Minggu, 14 Februari 2016

Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan: Untuk Kemakmuran Masyarakat, Pers Harus Galak

 
Banyak pandangan menarik dilontarkan Ketua Dewan Pers, Prof Bagir Manan, terkait Pers Indonesia di era dunia tanpa batas. Menurutnya, pers harus menjadi penunjuk arah, bersikap galak, dan tidak boleh melakukan perselingkuhan dengan birokrasi. 

            Saat diinterview Rabu pekan lalu (3/2), oleh Tim Rakyat Merdeka, Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Ujang Sunda dan Fotografer Wahyu Dwi Nugroho, mantan Hakim Agung itu bicara penuh semangat. Pembawaannya amat tenang, tapi tutur katanya bernas dan berani.
Berikut petikan lengkapnya:

Bagaimana makna peringatan Hari Pers Nasional tahun ini? 
Saat ini, masih ada komponen pers yang menganggap peringatan Hari Pers Nasional itu tidak tepat, karena 9 Februari 1946 adalah kelahiran Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 
Tapi, saya berpendapat, ada makna di peristiwa tersebut, yang sebaiknya diingat. Saat itu, di Solo, para jurnalis berkumpul dan menyatakan pers Indonesia adalah pers perjuangan. Yaitu, perjuangan bertujuan menegakan Proklamasi, dan mempertahankan kemerdekaan. 
Sedangkan di hari-hari ini, pers masih berjuang untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga esensi pers perjuangan sebenarnya belum selesai. Pers sekarang, ikut bertanggungjawab demi terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 
 
Tema HPN tahun ini adalah kemaritiman dan pariwisata. Kaitannya dengan tugas pers bagaimana? Kita baru bicara Kemaritiman sekedar untuk gatra kewilayahan negara, atau gatra pertahanan. Padahal, potensi Kemaritiman besar sekali, dan pemanfaatannya harus sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat. Juga tentang pariwisata. Ini bisa jadi faktor ekonomi yang dominan. Potensi wisata dan budaya kita amat besar. Nah, di peringatan HPN inilah, pers harus menyadari itu. Bahwa eksploitasi dan pemanfaatan Kemaritiman dan Pariwisata belum maksimal. Baru sebagian kecil saja yang menikmati. Dalam soal begini, Pers harus galak. Pers harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Agar seluruh ekploitasi dan pemanfaatan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
 
Apakah pers sekarang sudah cukup galak?
Ya, sudah banyak yang mempersoalkan itu. Tapi, masalah keadilan sosial, tidak cukup hanya menjadi bahan diskusi. Harus diupayakan, bagaimana agar menjadi kenyataan. Dan beban itu, lebih besar pada pers, sebagai salah satu komponen kekuatan masyarakat. Kita kan menyebut diri sebagai cabang kekuasaan keempat. Pers adalah institusi publik yang juga jadi juru bicara publik untuk menyuarakan hal itu.
 
Di Indonesia, berdasarkan sejumlah poling, Pers masih dianggap sebagai lembaga paling terpercaya. Ini beruntung. Pers masuk rangking baik dan terpercaya. Tapi, apakah itu menunjukkan benar dipercaya, atau paling baik diantara yang jelek? The best among the worst? Mudah-mudahan tidak. Penilaian saya, Pers Indonesia ada gradasinya. Makin ke pusat, di Jakarta, tingkat profesonalisme makin tinggi. Sedangkan di daerah, unsur profesionalisme kelihatannya makin rendah. Ada beberapa sebab. Pertama, Belum ada lembaga pelatihan pers yang baik. Yang bisa mendidik pers menjadi sehat. 
 
Kedua, kadang ada keadaan, dimana orang menerbitkan pers di daerah, orientasinya pada manfaat ekonomi atau kepentingan tertentu, sehingga kurang memperhatikan konsekwensi-konsekwensi. Ini tantangan ke dalam pers sendiri. Kalau mau berperan besar ke luar, kita harus baik di dalam. Ke depan, harusnya tidak ada lagi istilah pers abal-abal. 
 
Mengenai booming digitalisasi media. Apakah ini termasuk ranah Dewan Pers? Kami mesti membedakan, mana media sosial yang memenuhi ketentuan pers, dan mana yang bukan. Yang memenuhi ketentuan, ya diakui sebagai pers. Sehingga, jika ada pengaduan, diselesaikan di sini. Tapi, kalau ada pihak yang merasa disakiti oleh media sosial yang bukan termasuk pers, itu diproses tersendiri. Meski begitu, andaipun mereka datang ke sini, ya kita tetap memberikan perhatian. Janganlah ada pikiran, media sosial dibatasi. Itu adalah konsekuensi teknologi, dan tuntutan masyarakat. 
 
Berapa jumlah pengaduan ke Dewan Pers selama tahun 2015?
Pengaduan cukup tinggi. Tahun 2015, lebih dari 700 pengaduan. Pengaduan terhadap media, umumnya pelanggaran kaidah jurnalistik. Kalau melanggar, ya kita sarankan, media minta maaf saja. Atau memberikan hak jawab. Penilaian saya, makin mapan pers, makin mudah mereka menyadari kekeliruan dan minta maaf. Tapi makin nggak karuan pers-nya, makin banyak pula alasannya. Menurut saya, kalau salah ya sudahlah, langsung akui. Itu prinsip. Kan pers juga bisa salah. Dan, publik juga ternyata puas, jika pengaduannya dilayani, lalu yang diadukan merasa keliru. 
 
Ada yang menilai Pers kita kebabalasan. Menurut Anda bagaimana? Ya, memang ada yang menyebut kebablasan atau terlalu powerfull. Menurut saya, ya tidak apa, selama pers melakukannya sesuai prinsip jurnalistik yang benar. Selama menjunjung tinggi kode etik dan tidak melanggar hukum. Dampaknya kepada yang diberitakan, adalah bagian dari risiko. Risiko tugas, pekerjaan dan jabatannya. Apa boleh buat. Pers menjalankan itu sebagai upaya mewujudkan pertanggungawaban kepada publik. 
 
 
Diantara Kegaduhan Elite, 
Pers Jadi Penunjuk Arah
 
Anda menjadi Ketua Dewan Pers di masa Pemerintahan SBY dan Presiden Jokowi. Bagaimana Anda menilai sikap keduanya terhadap Pers. Bersyukur, sampai hari ini, dua-duanya ini sangat memberikan tempat yang baik kepada pers. Zaman Presiden SBY, misalnya, ada keluhan terhadap pers, tapi beliau tidak pernah menindak pers. Saat pidato di HPN Banjarmasin, saya katakan, konsekwensi kita memilih demokrasi, ya artinya siap dikritik pers. Dan beliau (SBY) setuju. 
 
Jokowi menjabat presiden belum dua tahun. Beliau punya komunikasi yang cukup baik dengan pers. Sebaiknya Pemerintahan ini menjaga, jangan sampai ada misskomunikasi dengan publik. Kadang ada pertanyaan mendadak dari Pers, yang jika jawabannya tidak disiapkan, komentar yang muncul bisa menimbulkan polemik atau bahan diskusi di masyarakat. Soal Kereta Cepat, misalnya, sudah dicangkul, ground breaking, kok baru ribut. Ini belum beres, dokumen ini itu, belum. Di negara maju, pemimpin negara biasa di-briefing oleh staf pers-nya. Sehingga kapanpun ditanyai wartawan, siap bicara. Mungkin itu bisa dianggap sebagai hal kecil. Tapi kalau tidak dilakukan, dampaknya memang belum tentu menurunkan kewibawaan, tapi bisa menimbulkan polemik berhari-hari.
 
Belakangan ini, publik sering bingung melihat ada kegaduhan di antara elit politik. Di media sosial, misalnya, sebuah isu jadi polemik berhari-hari. Bagaimana peran pers seharusnya? Biasanya, rakyat yang jadi sumber kegaduhan, dan pemerintahan atau negara yang meredam. Tapi, di Indonesia ini ganjil. Justru kegaduhan ada di kalangan penyelenggara negara. Aneh. Dan kegaduhan ini dampaknya, orientasi kepada kepentingan publik jadi tidak maksimal. Nah, ini menuntut peran pers. Pers perlu mengawal, tidak sekedar mengawasi. Diantara berbagai macam persoalan, pers harus jadi penunjuk arah. Kemana arah kita dalam kondisi seperti itu. Memberikan direction.
 
Menurut Anda, mengapa mudah terjadi kegaduhan di kalangan penyelenggara negara atau elite politik? Kegaduhan lahir bukan hanya dari attitude pelaku, tapi juga sistemnya. Sistem menyebabkan kita seperti berputar-putar tidak karuan. Ada beberapa kelompok senior yang menganggap ini adalah akibat UUD 1945 sudah tidak sesuai. Mereka berfilosofi. Saya katakan, berhentilah berfilsafat. Kembalilah menginjak bumi dan melihat realitas. Berfilosofi penting. Tapi, di masa sekarang, saya kira, tidak ada lagi yang tidak setuju Pancasila, tak ada lagi yang ingin demokrasi dikurangi. Menurut saya, dalam hal ini, orietasi pers tidak lagi bicara filosofi, tapi bagaimana mengoperasikan sistem manajerial. Itu yang lebih penting. 
 
