Rabu, 30 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (7): Obat Tradisional Tapi Diracik Alat Canggih

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.

  Petugas apotik menunjukkan cara meracik obat tradisional. 
(Foto ratnasusilo)


          Semua rumah sakit yang dikunjungi di Guangzhou dan Beijing ada departemen pengobatan tradisionalnya. Henghe Hospital di Beijing menyediakan layanan konsultasi eksklusif. Ruangannya khusus dan diset bagus sekali. Bukan seperti ruangan dokter, tapi mirip layanan priority banking. Bagian pemeriksaan dan farmasinya terpisah dari pengobatan medis modern. 

          Saya dan beberapa jurnalis Indonesia masuk ke ruang pemeriksaan dokter pengobatan tradisional, sampai ke bagian farmasinya. Di Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine, misalnya, area ini amat menarik karena tercium aroma herba yang khas. Di bagian farmasi, ada lemari kayu yang besar sekali dengan ratusan laci. Di tiap laci, tertulis nama herbal tertentu. Selain itu, ada areal racikan resep dan pencampuran obat. Alat-alatnya sangat canggih. 

Pencampuran sudah komputerisasi. Penentuan dosis hingga pengepakan dilakukan otomatis. Meski pun ini pengobatan tradisional, namun pimpinan departemennya tetap seorang dokter, dan farmasinya dipimpin apoteker. Di sini, ahli medis harus punya kemampuannya ganda. Selain jago di bidang ilmu kedokteran modern, juga pintar di bidang pengobatan tradisional.

          Kepala farmasi obat tradisional di rumah sakit tersebut, Dr Luo Yuan Sheng mengatakan, obat yang sudah diolah disesuaikan takarannya dengan obat medis. Dia mengelola lebih dari 300-an jenis obat tradisional. Ada yang dikonsumsi dengan cara direbus, lalu diminum. Atau dalam bentuk bubukan. Ada juga yang dimasukkan melalui selang infus. Obat-obatan ini tak bisa dibeli sembarangan. “Tetap harus pakai resep dokter untuk menentukan dosisnya,” kata Dr Luo.

Ratusan laci berisi herbal dan bahan obat tradisional di Guangzhou Hospital
(Foto ratnasusilo)

Yuho Hospital dan Henghe Hospital di Beijing juga memisahkan bagian pengobatan modern dan tradisional. Suasananya hampir sama. Ada ruang-ruang konsultasi khusus. Dan di bagian farmasinya, terdapat lemari besar yang berisi ratusan laci untuk menyimpan ratusan jenis obat-obat alami. Bukan hanya herbal, tapi juga batu mineral sampai binatang tertentu. 

          Masuk ke ruangan ini, ada meja panjang ukuran sekitar 10 meter, tempat meletakan 40-an nampan berisi berbagai obat tradisional. Areanya juga cukup steril. Ahli obatnya mengenakan pakaian khusus dan penutup kepala. Di bagian peracikan obat, lebih bersih lagi. 

          Petugas di ruangan itu sempat menawari kami untuk cicip salah satu jenis herba. Yaitu daun teratai. Rasanya manis. “Ini biasanya digunakan untuk campuran penetralisir rasa pahit. Obat untuk anak-anak biasanya menggunakan ini,” katanya. Ada juga jenis obat dari bebatuan mineral yang bisa digunakan untuk penyakit batu ginjal. Dan kulit ular yang dikeringkan, untuk menyembuhkan masuk angin. 

Beragam jenis herba dan mineral untuk pengobatan tradisional China di Henghe Hospital, Beijing. (Foto ratnasusilo)

          Untuk meracik obat jadi bubuk, alatnya canggih terkomputerisasi. Begitu dokter menulis resep berisi berbagai bahan, datanya terintegrasi dan masuk ke bagian peracikan obat. Resep dokter dibaca komputer, lalu terhubung ke botol-botol bahan obat yang diminta. Botol itu memiliki chip. Saat di-request, lampunya menyala dan berbunyi. Di ruangan itu, terlihat ada ratusan botol putih berderet-deret. 

          Banyak botol menyala, untuk meracik satu resep. Di mesin khusus, botol itu akan berputar dan jadilah bubuk obat yang halus. Prosesnya sekitar 10 menit. Keluar dari ruang peracikan, obat sudah dipacking rapi. Berbentuk mangkuk-mangkuk kecil dan disegel, ada dosis dan labelnya.

Kita juga diajak melihat ruangan konsultasi. Suasananya nyaman. Terasa rileks dengan wangi aroma terapi. Banyak lukisan istimewa ditempel di dindingnya. Satu lukisan kuda atau pemandangan, misalnya, disusun dari ratusan jenis obat herba dan mineral. 

Bagaimana standarisasi obat-obatan tradisional di China? Apakah ada badan yang mengawasinya? Vice President Henghe Hospital Beijing, John Zhang menceritakan, Pemerintah China sangat mendukung pengembangan obat-obatan tradisional. Karena itu, pengobatan tradisional juga masuk dalam asuransi kesehatan. Pemerintah juga punya lembaga khusus, semacam BPOM di Indonesia, yang tugasnya mengawasi dan mengontrol penggunaan obat tradisional di semua klinik dan rumah sakit di China.

“Pengobatan tradisional amat banyak jenisnya. Penelitian ilmiah mengenai hal ini, terus dilakukan di semua universitas di China,” katanya. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline, edisi 26 Maret 2016. Silakan klik ini:

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/26/240931/Obat-Tradisional-Tapi-Diracik-Alat-Canggih-

Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Rabu, 30 Maret 2016.



 

Senin, 28 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (6): Berkenalan Dengan Dokter Militer & Dokter Xray

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.

 Rumah sakit baru terus bermunculan di Beijing dan kota-kota besar di China. Mereka menawarkan spesialiasi pengobatan dengan kelas beragam. Untuk pasien internasional, rumah-rumah sakit menyiapkan layanan khusus, sampai tingkatan sangat eksklusif. 

          Rumah sakit besar di dataran China jumlahnya mencapai ribuan. Ini diluar rumah sakit umum yang dibangun pemerintah. Di Guangzhou, orang menyebut, “ratusan” jumlahnya.  Dan di Beijing, diperkirakan 200-an rumah sakit telah dibangun.

          Jumat, 12 Maret 2016, rombongan jurnalis Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam pertemuan dengan sekitar 30 rumah sakit terbaik di China, sejumlah pakar dan akademisi kesehatan. Satu demi satu, pimpinan rumah sakit itu memperkenalkan diri dan menceritakan layanan unggulan, serta prestasi terbaik medisnya. Tema besar dari pertemuan itu adalah: Membawa Ilmu Medis China yang Maju kepada Dunia. Fasilitator pada konferensi tersebut adalah NorgenHealth. Sebuah platform layanan medis yang terbesar di China. NorgenHealth sudah puluhan tahun melayani pasien internasional, termasuk dari Indonesia. 

          Dua hal yang paling menarik adalah teknologi pengobatan dengan sel punca dari kedokteran militer China, dan pakar terapi melalui sentuhan tangan, yang dikenal sebagai Dokter X-ray.

Dr Xiaodong Wang (kanan), terlihat serius saat bicara dengan staf dari NorgenHealth.

Salah satu dokter militer yang hadir di konferensi itu adalah Dr Xiaodong Wang. Wanita berbadan tegap ini adalah komandan di General Hospital of Chinese People’s Armed Police Forces. Dr Wang ahli dalam pengobatan celebral palsy. Sepanjang dua tahun terakhir, RS Militer ini sudah mengobati sekitar 8 ribu pasien. Paling banyak menangani kelumpuhan otak, cedera otak dan kemunduran kerja otak. “Pasien lumpuh otak termuda berusia 18 hari,” katanya. 

Di depan audiens, Dr Wang memutarkan sejumlah video. Ada pasien anak kecil yang menjadi korban peluru nyasar. Lumpuh, tapi setelah ditangani, akhirnya bisa berjalan. Ada lagi, pasien pria 51 tahun mengalami sumbatan total di otak sehingga sebagian tubuh tak bisa respon. Setelah terapi stem cell, perlahan tangannya bisa membuka, berjalan, dan jongkok. “Setelah terapi stem cell, ada perbaikan di saraf perasanya. Pasien akhirnya bisa mengontrol gerakan duduk dan memegang tumpuan untuk berjalan,” kata Dr Wang. 

Rumah sakit militer di Beijing, kini terbuka untuk pasien internasional. Siapapun, boleh berobat di rumah sakit tersebut. “Soal biaya, dibanding rumah sakit swasta, di tempat kami lebih murah,” kata Dr Wang.

Dr He Shuhua (Dokter Xray) (berhadapan dengan jilbab biru) dikelilingi jurnalis Indonesia, saat observasi pemijatan tangan.


Figur lain yang menarik yakni, Dokter Xray. Namanya Dr He Shuhua, bisa mendiagnosis penyakit tanpa tes medis. Usianya hampir setengah abad, tapi penampilannya cantik dan segar. Dr He Shuhua hanya memijat telapak tangan, mengamati urat nadi dan menyentuh telinga, dan lima menit kemudian, dia tahu, pasiennya kemungkinan mengalami gangguan apa. Di tengah konferensi, Dr He Shuhua sempat mengobservasi beberapa jurnalis Indonesia. 

Telapak Adi Murtoyo dari Koran Jakarta dipijat-pijat di bagian jarinya. “Anda sering sakit leher dan mengalami gangguan perut,” kata Dr He Shuhua. Adi mengiyakan. Lalu, Amri Husniati, wartawan Jawapos. Beberapa menit dipijat tangan, Dr He Shuhua menebak, pernah sakit punggung. Amri pun heran. Setahun lalu, Amri memang pernah terjatuh, dan tulang punggungnya patah. Wartawan Kompas Atika Walujani penasaran. Dia pun ikutan. Telapaknya ditekan di titik-titik tertentu. Ada bagian yang terasa sakit saat ditekan, tapi ada juga yang tidak. Dr He bilang, kesehatan Atika bagus. “Tapi saya disarankan mengecek kandung kemih,” kata Atika, menirukan Dr He.  Sedangkan wartawan Tempo, Mohammad Taufiqurahman, dengan mudah didiagnosa oleh Dr He Shuhua pernah terkena stroke. “Itu memang benar. Beberapa tahu lalu, saya stroke, tapi sekarang sudah pulih,” ujar Taufiq.

Dr He Shuhua belajar dari keluarganya yang ahli terapi pengobatan khas China. Lalu, dia kombinasikan dengan ilmu kedokteran modern, sehingga keahliannya lengkap. Sehari-hari Dr He Shuhua praktek di Relife International Medical Centre, Beijing.

Bagaimana caranya mengetahui penyakit tanpa pemeriksaan medis? Menurutnya, ada beberapa katagori dasar observasi, yaitu melihat, mendengar, mencium, bertanya dan menyentuh. Pemijatan tangan untuk merasakan sumbatan darah dan nyeri. Sedangkan kesehatan organ dalam, bisa dilihat dari ketidakseimbangan fisik dan emosional pasiennya. 

Observasi juga berguna untuk menentukan jenis terapi tradisional yang akan diberikan. Apakah cocok akupuntur, bekam atau aijui (pengasapan). Juga untuk menentukan ramuan herbal yang tepat dan pengaturan pola makan. Dr He Shuhua juga dikenal sebagai ahli akupuntur, pengobatan infertilitas serta gangguan tulang.

Selain dua rumah sakit ini, masih banyak rumah sakit bagus lainnya. Misal, Beijing Puhua International Hospital and Clinic, pusat neurosurgery terbesar di Beijing. Stem cell dilakukan di rumah sakit tersebut untuk pengobatan masalah di lutut atau pinggul. 

Manajer International Department-nya, Susan Jiang menjelaskan, stem cell dilakukan dengan 'memanen' jaringan lemak dari area perut. Setelah diekstrak, lalu disuntikan ke area yang cidera. Sepanjang tahun 2015, pihaknya sudah menolong 1.200-an pasien yang menderita sakit ini. “Kami pernah menangani bintang Hollywood Chuck Norris, stem cell untuk gangguan di lututnya,” kata Susan.  (Bersambung)

Artikel Ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline. Silakan klik di


http://dunia.rmol.co/read/2016/03/25/240838/Berkenalan-Dengan-Dokter-Militer-&-Dokter-Xray-


Artikel ini juga sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka, edisi Selasa 29 Maret 2016.


Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (5): Operasi Cangkok 400 Kali Setahun Di Lu Daopei Hospital

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.


          Di sini, kita masih jarang mendengar operasi transplantasi atau cangkok sumsum tulang belakang. Selain butuh teknologi yang amat modern dan biaya mahal, belum banyak dokter ahlinya. Di China, operasi ini tergolong biasa. Lu Daopei Hematology Oncology Center melakukan cangkok sumsum tulang belakang 40 kali sebulan. Itu baru satu rumah sakit. Belum yang lainnya. “Pasien antri sampai 3 bulan untuk melakukan ini,” kata Dr Chuenrong Tong, Director of General Hematology and Immunotherapy. Dia mengajak kita berkeliling melihat seluruh bagian rumah sakit. Mulai dari areal resepsionis sampai ke ruang-ruang perawatan, dan kamar khusus operasi yang amat steril atau laminar room. Suasananya amat tenang, dan sama sekali tak ada kesibukan layaknya rumah sakit di Indonesia. “Apakah ada pasien yang dirawat di sini?” tanya saya, penasaran. Sebab rumah sakit kelihatan sepi. “Tentu saja. Semua kamar perawatannya penuh,” jawab Dr Chuenrong.

Prof Lu Daopei (Bapak Transplantasi Sumsum Tulang di Asia) bersama putrinya, Dr Peihua Lu (foto by: ratnasusilo)

Pendiri Lu Daopei Hospital, yaitu Prof Lu Daopei, dikenal sebagai Bapak Transplantasi Sumsum Tulang di Asia. Masih hidup, dan kini berusia 85 tahun. Bahkan, Prof Lu terlihat segar saat menemui rombongan wartawan Indonesia.

Prof Lu melakukan transplantasi ini sudah ribuan kali, sejak 52 tahun yang lalu. Pasien pertamanya, wanita 22 tahun, menderita anemia aplastik, yaitu kondisi sumsum tulang belakang berhenti memproduksi darah baru. Tahun 1964 wanita itu menjalani cangkok dari sumsum tulang belakang saudara kembarnya. Sampai saat ini masih hidup, telah berusia 74 tahun, dan sehat.  Ini termasuk salah satu operasi cangkok sumsum tulang belakang paling sukses di dunia. Prof Lu bahkan menunjukkan fotonya bersama wanita itu, saat terakhir bertemu, dua tahun yang lalu. 

Menurut Dr Chuenrong Tong, Prof Lu sangat genius. Sifatnya selalu penasaran dan senang berpikir. Dia tak mudah mempercayai sesuatu, sebelum membuktikan sendiri. Di usia 40 tahun, Prof Lu dan putranya membedah kodok sawah, lalu diambil racunnya dan diteliti. Dia ingin tahu, apakah benar anggapan orang bahwa jika kodok mengenai mata bisa menyebabkan gangguan penglihatan. 

Prof Lu juga ahli mengkombinasikan obat, antara resep modern dengan herbal, pengobatan tradisional khas China. Kakek dan buyut Prof Lu adalah ahli-ahli TCM (Tradisional China Medicine) yang sangat diakui di China. Kini, keluarga Lu dan lima generasinya, termasyur di China, sebagai ahli-ahli medis yang hebat.

Ada jenis kanker darah yang bisa diobati tanpa cangkok sumsum tulang belakang. Yaitu Acute Promyelocytic Leukemia (APL) dengan pengobatan sejenis arsenik. Menurut Prof Lu, sejak 2.000 tahun lalu, arsenik dalam jenis dan dosis tertentu telah digunakan oleh orang-orang China sebagai obat. Arsenik sulfida dikombinasikan dengan obat-obat tertentu, hasilnya sangat baik untuk kanker darah. Dia mengambil sendiri arsenik dari sebuah pertambangan di China, dan menelitinya. 

Di masa lalu, tidak mudah melakukan prosedur medis yang baru. “Political pressure dan beban tanggungjawab medis sangat tinggi, saat itu,” kata Prof Lu. Karenanya, sebelum diterapkan pada pasien, sebuah prosedur medis harus diteliti berulang-ulang. Selain itu, dibutuhkan kepercayaan diri yang tinggi untuk bisa meyakinkan pasien akan keberhasilannya.

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti yang rusak karena kanker. Sumsum bisa diambil dari tulang pasien yang sehat, atau dari orang lain, yang masih ada hubungan kekerabatan. Tim yang dipimpin Prof Lu Daopei, saat ini menduduki peringkat ketiga di dunia, dengan tingkat keberhasilan mencapai 80 persen.

          Putri Prof Lu, yaitu Dr Peihua Lu, saat ini menjabat sebagai Director and Specialist in Lymphoma and Myeloma, menjadi penerus jejaknya. Peihua atau disapa Peggy, adalah dokter ahli lulusan Stanford University, USA. Dia menyebut ada tiga pasien Indonesia yang ditangani rumah sakitnya baru-baru ini. Dua diantaranya sudah pulang, dan seorang lagi masih dalam perawatan. 

          Menurut Peggy, Lu Daopei adalah pelopor imunoterapi untuk kanker darah, dan tempat berkumpulnya banyak ahli dalam dan luar negeri dalam bidang hematologi. Setiap tahunnya, melakukan hampir 400 kasus transplantasi, dan 70 persennya dengan tingkat kesulitan tinggi. 

Resepsionis di RS Lu Daopei, Beijing (foto by: norgenhealth)

          Di Indonesia, untuk penderita leukemia atau kanker darah lainnya, dan membutuhkan pengobatan lebih serius di China, bisa dibantu melalui NorgenHealth. Ini adalah platform layanan pertama dan terbaik di China. Bisa diakses melalui websitenya di www.norgenhealth.com, dan menyediakan berbagai jenis layanan. Mulai dari jasa konsultasi, pemilihan rumah sakit, sampai penjemputan dan pendampingan selama pengobatan di China. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline. Silakan klik

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/24/240690/Operasi-Cangkok-400-Kali-Setahun-Di-Lu-Daopei-Hospital-


Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Senin, 28 Maret 2016, Halaman 13




Sabtu, 26 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (4): Operasi Kanker Dengan Luka Selubang Jarum

China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya

          Kanker adalah pembunuh nomor satu di dunia. Data WHO menunjukkan, lebih 20 juta orang terkena kanker setiap tahun, dan 13 juta diantaranya berakhir kematian. Di Beijing, kami mengunjungi dua rumah sakit kelas high-end yang memberikan layanan international, spesialis pengobatan kanker. Mirip priority banking di urusan perbankan. Yaitu di Beijing Yuho Rehabilitation Hospital dan Henghe Hospital. Dua rumah sakit ini menggabungkan metoda pengobatan barat yang modern, dengan tradisional khas China. 

Presiden Yuho, Li Ning, lulusan kedokteran di Amerika menceritakan, di rumah sakitnya, bergabung banyak ahli senior pengobatan kanker dengan penghargaan tertinggi di China. Prof Qinjia Zhang, Prof Qiang Sun, Prof Hanyuan Huang dan Prof Xiang Wang. Mereka kerjasama dengan berbagai ahli kanker lain di Amerika, mengembangan pengobatan sebisa mungkin tanpa operasi. Atau luka yang kecil, minimal invasif.

Tahun lalu ada pasien kanker payudara. Telah dikemoterapi selama enam bulan di Amerika, sampai rambutnya rontok habis. Dan divonis usianya tidak lama. “Orang-orang yang mengelilinginya hanya bisa menghibur dia. Itu pun ada batasnya,” kata Li Ning. Lalu ditangani di Yuho dan diberi pengobatan gabungan barat-timur. Hasilnya, kini pasien itu menemukan kembali kehidupannya.  

Yuho juga pernah menangani kanker ovarium pada wanita 25 tahun, yang sangat ingin punya anak. Dengan pengobatan khusus, alat reproduksi pasien bisa diobati. “Ini amat sulit, tapi kami berkomitmen menjaga kehidupan generasi berikutnya untuk pasien tersebut,” katanya. 

Berkeliling di Yuho, tidak seperti masuk rumah sakit. Tamannya cukup luas dan hijau, dan kamar-kamar perawatan mirip hotel. Tak terasa kesibukan rumah sakit layaknya di Indonesia. Nyaman, asri dan tenang. 

Selain pusat pengobatan kanker, Yuho juga dikenal sebagai rumah sakit rehabilitasi. Ada areal khusus hydroterapy dengan kolam air yang ketinggiannya bisa distel, juga suhu dan efek bubble untuk terapi pasien dengan penanganan khusus.

Yuho juga punya sejumlah teknik terapi yang unik. Misalnya, terapi garam mineral Ukraina. Fungsinya untuk pengobatan asma dan penyakit saluran nafas. Sekali terapi, biayanya sekitar 400 Yuan atau Rp800 ribu. Ruangannya didesain khusus. Garam mineral itu menempel di seluruh dinding, plafon hingga lantainya. Warna hijau keunguan efek cahaya buatan. Menggantung dan tumbuh, seperti stalakmit stalaktit di gua-gua. 

Tiga wartawan Indonesia sempat diberi perawatan terapi selama hampir satu jam di Yuho. Taufiqurohman dari Tempo diberi terapi kerikan menggunakan batu tipis. Apa mirip dengan kerokan masuk angin di Indonesia? Kata Taufiq, hampir sama. Badan dibalur dengan minyak aroma terapi, lalu kerikan dimulai dari leher, punggung, sampai kepala. Kulit memang kemerahan. Tapi badan, kata Taufiq, terasa lebih enteng. 

Sedangkan Tejo Asmoro dari TVOne, dapat terapi bekam ala China. Dengan tusukan jarum dan mengeluarkan darahnya yang kotor di bagian punggung. “Sakit nggak?” Tejo bilang tidak. Selama ini, dia sudah biasa dibekam. Seorang lagi, Adi Murtoyo dari Koran Jakarta, mendapat pengobatan akupunktur di tangannya. 

Di Henghe Hospital, beda lagi. Ini adalah rumah sakit swasta terbesar di Beijing, tempat merawat pimpinan dan pejabat-pejabat tinggi di China. Henghe bekerjasama dengan dokter-dokter kelas dunia di Royal Free Hospital, Cancer Center of Oxford University dan Harvard Medical School. Semua dokter-dokter terbaik di negara itu, bisa dipanggil ke rumah sakit ini. Jam terbang dokternya ratusan ribu, atau rata-rata 10 ribu pasien diobati pertahun oleh tiap dokternya. 

          Ini rumah sakit dengan luas mencapai 70 ribu meter persegi. Spesialisasinya pengobatan kanker dengan imunoterapi, dan teknik stem cell (sel punca). Di Indonesia belum populer, tapi China kini dianggap sebagai negara yang pengembangan sel punca-nya paling maju di Asia Tenggara. 

          Di Henghe Hospital, kita berkeliling menyaksikan kecanggihan alat-alat kedokteran modern. Banyak kamar khusus disiapkan untuk pasien internasional. Menurut mereka, biaya pengobatan di situ, lebih murah dari biaya yang ditawarkan oleh negeri tetangga dekat Indonesia. 

          Dua rumah sakit ini masuk katagori 3A, level tertinggi kelas rumah sakit di China. Selain Yuho dan Henghe, masih ada puluhan rumah sakit lain yang direkomendasi oleh NorgenHealth, platform layanan medis yang ternama di China. NorgenHealth bisa diakses melalui websitenya di www.norgenhealth.com dan ada pilihan menggunakan bahasa Indonesia, agar lebih mudah dipahami oleh orang-orang Indonesia yang ingin berobat ke China. 

Prof Liu Chen, Kepala Interventional Imaging Center dari The international medical center of Beijing Cancer Hospital, tiap tahun melakukan ribuan operasi kanker. Diantaranya dengan biopsi jarum pada bagian sulit, di modul mikro paru-paru, kelenjar bening, organ dalam jauh di perut dan lainnya.  Metode ini sangat singkat, luka dan komplikasinya kecil, sehingga pemulihan cepat. Bahkan lukanya hanya selubang jarum saja. Teknik biopsi jarum juga digunakan untuk memastikan apakah itu kanker atau bukan. Lalu, penggunaan transplantasi partikel dan ablasi radiofrekuensi (microwave thermal ablation) yang minimal invasif, untuk pengobatan. Bukan lagi sekedar kemoterapi. Tapi, obat diinjeksikan langsung ke kanker, sehingga hasilnya lebih maksimal, dan organ lain terlindungi. (Bersambung)

a.     Petugas laboratorium di Henghe Hospital (Foto by Ratnasusilo)

b.     Yuho Hospital di Beijing (Foto by Norgenhealth.com)

c.      Henghe Hospital di Beijing (Foto by HengheHospital)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline  23 Maret 2016. Silakan klik: http://ekbis.rmol.co/read/2016/03/23/240532/Operasi-Kanker-Dengan-Luka-Selubang-Jarum-


Artikel ini juga sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Minggu, 27 Maret 2016




Jumat, 25 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (3): Naik KA Cepat China, Serasa Argo Kecepatan Ferrari

China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya

 

Suasana di Stasiun Kereta Cepat CRH (China Railway High-speed), di Beijing. Foto by RadianSukma/Detikcom


Dua hari di Guangzhou, rombongan beranjak ke Beijing. Kami menggunakan jalur darat dengan Kereta Cepat China yang disebut CRH (China Railway High-speed). Senang sekali bisa mencobanya, karena di Indonesia, orang sedang ramai membicarakan kereta ini.

Kami naik kereta cepat bersama tim dari NorgenHealth. NorgenHealth adalah platform layanan medis pertama dan terbesar di China. Lembaga ini banyak membantu orang-orang Indonesia yang ingin berobat ke China. NorgenHealth mengurus lengkap. Mulai dari konsultasi medis, mencari pengobatan, dokter dan rumah sakit yang cocok, sampai layanan pasca pengobatan. Juga mengurus visa dan mengatur akomodasi kerabat yang mendampingi. Bahkan hingga layanan wisata selama berada di China. Di Beijing, rencananya kami akan berkunjung ke sejumlah rumah sakit.

Kembali ke kereta cepat. Harga tiketnya 862 RMB atau Rp1,7 juta perorang. Itu untuk second class. Untuk first class 1200 RMB dan business class 2700 RMB. Mahal? Ngga juga sih. Jarak Guangzhou-Beijing itu jauh sekali. Sekitar 2.200 kilometer, atau tiga kalinya Jakarta-Surabaya (690-an kilometer). Waktu tempuh 8 jam. Berangkat dan kedatangannya, benar-benar tepat waktu. Tak lebih tak kurang, semenit pun. Kalau memilih kereta api biasa, jarak sejauh itu membutuhkan 24 jam. Tiket CRH bisa dipesan online sampai 60 hari sebelum keberangkatan. Hari itu, kita memilih jadwal pagi.

Stasiun kereta api dalamnya mirip airport ya. Cukup bersih dan rapi 
(Foto: ratnasusilo)

Suasana di stasiun cukup tertib, rapi dan bersih. Padahal antrian padat. Penumpang seliweran, ribuan jumlahnya. Papan penunjuk informasi ukurannya besar dan menyala dimana-mana. Serasa mirip suasana airport. Kami naik dari Stasiun Selatan, stasiun terbesar di Guangzhou. Pemeriksaan tiap penumpang sangat detail. Meskipun sudah masuk xray, semua koper dan tas dibuka lagi oleh petugas, lalu diperiksa teliti, hingga ke bagian dalamnya. “Ini baju dalamku di tas ikut diperiksa juga,” kata Amri Husniati, wartawati JawaPos yang gabung di rombongan ini, sambil ketawa. 

Pemeriksaan koper penumpang sebelum masuk boarding room. (Foto: ratnasusilo)

Perjalanan menyenangkan. Tiap kali melewati terowongan, rasanya seru. Rupanya pembuatan jalur kereta cepat ini melubangi banyak bukit dan gunung. Ada yang terowongannya terasa panjaaaang sekali. Lalu yang sangat sangat pendek juga banyak. Bahkan, ada yang dilalui tak sampai dua detik. Ya, itungannya detik, karena kecepatan kereta ini sampai 300-an km perjam. Seberapa cepat kereta lari, bisa terlihat dari angka-angka yang ditampilkan papan monitor, persis di atas pintu kaca, pembatas antar gerbong. Angkanya menyala merah. 

Membutuhkan sekitar 10-15 menit dari kecepatan awal saat start, lalu terus naik ke 200 km perjam, 250 km perjam, hingga akhirnya stabil di 300-an km per jam. Sesekali menyentuh 305 km perjam. Suara gesekan rel terdengar tapi tidak keras. Ini mungkin menyamai kecepatan mobil balap Ferrari di sirkuit. Kereta terasa melesat. Wuzzzz. Tapi, kita masih bisa menikmati pemandangan yang jelas, di balik jendela. 

Saat menyentuh kecepatan maksimalnya itu, posisi kereta sudah berada di pinggiran kota. Terlihat dari pemandangannya yang berubah. Mulanya, melihat gedung-gedung tinggi, cerobong industri, lalu jadi pegunungan, pepohonan hijau, perkebunan, pedesaan dan hutan. Pagi itu kabut terus menyelimuti jalur di sepanjang perjalanan. 

Komposisi duduk di kelas ini 3 kursi di lajur kanan, dan 2 kursi di lajur kiri. Jadi, sebaris ada lima kursi. Saya hitung, ada 15-an baris dalam satu gerbong. Dan jumlah gerbong hari itu, ada 9. Jadi, sekitar 1200-an orang bisa sekali angkut di kereta cepat ini. Kalau musim liburan, gerbong kereta bisa ditambah. Tergantung padatnya penumpang. Ujung gerbongnya berbentuk peluru. Mirip sih dengan penampakan Kereta Shinkansen Jepang, atau TGV di Paris. Di China disebutnya Gao Tie.

Sama seperti orang Indonesia, orang China juga rupanya gemar bawa banyak barang saat bepergian. Kardusan, koper dan makanan. Tempat koper di kabin pun penuh berjejalan. Juga memadati tempat koper di lemari extra yang disediakan di antara pintu pembatas antar-gerbong. Sebagian koper terpaksa ditaruh di lorong antar-kursi. 

Suasana di second class, serasa naik kereta Argo-nya milik PT KAI. Menurut Alfio Aprilio, guide perjalanan dari NorgenHealth, tempat duduk di first class lebih lega. Bahkan, di kelas bisnis, tempat duduk bisa diposisikan jadi tempat tidur.

Selama delapan jam perjalanan, penumpang disuguhi tontotan berita dari layar televisi yang jumlahnya dua buah dan ditanam di langit-langit kereta. Layarnya bisa dua muka, depan belakang. Banyak penumpang mengusir rasa bosan dengan menonton film dari laptopnya. Layanan makan, ada restorasi kereta atau pramugari yang mondar mandir menawari makanan. Beli mie atau nasi ayam sekitar 45-60-an RMB. Wartawati Antara, Desi Purnama menaburi abon cabe dari Indonesia. Lumayan, mie jadi berasa pedas gurihnya.

Makin ke pinggiran, jumlah terowongan makin banyak. Belum seperempat perjalanan, sudah lebih 50-an yang terhitung. Di terowongan ke 56, saya tertidur. Saat bangun, entah sudah berapa terowongan terlewati. Sampai Beijing, mungkin jumlah terowongannya ratusan.


Toilet bersih. Ukuran cukup lega

Toilet? Bagus dan cukup bersih. Ukurannya lebih besar sedikit dari toilet pesawat terbang. Pembuangan disedot dengan sedikit air. Wangi, dan ada tisu yang selalu terisi penuh. Petugas kebersihannya mengepel lorong-lorong kereta api nyaris tiap jam. Dan setiap saat, ada petugas lain yang bolak balik mengecek dan mengambili sampah yang berserakan. Petugasnya berani. Kalau kelihatan ada bungkus makanan di meja lipat langsung dibersihkan. Meskipun isinya belum habis, dia tak peduli. Pokoknya harus bersih. 

Dispenser untuk penumpang kereta.

Yang unik, kereta menyiapkan dispenser air minum. Gratis. Banyak penumpang yang membawa botol air kosong dan diisi di situ. Sampai di Beijing, pukul 18.00 on time. Keluar dari stasiun, suasananya amat sibuk. Aroma metropolitan pun terasa. Welcome to Beijing. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di Rakyat Merdeka Online, Selasa 22 Maret 2016 http://dunia.rmol.co/read/2016/03/22/240396/Naik-KA-Cepat-China,-Serasa-Argo-Kecepatan-Ferrari-

Artikel ini juga sudah dimut di Harian Rakyat Merdeka, Sabtu (26/3/2016)




Selasa, 22 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (2) : Ini Testimoni Relawan Jokowi Yang Lambungnya Dipotong

 China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.


Sihol Manullang dijenguk oleh Prof Wu Liang Ping, setelah dua hari menjalani operasi gastric bypass untuk menyembuhkan diabetes.
 (Foto by ratnasus)


Ada tiga pasien penderita diabetes dan obesitas dari Indonesia yang ditangani Prof Wu Liang Pingdi Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine. Saat dijenguk, kondisi ketiganya telah membaik. Bahkan salah satunya, Sihol Manullang, sudah bisa turun dari ranjang dan berjalan pelan-pelan. Sihol Manullang selama ini dikenal sebagai Ketua Barisan Relawan Jokowi Presiden-2014 atau disebut Bara JP. Saat itu, hari kedua pasca operasi, Sihol malah ikut menyaksikan “live” bedah lambung yang dilakukan Prof Wu, terhadap pasien lainnya. Sejumlah pasien yang pernah, dan akan menjalani operasi yang sama juga hadir. 

          Sihol sempat menunjukkan luka operasi, kepada 11 wartawan Indonesia, yang berkunjung ke kamarnya. Ada 4 titik berbalut perban di areal perut. Salah satunya, terlihat sebuah selang kateter keluar mengalirkan darah-darah sisa operasi dari tubuhnya. Di tangan kiri Sihol, ada jarum infus mengalirkan cairan dari tiga tabung obat. Warna putih susu, dua lainnya bening. 

          Sihol juga dijenguk oleh tim dari NorgenHealth, platform layanan medis taraf internasional yang pertama dan terbesar di China.Norgenhealth inilah yang membantu Sihol dan pasien lain dari Indonesia berobat di sana. Dari mulai konsultasi, memilihkan rumah sakit dan metoda pengobatan yang cocok, sampai pengurusan visa dan akomodasi untuk kerabat yang mendampinginya di Guangzhou.

          Sihol sudah lama mendengar kehebatan dokter-dokter di China. Tapi, awalnya dia tidak mengerti, bagaimana caranya berobat ke sana. “Saya mengetahui NorgenHealth melalui internet dan mencobanya,” papar Sihol. Ternyata, layanannya amat nyaman, bersahabat dan lancar di rumah sakit. “Bahkan perawatnya di sini, sangat ramah-ramah,” katanya. 

          Sihol menderita diabetes selama 14 tahun. Gula darahnya pernah mencapai 560 hingga badannya drop. Berbagai pengobatan dilakukan. Sampai ke negeri tetangga, tapi merasa kurang cocok dan diabetesnya tak kunjung membaik. Akhirnya, Sihol memutuskan operasi, karena lelah minum obat dan kuatir dengan efek buruk diabetes. 

          Prof Wu menceritakan, lambung Sihol Manullang dipotong, dari volume normal 400 ml, tinggal 50 ml. Dalam keadaan normal, lambung amat elastis dan bisa melar hingga 1000 ml. Sedangkan lambung yang telah dipotong, dalam enam bulan bisa mencapai kapasitas 100 ml. Kemarin, Rakyat Merdeka sempat mengontak Sihol Manullang, yang sudah berada di Jakarta. “Saya sekarang sudah kembali aktivitas seperti biasa,” katanya.



Hendra Gunawan, penderita obesitas, bersiap pulang ke Indonesia, seusai menjalani operasi sleeve gastrectomy. (Foto by NorgenHealth)

          Pasien lainnya Hendra Gunawan dari Katapang (Kalimantan Barat), pengusaha swasta berusia 36 tahun. Tubuhnya gemuk, 142 kilogram dan Body Mass Index mencapai 46. “Saya suka sekali makan. Semua makanan enak,” katanya sambil tertawa. Hendra memutuskan operasi karena dietnya sering gagal. Segala jenis pengobatan sudah pernah dicoba. Tapi berat badannya susah turun. Saat dikunjungi, Hendra sudah empat hari keluar dari ruang operasi. Kondisinya terlihat segar. Dia berharap, tak lama lagi, tubuhnya jadi lebih sehat dan langsing. “Sekarang badan terasa mulai ringan,” kata dia. Hari itu, Hendra mengonsumsi makanan cair. Dua hari sebelumnya, asupan makanan hanya dari cairan infus. 

Sedangkan Tapian Manullang berasal dari Jakarta. BMI-nya sekitar 26. Postur tidak terlalu gemuk, usia 40 tahun dan tujuh tahun menderita diabetes. Matanya sering rabun, dan kondisi badan sering lemas. 

Menurut Prof Wu, setelah operasi, gula darah akan berangsur-angsur turun, dan tubuh jadi lebih fit. Hari itu, kondisi ketiganya cukup bagus dan dibutuhkan sekitar sepekan pemulihan di rumah sakit. Pasien akan pulih total setelah tiga-empat bulan. Dampak dari operasi gastric bypass (pemotongan lambung) atau sleeve gastrectomy (pengecilan lambung) bukan hanya menyembuhkan diabetes dan obesitas. Namun lebih dari itu, juga mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.

Saat di Beijing, saya sempat bertemu dengan pasien yang baru delapan hari operasi gastric bypass di Asia Pro Bariatric & Metabolic International Surgery Centre. Pria ini mukanya kelihatan segar, meskipun badannya gemuk. Tapi, dia mengaku sangat sehat. Di meja buffet makanan, saya sengaja berdiri di sampingnya. Ingin melihat cara dia makan. Rupanya dia tahu sedang diperhatikan. “Saat ini saya masih makan sup sampai 45 hari setelah operasi,” katanya. Tapi, dia tak merasa lapar.

“Saya tak bisa membayangkan, bagaimana caranya mengelak dari makanan enak,” respon saya, sambil tertawa. Dia menjawab ngakak. “Wah, dulu saya juga sulit mengelak makanan enak. Lapar mata. Tapi, sekarang saya sudah bisa menahan diri.”

Tahu kami ngobrol, Dr Vijayray D Gohil, yang mengoperasi pasien itu, ikut gabung. Dia bilang, setelah 45 hari, sudah boleh makan bubur dan yang halus-halus. Lalu, 4-5 bulan kemudian, pasien boleh makan apa saja. Porsinya otomatis sedikit, karena kapasitas lambung sudah mengecil, sehingga terasa cepat kenyang.

Saya juga sempat tanya Prof Wu soal ini. “Setelah menjalani operasi, aktivitas makan harus dianggap sebagai pekerjaan yang serius,” katanya. Itu berarti, menguyah makanan harus pelan-pelan. Menikmati dengan detail, sampai ke gigitan terakhirnya. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline, Senin 21 Maret 2016. Silakan klik link ini:

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/21/240220/Ini-Testimoni-Relawan-Jokowi-Yang-Lambungnya-Dipotong

Artikel ini juga sudah dimuat di HarianRakyatMerdeka, edisi Rabu 23 Maret 2016

 


Minggu, 20 Maret 2016

Wisata Medis Ke Negeri Tirai Bambu (1): Menyaksikan “Live” Bedah Lambung Secanggih Amerika

China sudah jadi destinasi medis yang mendunia. Selama enam hari (8 sd 14 Maret 2016) wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, menuju Guangzhou dan Beijing, mengunjungi beberapa rumah sakit untuk melihat kecanggihan pengobatan, perpaduan barat-timur. Teknologi kedokteran modern dipadu metode tradisional khas China. Berikut ini laporannya.

Foto 1.  Prof Wu Liang Ping, memberikan keterangan setelah melakukan operasi gastric bypass di Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine (Foto by ratnasusilo)        

  Ini pertama kalinya saya menyaksikan operasi pembedahan di perut secara live. Di China, prosedur gastric bypass (bypass lambung) untuk pasien diabetes type 2, dan sleeve gastrectomy (pengecilan lambung) untuk pasien obesitas, makin sering dilakukan. Sepuluh tahun lalu, teknik seperti ini berkembang di Amerika. Kini, China tak kalah hebat. Sudah banyak dokter di sana melakukan operasi ini. Salah satu dokter senior yang amat dihormati, Prof Wu Liang Ping dari Jinshazhou Hospital of Guangzhou University of Chinese Medicine, melakukan operasi ini pertama kali tahun 2008. Dan kini, total pasien yang telah dioperasi olehnya mencapai 500-an orang. Prof Wu berkarir di kedokteran selama 20 tahun. Telah melakukan lebih dari 3000 jenis operasi laparoskopi, dan pelopor bedah metabolik. Telah menerbitkan lebih dari 40 jurnal kedokteran.

          Dari layar lebar yang dipasang di ruangan tertutup, saya dan sejumlah wartawan dari Indonesia, menyaksikan dengan jelas, proses operasi secara laparoskopi. Jenis bedah minimal invasif. Luka di luar sangat sedikit, sehingga sembuhnya lebih cepat. Ada empat titik di perut pasien dilubangi kecil, untuk memasukkan alat seperti selang kaku. Ujung selang itu berkamera, sehingga dokter bisa melihat jelas seluruh bagian dalam perut pasien melalui layar monitor. Lalu, tiga titik lainnya, untuk selang dan kateter yang memasok berbagai macam alat medis. Mulai dari pemisah lemak, alat pemotong, hingga alat jahit. 

          Prosesnya sekitar 40 menit sampai satu jam. Prof Wu terlihat amat terampil mengerjakan seluruh rangkaian operasi itu. Alatnya canggih. Begitu lambung terbelah dua, otomatis pinggirannya rapi dan rapat. Seperti memasang retsleting di baju. Dibantu 2 asisten dokter dan 8 perawat, tangan Prof Wu, lincah menggerakan jarum berbentuk huruf C, saat menjahit bagian lambung. “Ini mungkin karena kami terbiasa menggunakan sumpit, sehingga mengerjakan hal-hal detail seperti ini pun tidak sulit,” kata rekan Prof Wu, yang ikut mendampingi kami menyaksikan operasi ini. 

          Pasien saat itu adalah lelaki, usia 35 tahun dan menderita kegemukan. Berat badannya sekitar 120 kilogram, diabetes dan darah tinggi. Setelah operasi selesai, luka jahitan di perut ada 4 titik, dengan panjang sekitar 0,5-1 cm. Bandingkan dengan metoda pembedahan konvensional. Lukanya bisa menganga sekitar 20-an cm.

          Keluar dari ruang operasi, Prof Wu bergabung dengan kami. Dia tampak lega dan gembira. Begitu membuka masker mukanya, tampaklah senyum yang ramah. Usia Prof Wu terlihat masih muda. “Saya kelahiran tahun 1970,” katanya.

  Foto 2. Wartawan dan sejumlah dokter ahli serta pasien dan keluarga pasien bersiap menyaksikan siaran “live” operasi bedah lambung. Sihol Manullang (dengan selang infus) ikut hadir. (Foto doc norgenhealth)

Operasi hari itu sukses dan kondisi pasien bagus. Dia yakin, besok pasien sudah bisa turun dari ranjang, dan 3-4 hari kemudian pulang ke rumahnya. Satu-dua tahun setelah operasi, Profesor yakin berat badan pasien turun 30-40 kilogram. 

          Lima tahun terakhir, operasi ini banyak dilakukan di China karena penderita obesitas dan diabetes terdeteksi makin banyak. China termasuk negara dengan penduduk terbanyak di dunia yang menderita diabetes (data 2015, jumlahnya mencapai 90-an juta orang). Menyusul, India (61,3 juta), Amerika (23,7 juta) dan Indonesia ada di urutan ke-10 dunia (7,3 juta). Lima belas tahun mendatang, diprediksi jumlah penderita diabetes dunia akan naik rata-rata hampir dua kali lipatnya. 

Data lain menyebut, pasien obesitas yang tertinggi di dunia adalah di Amerika (65 persen dari populasi orang dewasanya menderita kegemukan). Tak heran, di sana sekitar 200 ribu operasi dilakukan pertahunnya. Disusul Australia (59 persen), dan China ada diurutan ke delapan (30 persen), setelah Rusia, UK, Arab, India dan Brazil. 

Bagi penderita diabetes, operasi gastric bypass bertujuan mengubah aliran makanan. Lambung yang kecil membuat cepat kenyang, dan efeknya menurunkan penyerapan kalori. Dalam jangka panjang, kerja pankreas tidak berat, produksi insulin perlahan naik. 

          Berapa biaya untuk operasi ini? CEO NorgenHealth Lin Junxiong menyebut sekitar 100 ribu RMB, atau Rp200-an juta. “Apakah itu mahal?” tanyanya. Ini termasuk biaya penanganan post operasi. NorgenHealth adalah sebuah platform layanan medis taraf internasional yang pertama dan terbesar di China. Norgenhealth kini telah membuka kantornya di Jakarta, untuk memfasilitasi pasien Indonesia yang makin banyak berobat ke China. Prosedur amat mudah, karena bisa diakses melalui www.norgenhealth.com di website resminya.

Bagi pasien diabetes, yang sudah menahun, biaya sebesar ini, cukup murah. Jika tak dioperasi, penderita harus mengonsumsi obat-obatan dan suntikan insulin secara teratur seumur hidupnya. Kualitas hidup pun secara perlahan menurun, karena sifat obat hanya mengendalikan, bukan menyembuhkan diabetes. Dalam jangka panjang, efek diabetes berpotensi besar merembet jadi berbagai penyakit serius, seperti tekanan darah tinggi, stroke, kebutaan, gagal ginjal, jantung dan sebagainya. 

Menurut Prof Wu, hasil berbagai penelitian di Amerika dan Eropa menyebutkan, operasi ini efektifitasnya 83-95 persen. Beberapa tahun setelah operasi, dampaknya akan bagus sekali. Tak ada lagi penggunaan obat dan bisa memperpanjang usia. Pasien obesitas yang  pernah ditangani, terberat sekitar 235 kilogram. Dan kini, setelah tiga tahun, berat badannya berkurang 80 kilogram.

Apa risiko terburuknya? Kata Profesor Wu, mungkin ada yang khawatir kekurangan gizi karena asupan makanan pasca operasi terbatas. Itu bisa diatasi dengan penambahan suplemen dan vitamin. Dan kekhawatiran tentang kebocoran lambung, bisa dikontrol sangat baik dengan teknik bedah yang modern. Sampai hari ini, ratusan pasien Prof Wu bisa aktivitas normal dan kondisinya sehat. 

“Pasien ini tak lama lagi membeli baju baru. Dan mungkin juga identitasnya akan baru,” canda Prof Wu, tentang pasien yang baru dioperasinya. Untuk mempercepat pemulihan, Profesor mengkombinasi dengan pengobatan tradisional China. Ini adalah metoda khas di hampir seluruh rumah sakit di sana. Kecanggihan teknologi medis dan alat-alat modern dari barat, digabung dengan teknik pengobatan tradisional.

Tiga pasien dari Indonesia, juga melakukan operasi di sana. Bagaimana testimoni mereka, tunggu di tulisan berikutnya. (Bersambung)

Artikel ini sudah dimuat di RakyatMerdekaOnline pada Sabtu, 19 Maret 2016, silakan klik:

http://dunia.rmol.co/read/2016/03/19/240026/Menyaksikan-Live-Bedah-Lambung-Secanggih-Amerika-

Artikel ini juga sudah dimuat di Harian Rakyat Merdeka, edisi Selasa, 22 Maret 2016