Selasa, 28 April 2015

Pariwisata & Toilet Jorok: Arief Yahya Ngambek


  Syukurlah Menteri Pariwisata kita yang baru, Arief Yahya, peduli pada urusan toilet di tempat wisata. Dia, sama seperti kebanyakan dari kita, ngambek dan kesal tiap kali melihat toilet yang jorok. Turis datang jauh-jauh dari mancanegara, disuguhi pemandangan indah, tapi bisa emosi melihat toilet yang kotor dan menjijikan.
          “Saya sudah ngamuk. Sudah, umumin saja di koran. Menpar ngambek,” kata Arief Yahya, saat berbincang dengan Tim Rakyat Merdeka, di kantornya, pekan ini.
          Menurut Arief, harusnya urusan toilet di tempat wisata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Tapi kenyataannya, sulit. Saat ini, nilai kualitas toilet Indonesia, mengutip World Economic Forum, hanya 40, dari 140 negara atau termasuk terburuk di dunia. Menteri Arief sangat malu dengan kenyataan itu.
“Pemda mengelola toilet saja tidak bisa. Saya agak marah. Karena itu, Kementerian Pariwisata akan membuat 34 toilet percontohan, atau satu proyek percontohan di tiap provinsi. Target awal nantinya dibangun 1000 toilet untuk dibisniskan. Dalam setahun bisa untung. Dengan cara ini, everybody happy,” katanya.
          Bagaimana caranya membisniskan urusan toilet? Idenya mirip dengan membangun wartel (warung telekomunikasi) saat dia jadi Dirut Telkom. Waktu itu, jaringan komunikasi buruk dan penetrasi telepon rendah. Karenanya muncul ide membangun wartel dengan menggandeng para pebisnis lokal. Dari 125 proyek percontohan, akhirnya menjamur hingga 125 ribu wartel di seluruh pelosok.
          Kini, dia mengajak Asosiasi Profesi Laundry Indonesia (APLI) dan Asosiasi Perusahaan Klining Servis Indonesia (Apklindo) untuk menggerakan usahawan daerah berbisnis toilet. Standar ditetapkan Kementerian. Misalnya, untuk membangun toilet tipe 27 (berisi 6 unit toilet) diperlukan biaya sekitar Rp150 juta. Operasional 10 jam sehari atau 600 menit, bayar Rp1000 tiap pengguna. “Ini keuntungannya besar. Dalam setahun bisa balik modal,” katanya. Dengan cara ini, pengelola untung dan wisatawan pun senang karena datang ke tempat wisata dan mendapat toilet bersih.
          Bagaimana kalau Pemda marah? Arief menjawab, kalau ada yang marah, ya silakan. Ayo tunjukkan ke saya, mana toiletmu.” 



Ngiri & Gemas Melihat Maldive
 
          Sektor pariwisata menyumbang 10 persen PDB atau Produk Domestik Bruto. Bandingkan dengan Malaysia, menyumbang 16 persen PDB negaranya, dan Thailand 20 persennya. “Makanya, saat nilai tukar Dollar naik dan neraca perdagangan turun, kondisi ekonomi Thailand tetap stabil karena ditopang oleh tourism,” kata Arief. Padahal potensi pariwisata di Malaysia dan Thailand kalah jauh dibanding Indonesia.
          Arief mencontohkan Maldive. Pendapatan Maldive dari sektor pariwisata 2 miliar USD atau sekitar Rp26 triliun, padahal jumlah penduduknya hanya 300 ribuan orang. Dia ngiri dan gemas melihat kenyataan ini. Di Indonesia, kepulauan sejenis Maldive banyak, dan berpotensi dikembangkan jadi aeal wisata besar. Misalnya di Belitung, Anambas, Nias dan Raja Ampat. “Jadi, proyeksi untuk mengalahkan Thailand itu sangat mungkin,” katanya.
          Biaya untuk ke Raja Ampat itu amat mahal, karena sebanding dengan biaya keliling Tiongkok. Bagaimana plannning pemerintah untuk mempermudah aksesnya? Sementara ini, positioningnya dipertahankan untuk pasar high end. Sehingga kondisi alamnya bisa terjaga.
 
Kira-kira bagaimana pengaruh kebijakan pembebasan visa terhadap sektor pariwisata. Peningkatan pendapatan bisa berapa persen? Kebijakan itu akan dimulai Mei nanti. Saya perkirakan pendapatan naik 1 miliar USD atau sekitar Rp13 triliun. Kita memang kehilangan 25 USD (dari biaya pembuatan visa) tapi spending turis minimal 1200 USD per orang. Dan itu, efeknya langsung ke masyarakat. ***

Wawancara ini dimuat di Rakyat Merdeka edisi Senin, 20 April 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar