setidaknya setara dengan deposito pemerintah.

Kenapa memilih investasi property?
Kami tidak bisa lagi hanya bertumpu di pasar uang pasar modal. Masuk ke pasar modal pun ada kriteria. Institusi ini sangat high regulated dan sangat  aware dengan manajemen risiko. Kami hanya boleh beli saham yang kelasnya LQ45, beli obligasi yang kelasnya single A+ dan menyerahkan dana kelolaan kepada pihak yang manajemen asetnya lebih dari Rp1 Triliun. Jadi, ini very very prudent. Saya pun tidak bisa intervensi. Mungkin karena seperti inilah, maka aset bisa tumbuh baik.
 
Ini berarti riset invetasi harus kuat ya?
Ya, kami mengharuskan mereka yang melakukan riset itu punya kompetensi. Disekolahkan. Di sini ada divisi risk manajement. Semua proses investasi harus melalui manajemen resiko. Jadi, Dirut pun tidak bisa perintahkan apapun untuk berinvestasi. 
 
Apakah kalau investasi ini loss, ada sanksi dari pemerintah?
Ya, dirutnya diganti, hahahaha...

Artikel ini telah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Senin, 15 Februari 2016