Senin, 04 Januari 2016

Aceh Sudah Move On (1): 11 Tahun Setelah Diterjang Tsunami, Kini Ada Wisata Mengenang Bencana


Di hari peringatan 11 tahun musibah Tsunami, wartawan Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, berada di Banda Aceh. Berikut ini catatan ringannya. 

Foto 1. 
Sejumlah turis datang ke Pantai Lampuuk Aceh. Foto diambil sehari sebelum peringatan musibah Tsunami. Sebelas tahun lalu, pantai ini hancur luluh lantak disapu gelombang yang dahsyat.

            Saat itu, malam Minggu, 26 Desember 2016, jelang pukul 9 malam. Beberapa wanita duduk melingkar di meja. Mereka bercanda dan cerita sampai tergelak-gelak. Tawanya lepas-lepas. Kuperhatikan, di mejanya ada beberapa hidangan dipesan. Mie Aceh yang nyaris tandas, martabak dan beberapa gelas kopi sanger yang tinggal separuh. Sanger, khas Aceh, kopi dengan tambahan sedikit susu, sehingga manisnya hanya diujung-ujung lidah. Keriaan juga ada di meja lain. Sekitar 50-an kursi penuh diduduki pengunjung di sebuah warung kopi yang cukup dikenal di Banda Aceh. Ada kelompok wanita saja. Ada juga yang hanya para pria. Tapi semeja lelaki dan wanita juga ada. 
            Di hari yang sama. Pagi beberapa jam sebelumnya, Gubernur dan ribuan masyarakat di Aceh memperingati 11 tahun tragedi Tsunami. Orang-orang hanyut dalam keharuan. Ada air mata tumpah di Meuraksa, lokasi kuburan massal korban Tsunami.
            Empat hari berada di Aceh, perasaan campur aduk. Niatnya wisata, tapi suasana jiwa terbawa ke kenangan bencana. Yang melegakan, Aceh kini banyak berubah. Kata anak gaul, Aceh sudah “move on” jadi lebih bagus, lebih terbuka, dan siap menerima siapa saja.  
Sudut-sudut kotanya bersih. 

Pembangunan infrastruktur cukup masif. Masjid Baiturrahman bakal diperindah dengan payung-payung otomatis di terasnya, seperti di Mesjid Nabawi. Mereka yang rindu Madinah, mungkin bakal sedikit terobati kalau ke sini.
Jalan-jalan protokol di Aceh bagus. Beberapa tahun terakhir ini, seliweran kendaraan di jalanan mulai ramai dengan bus-bus turis. Mereka datang ke tempat-tempat yang dulunya parah terkena terjangan Tsunami. Ada sejumlah spot wisata yang menarik dikunjungi. Catatan saya setidaknya ada lima lokasi yang sayang dilewatkan.

Pertama, kapal nelayan di Gampung Lampulo yang tersangkut di atas rumah penduduk. Syaiful, salah seorang warga yang selamat, kebetulan sedang memberi testimoni, saat saya ada di situ. “Apakah ini kiamat? Darah saat itu berceceran di jalanan. Anak-anak menjerit karena jatuh, terinjak dan ditabrak mobil yang dikendarai tak tentu arah. Semuanya berpikir menyelamatkan diri sendiri,” kata dia sembari mengenang. Ketika air menerjang, Syaiful berpegangan di ranting kayu hingga akhirnya tersangkut di gunungan sampah. Tak lama, ada kapal nelayan lewat, dia pun naik dan selamat. “Saya nyaris tak sanggup melihat pemandangan di sekitaran air. Ada tangan putus, kaki mengapung. Atau anak kecil meninggal timbul tenggelam,” kata Syaiful. Dia masih terisak mengenang itu. Saat air surut, kapal kayu seberat 65 ton yang dia naiki, ternyata tersangkut di tengah pemukiman penduduk di wilayah Lampulo, 1,5 kilometer dari Sungai Krueng Aceh. 


Foto 2. Kapal nelayan yang tersangkut di areal pemukiman penduduk di Gampung Lampulo, Aceh. Saat Tsunami, kapal seberat 65 ton ini terseret sejauh 4 kilometer dari Sungai Krueng Aceh.


Kedua, monumen PLTD Apung. Dulunya, ini adalah sumber tenaga listrik bagi wilayah Ulee Lheue sebesar 10,5 megawatt. Kapal berisi pembangkit sepanjang 63 meter ini ditambatkan dan mengapung di atas laut Desa Punge, Blancut. Namun, terseret sejauh 5 kilometer saat diterjang Tsunami. PLTD seberat 2.600 ton ini pun terbawa hampir ke tengah kota, dan terhempas di tengah pemukiman. Sejumlah rumah hancur ditimpa kapal PLTD ini, ketika airnya surut. 


Foto 3 & 4. Monumen PLTD Apung dikunjungi wisatawan.

Tak jauh dari sini, ada lokasi ketiga, yaitu kuburan massal di Meuraksa. Sekilas, areal ini tak seperti pemakaman. Penataannya amat rapih dan hijau. Ada hamparan rumput, dan bebatuan serta rimbunan pepohonan, dibatasi dinding terbuka dengan lukisan asmaul husna di sekelilingnya. “Areal ini arsiteknya khusus lho. Seorang ahli di bidang desain pemakaman,” kata Arie Parikesit, yang pernah jadi personil UNDP saat recovery Aceh pasca Tsunami. Arie kini dikenal sebagai Pakar Kuliner Indonesia.


Foto 5. Kuburan massal korban Tsunami di Meuraksa, Banda Aceh.

Keempat, Mesjid Rahmatullah, di Pantai Lampuuk Aceh. Rumah ibadah ini berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai. Tapi, menjadi satu-satunya bangunan yang tetap berdiri saat diterjang Tsunami. Di sekelilingnya, semua rumah luluh lantak dan 6000 ribu jiwa hilang dalam sekejap. Saat ini, mesjid Rahmatullah telah diperbaiki. Pun sekelilingnya sudah hijau ditanami pepohonan.  


Foto 6. Dokumentasi yang dikirimkan Arie Parikesit, menunjukkan kondisi Masjid Rahmatullah, saat diterjang Tsunami (atas) dan setelah recovery (bawah)

Dan kelima, Museum Tsunami. Pas masuk ke sini, kebetulan bertemu dengan Ridwan Kamil, arsiteknya. “Selamat menikmati suasana di dalam,” sapa Walikota Bandung itu. Tangannya sibuk menerima salaman dan sebentar-sebentar diajak selfie oleh ratusan pengunjung museum.

Masuk ke dalam, langkah pertama sudah merinding. Di lorong yang gelap itu, suasana terasa seperti saat detik-detik Tsunami datang. Ada rintikan air hujan jatuh dilengkapi suara gemercik. Lorong itu berakhir di cerobong besar yang di dindingnya tertulis nama-nama korban Tsunami. Lamat-lamat terdengar doa, dan kita pun langsung merasakan suasana berkabung amat dalam. Mendongkak ke atas, ada ujung cerobong dengan cahaya bertuliskan lafaz Allah. Hati pun rasanya bergetar. 
Di semua spot wisata ini, turis-turis berdatangan. 


Foto 7 & 8. Founder KelanaRasa Arie Parikesit berfoto dengan Ridwan Kamil. Walikota Bandung ini adalah arsitek Museum Tsunami. Beliau hadir saat peringatan 11 tahun Tsunami di Banda Aceh.

Data dari dinas pariwisata, selama 2015, ada 2 juta wisatawan datang ke Aceh. Dan hampir 20 ribu diantaranya turis asing. Terbanyak dari Malaysia.
Bencana Tsunami adalah musibah tak terperi, sekaligus menyadarkan kita akan kuasa Tuhan Yang Maha Esa. “Apalah artinya kita ini. Saat Tsunami menerjang, manusia ibarat remahan rengginang,” kata Arie Parikesit. Perumpamaan yang agak nyeleneh, tapi mengena. **

(Semua foto adalah dokumen pribadi penulis)

Tulisan ini sudah dimuat 
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Selasa, 5 Januari 2016



Sent from my iPhone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar