Minggu, 23 Oktober 2016

Kepala Badan Restorasi Gambut Dr Nazir Foead : Berani Bakar Lahan Gambut, Izin Usaha Bisa Dicabut

 

Presiden Jokowi membentuk lembaga baru bernama Badan Restorasi Gambut, pada awal tahun ini. Awam banyak yang belum tahu, apa itu lahan gambut, dan mengapa gambut perlu direstorasi? Rakyat Merdeka bersilaturahmi dengan Kepala BRG Dr Nazir Foead, pekan lalu. Obrolannya menarik. Rupanya, bencana kebakaran hutan Indonesia, kebanyakan terjadi di lahan gambut. Berikut ini kutipannya, saat wawancara dengan Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Muhammad Rusmadi dan Wahyu Dwi Nugroho, dari Rakyat Merdeka.

 Apa itu lahan gambut, dan bagaimana kondisi gambut di Indonesia? 

Luas lahan gambut kita sekitar 14,9 juta hektar. Terluas ada di Papua. Ada juga di Sumatera Selatan. Yang Kalimantan, terluas di Kalteng. Di Kaltim dan Kalsel ada sedikit. Secara umum, kondisi gambut Indonesia, setengahnya masih bagus. Sisanya sudah terbuka dan berkanal. 

 Yang terbuka dan berkanal, sebagian dikelola perusahaan. Ada yang bertanggungjawab, ada yang berantakan. Bahkan, perusahaan yang paling top pun, ada yang buka kanalnya sembarangan. Lahan gambut itu rawa, berair sekitar 30-40 cm. Maka, mereka membikin kanal yang lebar-lebar, agar lahan cepat kering dan bisa ditanami, sehingga bisa segera panen. Padahal, gambut itu sumber air cadangan. Kalau bangun kanal sampai sedalam 3-4 meter, dan lebar 10 meteran, tanpa pengelolaan, dan tanpa penutup, air keluar dari lahan gambut tanpa diatur. Akibatnya buruk untuk lingkungan. Belakangan ini, banyak perusahaan mulai bertanggungjawab. Mereka mulai menjaga muka air dalam kondisi optimal.

 Lahan gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa tumbuhan, karenanya mengandung kadar organik tinggi. Gambut biasanya di rawa dan kadar keasamannya tinggi. Fungsi gambut penting untuk menjaga kestabilan lingkungan, cadangan air dan menyimpan karbon. Semakin tebal gambut, semakin penting fungsinya dalam memberikan perlindungan terhadap lingkungan. Terutama memitigasi perubahan iklim dan mengurangi pemanasan global. 

Bagaimana caranya merestorasi lahan gambut?

Tugas kami merestorasi itu, antara lainmenyelamatkan kubah gambut, tempat berkumpulnya cadangan air. Di lahan gambut yang amat luas, kubah tidak terlihat oleh mata telanjang. Tampak flat saja. Padahal, di beberapa titik ada bagian yang cembung seperti mangkok terbalik. Ketinggian kubah, yaitu di bagian mangkok yang cembung sekitar 3-4 meter. Di situlah tempat terbanyak air berkumpul. Saat kemarau, air di kubah akan turun sehingga mengairi sungai di sekelilingnya. Dan kampung sekitar Sungai tidak kekeringan. Tapi, kalau kubah gambut dikeringkan, dampaknya terasa di musim kemarau. Kubah gambut kering, sungai kering, kampung kehabisan air. Lahan gambut pun mudah terbakar. Saat kebakaran, pasukan pemadam kesulitan melakukan pemadaman api, karena stok air tidak ada. 

 Idealnya, seminggu sebelum musim hujan berakhir, kanal-kanal lahan gambut ditutup. Sehingga, muka air tidak turun hingga di zona merah. Ciloko kalau sebelum kemarau, kanal gambut dibuka, airnya habis. Maunya kita sih, kanal ditutup, supaya lahan gambut bisa terus menyimpan air. Tapi, kan dampaknya lahan bisa kebanjiran, saat curah hujan tinggi. 

Bagaimana caranya merestorasi lahan gambut yang sudah ada tanaman industrinya?

Di lahan gambut, jarak antar kubah itu bisa berkilo-kilometer. Kubah gambut yang bagus harus dikonservasi, dijaga seperti kawasan lindung oleh pengusaha yang memegang izin, karena kubah-kubah itu berada di tengah lahan. Untuk kubah yang sudah ada tanamannya, minimal ya dijaga muka airnya, seoptimal mungkin.

Bagaimana cara memantaunya?

Ada alat pemantauan tinggi muka air yang cukup canggih, dan nyambung dengan sinyal handphone. Alatnya dari Jepang, kerjasama dengan BPPT. Statis ditanam ke tanah. Bisa disetel, mengukur ketinggian muka air tiap 30 menit atau 1 jam, lalu disambung ke data logger. Saat dikombinasi dengan data curah hujan, maka kita bisa memberi warning. Misal, muka air di lahan gambut terlihat turun sekali, sementara 10 hari ke depan, diperkirakan tak ada curah hujan, maka otomatis rawan kebakaran hutan, sehingga areal perlu dijaga. Ini warning terkirim text ke para gubenur dan pejabat terkait, sehingga harus stand by.

Apakah pemerintah menyampaikan warning kepada pengusaha, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan di lahan gambut?
Awalnya, kita kan banyak membutuhkan lahan untuk pembangunan. Hutan, tanah, mineral diberi izin pengelolaan kepada pengusaha. Lama kelamaan lahannya habis. Nah, yang tersisa tinggal gambut. Daripada nggak produktif, dan ada pengusaha yang mau, ya izin akhirnya dikeluarkan. Saat itu mungkin belum terpikirkan tentang ekosistem.
 

Bagaimana target kerja dari Presiden?
Merestorasi dua juta hektar lahan gambut selama lima tahun. Dan tahun ini sekitar 600 ribu hektar. Prioritas di Meranti (Riau), Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (Sumatera Selatan).

Bagaimana strateginya agar program restorasi ini tidak berbenturan dengan kepentingan pengusaha?

Saat ini sudah banyak perusahaan besar yang sangat mengerti. Kalau mereka tidak peduli, kan mereka kuatir juga efeknya bisa kebakaran hutan. Jika kebakaran, mereka juga rugi. Pemerintah pun marah, izin penguasaan lahan bisa dicabut, dan diperdata-kan hingga miliaran. 

Bagaimana menghindari benturan politiknya?
Begini. Di Indonesia, sebanyak 6 juta hektar lahan gambut sudah dikeringkan. Misalnya, sebagian izin lahan, pengusahanya ada yang dekat dengan orang partai. Saya tetap bekerja sesuai mandat visi misi Presiden. Masalah apapun, pasti ada jalan keluarnya. Kan tinggal diajak bicara. Kalau lalai, apa mereka benar-benar siap jika dicabut izinnya. Sudahlah, daripada dicabut, kita restorasi saja. Kita sesuaikan tanamannya, tapi tetap pilih yang ada nilai ekonominya.

Gambut idealnya ditanami apa?
Sifat tanah gambut itu asam. Ada beberapa jenis pohon bisa tumbuh ideal seperti sagu, jelutung, glam, meranti dan ramin. 
 

Apakah banyak perusahaan besar yang melakukan kelalaian?

Yang dulunya melakukan kelalaian, sekarang sudah melakukan banyak perbaikan. Mereka membangun sumur bor. Sekarang disadari, ternyata lebih besar biaya memadamkan api, daripada mencegah. Saat kebakaran, misalnya, menyewa helikopter untuk pemadaman itu mahal. Padahal, kalau membuat sumur, biayanya sekitar 2,5 juta. Lalu tambah nozzel dan selang serta pompa. Total sekitar 10 jutaan. Satu pompa bisa untuk 10 sumur bor. Cerita pengalaman ya. Saat ditemukan titik api, lalu dipadamkan melalui sumur bor, hanya butuh 1,5 jam api langsung padam. Areal kebakar tak sampai sehektar. Bandingkan dengan kejadian lain. Ada spot api, petugas memanggil pemadam kebakaran. Setelah dua jam disemprot, api tak makin kecil. Sementara air habis. Lalu, membangun sumur bor, butuh waktu 3 jam. Semprot, besoknya api bisa mati. Tapi lahan yang habis mencapai 4 hektar. Jadi, kesimpulannya, tanpa sumur bor, kebakaran bisa berhari-hari. 

 

Tentang kebakaran hutan. Sejak kapan terjadi di Indonesia?

Kemungkinan sejak tahun 1980-an. Dan mulai tahun 1997, kebakaran terjadi di lahan gambut. Bencana asap dan kebakaran selama ini, sekitar 40 persennya terjadi di lahan gambut. Tapi, kebakaran di gambut itu apinya sulit mati. 

Penyebab terbesarnya apa? Disengaja?
Saya sering berdebat dengan kawan-kawan di lapangan soal ini. Katanya kebakaran terjadi akibat puntung rokok. Itu excuse yang paling mudah. Saya debat. Pernah saya ajak kawan-kawan di lapangan, ayo cari gambut yang kering. Dan nyalakan rokok, lalu buang. Saya tungguin, sampai 10 menit, gambutnya tidak terbakar. Jadi, penyebab utamanya, menurut saya, ya masyarakat atau pengusaha yang sengaja membakarnya. Mungkin ada juga karena keteledoran. Misalnya, saat kemping, api dimatikan tapi tidak tuntas. Saat gambut kering, lalu sisa api terkena angin. Tapi yang terbanyak, kebakaran gambut ya karena sengaja dibakar. Atau masyarakat yang disuruh pengusaha membakar. Membakar gambut juga dianggap mengurangi keasaman tanah. 

Apakah BRG memiliki wewenang penegakan hukum? 
Tidak. Kewenangan itu ada di Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan. Jadi, kalau ada kejadian, kami melapor ke Kemenhut, ke Dirjen Gakkum. Kewenangan terbesar saya merestorasi gambut, kordinasi ke pengusaha, Pemda dan Kementerian lain. Kami tidak dibentuk dengan banyak orang lapangan. Saya tidak punya banyak staf untuk merestorasi. Jadi, saya banyak kerja bersama dengan kementerian lain. Misalnya, dengan Kementerian Pekerjaan Umum. Yang bisa kita sepakat kerjakan bersama, dan menggunakan anggaran PU. Anggaran BRG keluar untuk biaya fasilitator, para ahli. Saya memberikan arahan teknis, supervisi dan ke kampus-kampus.

Bentuk kerjasama dengan Kementerian lain, bagaimana contohnya?
Misalnya, kami hanya sanggup bangun penutup kanal yang lebarnya sekitaran 10 meter. Dengan biaya 5 jutaan, atau teknologi yang tepat guna, melibatkan masyarakat. Kalau sampai puluhan meter, dengan enjinering tingkat tinggi, itu biaya mahal sekali. Nah, Kementerian PU yang bisa membangun.

 Latar belakang Presiden adalah bidang kehutanan. Bagaimana intensitas komunikasi dengan Presiden mengenai tugas-tugas restorasi gambut?

Saya berkomunikasi dengan Presiden, melalui Pak Teten (Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan). Komunikasi cukup intens dengan Pak JK (Wapres). Beliau ternyata amat memahami restorasi gambut. Sudah berdiskusi beberapa kali dengan beliau. Pak JK percaya bahwa kegiatan BRG itu tak perlu menggunakan APBN atau minimal. Karena akan banyak hibah atau investasi di bidang ini. Potensi penurunan karbon yang tinggi, dan pasar karbon besar. Seorang peneliti di Bank Dunia mengukur potensi penurunan karbon di Indonesia, dengan luas lahan gambut yang ada, itu mencapai 1 gigaton pertahun. 

Apa artinya?

Saya membaca sebuah artikel di jurnal ilmiah. Swedia memiliki lahan gambut sebanyak 1,2 juta hektar yang sudah dikeringkan. Lalu mereka membuat kajian di 400 ribu hektar. Disimpulkan, jika direstorasi dengan baik, maka bisa mengeluarkan emisi karbon sampai 12 persen kebutuhan Swedia, di luar sektor lahan. Sektor industri mereka itu tinggi.

Kalau satu negara bisa mengurangi emisi karbonnya, sesuai kewajiban ratifikasi, maka yang paling murah dan efektif adalah melalui restorasi gambut. 

Sehingga potensi 1 gigaton itu, akan jadi komoditi.

 

Untuk pencegahan kebakaran hutan, ada lembaga Masyarakat Peduli Api, bagaimana sinerginya? Dan darimana pembiayaannya?

Misalnya di Kabupaten Siak, ada programnya dengan pemberian yang base in performace. Kita pakai dana donor untuk pengganti bensin. Kan saat kemarau, mereka melakukan patroli. Lihat titik api, mereka datang, memasang pompa. Bukan honor ya, tapi mengganti bensin. Mereka mengusulkan agar kita membantu mereka di bidang pertanian, dengan budidaya tanaman. Nanti saat ada keuntungan, masuk ke kasnya MPA.

 

Apakah sudah melakukan sharing dengan sejumlah pengusaha di lahan gambut untuk mensosialisasikan program?
Kami sudah melakukan diskusi dengan asosiasi dan beberapa perusahaan. Kami punya peta lahan gambut, yang harus direstorasi. Kami bicara, dan tolong, plotkan areal mereka ke areal peta kerja kami. Kami membuka diri untuk dikoreksi, karena peta pemerintah kan sifatnya skala nasional. Mereka biasanya juga melakukan pemetaan sendiri. Dicocokan dengan data kita. Lalu kita verifikasi sama-sama.

 

Kekuatiraan terbesar pengusaha terkait restorasi gambut apa ya?
Yang mereka takutkan, tanamannya harus ditebang dan dikembalikan ke lahan gambut seperti semula. Padahal tidak seperti itu. Kami hanya minta agar menjaga muka air. Lalu, bantu masyarakat di sekitarnya. Dengan cara ini, dampaknya, titik api banyak berkurang bahkan ada yang sampai 80 persen. Sehingga, anggaran pemadaman kebakarannya utuh, atau dipakai sedikit. 

 

Saat ini, kami mau bikin pilot project, di lahan sawit, Kalimantan Barat dan Riau. Mencari berapa tinggi muka air yang ideal yang harus dijaga, supaya tidak berpengaruh ke hasil produksi. Apa benar, makin tinggi muka air, hasil sawit katanya makin buruk. Kalau pilot project ini bagus, hasilnya jadi acuan bagi pengusaha sawit.***

 

Adik Kelas Jokowi Di UGM

Sempat Bingung, Pilih Pulang 

ke Indonesia Atau Sekolah Lagi

Nazir Foead adalah adik kelas Presiden Jokowi di Universitas Gajah Mada. Jokowi masuk Fakultas Kehutanan tahun 1980, dan lulus 1985. Sedangkan Nazir masuk 1985 dan lulus 1992. Nazir kuliah Strata 1, di bidang konservasi sumber daya alam. Sejak masih kuliah, Nazir sudah aktif di WWF-Indonesia. Setelah lulus sarjana di UGM, Nazir aktif di The Netherlands Forestry Ministry, sambil menimba ilmu di University of Gottingen Jerman. Juga belajar di Durrel Institute of Conservation and Ecology di University of Kent United Kingdom sampai 1996. Tahun 1997, melanjutkan kuliah di Indiana University, USA. Dan tahun 1998 belajar di Smithsonian Institute, juga di USA. Lepas itu, dia tawari pekerjaan di Indonesia.

“Saat itu sempat bimbang, antara melanjutkan sekolah S3, atau pulang. Oleh WWF ditawari mengurus konservasi Badak Jawa. Bagi orang yang bekerja di konservasi, mengurus Badak Jawa itu termasuk pekerjaan yang prestisius,” kata Nazir. 

Dia memang pakar konservasi. Selain Badak Jawa, Nazir juga memahami tentang harimau Jawa yang sudah punah. Nazir akhirnya memilih berkarir di tanah air, sebagai Direktur Konservasi di WWF di tahun 2011. Tiga tahun kemudian, dia bergabung di Climate and Land Use Alliance (CLUA) sebagai pimpinan program Indonesia. Sampai akhirnya pada Januari 2016, ditunjuk oleh Presiden Jokowi sebagai Kepala Badan Restorasi Gambut Indonesia.

 
Artikel ini sudah dimuat di 
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Kamis, 20 Oktober 2016

Foto-foto Rakyat Merdeka
By WahyuDwiNugroho