Selasa, 17 Februari 2015

BG Menang, BG Yang Menentukan

Catatan Ratna Susilowati
Dimuat di Rakyat Merdeka, Selasa 17 Februari 2015

Publik tidak banyak tahu karakter Budi Gunawan. Selama ini, jenderal bintang tiga itu banyak bekerja di belakang layar. Dia dikenal sebagai jenderal pemikir. Pandai mengonsep, sering terlibat dalam penyusunan rancangan peraturan dan mekanisme kerja di internal kepolisian.

Budi bukan jenderal banyak omong. Malah seringkali menolak diwawancara. Dia lebih sering tersenyum kalau ditanya apa saja. Karakternya khas orang Jawa  yang halus dan sopan. Tutur bahasa dia, mungkin mirip dengan Setya Novanto, Ketua DPR itu.

BG diumumkan menjadi tersangka oleh Ketua KPK Abraham Samad pada 13 Januari 2015, atau sehari sebelum fit and propertest sebagai calon Kapolri di DPR. Dan “buah” dari penetapan status itu, selama sebulan tiga hari, kita lelah menyaksikan konflik KPK-Polri.

Lika-likunya, seperti pertandingan proses hukum. Kasus dibalas kasus. Tersangka dibalas tersangka. Nyaris saja ada penangkapan dibalas penangkapan. Skor terakhir 1 berbanding 4. Sebab, kasus rekening gendut dibalas empat kasus terkait 4 pimpinan KPK sekaligus. Bahkan, panggung konflik terasa makin ramai, karena ada nama wanita ikut disebut.

Kemarin, perseteruan mencapai puncaknya. BG (sapaan Budi Gunawan) menang. Hakim Sarpin Rizaldi mengabulkan gugatannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kemenangan itu berarti memulihkan nama baik BG.

Putusan pengadilan ini menimbulkan pro dan kontra. Ada yang merasa, pemberantasan korupsi seolah-olah runtuh karena menganggap putusan itu kontroversial. Mereka khawatir, para tersangka akan berduyun-duyun menggugat KPK melalui praperadilan, dan berharap nasibnya bisa “dipulihkan” seperti BG.

Namun, ada juga yang tetap optimis. Penetapan status tersangka Budi Gunawan, yang dianggap tidak sah, adalah prosedurnya. Bukan berarti menihilkan kasusnya. Prof Jimly Asshiddiqie bilang, KPK bisa melakukan perbaikan prosedur hukum dan kembali menyelidiki kasus Budi Gunawan.

Orang boleh berpendapat apa saja soal putusan hakim. Namun, itulah realitas hukum yang harus dipatuhi siapa saja. Pertanyaannya sekarang, apakah Budi Gunawan akan dilantik menjadi Kapolri? Ini tergantung keputusan Presiden.

Jika tidak dilantik, para pendukung BG dan orang-orang di Dewan akan ribut dan terus mendesak Presiden. Mereka akan “mengganggu” Presiden dengan suara-suara pedas, melalui ancaman hak interpelasi dan semacamnya.

Sebaliknya, jika Presiden melantik, orang-orang penggiat anti korupsi yang pasti mengecam. Apabila pelantikan terjadi, status BG memang bukan tersangka. Tapi, sampai kapan? Jika KPK mempersoalkan putusan ini ke MA, lalu melakukan perbaikan prosedur hukum, maka status tersangka bisa tersemat lagi. Kalaupun kasusnya tak diutak-atik, publik kelak tetap mengenang Kapolri-nya sebagai pejabat yang pernah di-tersangkakan.

Jalan tengah yang paling baik adalah membiarkan Budi Gunawan menentukan pilihan. Apakah dia siap dilantik dan menerima segala risiko politik dan hukum itu, atau dia mundur dari proses pemilihan Kapolri. Mundur dari proses pemilihan Kapolri, dan KPK pun melupakannya. Mungkinkah?

Kita belum tahu apa keputusan Jokowi. Juga belum tahu, bagaimana pilihan BG. Sampai tadi malam, belum ada sinyal apapun dari Istana. Meskipun, dua lelaki kelahiran Solo itu, sudah bertemu empat mata.

BG, bisa saja berjiwa besar, berhati lebar dan bersikap legowo. Seperti yang dia nyatakan sendiri: jalan praperadilan yang dia tempuh, bukanlah untuk mengejar jabatan Kapolri, tapi menegakan keadilan.

Apabila dia memilih tidak duduk di kursi Kapolri, maka publik akan mengenang dia sebagai jenderal yang tidak ambisius. Untuk menang, pemimpin kadang tak harus selalu berada di depan. R