Anda mengatakan pers harus jadi penunjuk arah. Tetapi, bagaimana mau memberikan arahan ya, kalau pers tertentu juga punya kepentingan? Saya sering ditanya, soal independensi pers, dan pers partisan.  Independen adalah kebebasan memilih. Freedom of choice. Independen bukan berarti tidak punya keinginan. Boleh saja memihak, tapi sebagai profesional, pers harus berpegang teguh pada prinsip kode etik dan seterusnya. Memilih dan punya ide boleh. Berbeda dengan partisan yang sifatnya apriori terhadap yang lain dan ngeblok. Keberpihakan boleh tapi demokratis pada ide dan konsepnya. 
 
Keberpihakan Pers erat kaitannya dengan tuntutan ekonomi atau dukungan finansial. Ya, ini kaitannya pers sebagai lembaga ekonomi. Kadang dampaknya menimbulkan persaingan, sehingga bisa rusuh antar pers sendiri. Reformasi membuka pintu yang sangat lebar bagi perkembangan pers, sementara konsolidasi tidak cukup mengimbangi. Akibatnya, berpengaruh ke profesionalisme dan sebagainya. 
 
Bagaimana Dewan Pers menilai Kemitraan antara Pers dengan birokrasi di daerah?
Kemitraan yang berlebihan sebenarnya tidak sehat. Ibarat pepatah, kalau tidak ada, mengapa tidak mungkin tempoa bersarang rendah. Kalau unsur pemerintahan itu tak ada apa-apa, tak ada kuman dalam badannya, tak perlu takut. Orang minang mengatakan, seorang menolak dicukur kepala karena ada kudisnya. Menurut saya, perselingkuhan yang macam ini sangat merusak bagi fungsi pemerintahan dan merusak pers. Tapi, inilah yang kita hadapi. Ada satu pihak ingin agar kita menjalankan misi yang lebih besar, tapi ke dalam, kita juga punya masalah dalam upaya membangun pers yang benar-benar pofesional dan menjadi lembaga publik terpercaya.
 
Bagaimana penilaian Anda mengenai tatanan birokrasi saat ini. 
Yang harus dilakukan banyak sekali. Di pemerintahan, misalnya, saat ini menurut saya, masih ada misstouching dan misshandling. Ada pejabat yang cara berbirokrasinya dengan larangan makan buah impor, atau larangan rapat di hotel. Itu aturan bagus, tapi bukan the starategic point untuk membangun birokrasi yang clean and good. Saya dulu bertugas di lembaga negara. Ketika komputer dan teknologi mulai masuk, harusnya mengurangi tenaga manusia. Tapi, penambahan pegawai rupanya tetap berlangsung. Aneh kan. Di sisi lain, di sejumlah tempat, kita kekurangan guru-guru, atau banyak guru yang kualitasnya belum bagus. Saya katakan, pelajarannya begini: birokrasi itu penting. Tapi birokrasi yang terlalu ruwet dan besar akan menimbulkan birokratisasi. Dan setiap bentuk birokratisasi adalah sumber penyelewengan dan inefisiensi. Memang perubahan tidak bisa dilakukan secara ekstrim. Misalnya, izin usaha mau diperpendek jadi tiga hari. Itu bagus, tapi jangan lupakan kehati-hatian. Apalagi menyangkut investasi besar. Izin tiga hari, tetapi sistemnya tetap harus dibangun. Bukan sekedar memotong waktu. Kalau abai terhadap kehati-hatian, bisa jadi awal persoalan besar. Sumber pengelolaan uang ada di birokrasi. Jika birokrasi tidak disehatkan, peluang korupsi tetap ada. Birokrasi haruslah kokoh. Revolusi mental dibangun oleh sistem dan tata kerja, sehingga memperkecil peluang korupsi.
 
Sistem dan tatanan politik kita saat ini, apakah sudah bergerak ke arah yang lebih baik?  Tatanan politik kita belum menuju penyehatan birokrasi. Saya melihat, masih ada yang orientasinya membagi kue-kue kekuasaan. Misalnya, membahas tentang apakah pilkada dipilih langsung atau melalui DPRD. Energi kita habis berminggu-minggu membahas ini. Katanya, pemilihan langsung selama ini tidak menghasilkan pemimpin berkualitas. Padahal, yang salah bukan sistem pemilihannya, melainkan seleksinya. Rakyat kan hanya memilih calon yang sudah disiapkan. Kalau tidak ada calon yang berkualitas, berarti sistem kepartaian tidak menghasilkan calon bagus.
            Lalu di kepartaian sekarang, ada yang merasa tidak biasa jadi oposisi. Padahal, di negara maju, menjadi oposisi itu sama terhormatnya dengan yang duduk di pemerintahan. Perannya sama-sama untuk menjaga pemerintah agar berjalan baik. Tapi di sini, mereka yang oposisi merasa ngga kebagian apa-apa. ***

Artikel ini telah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Khusus Hari Pers Nasional
Senin, 9 Februari 2016



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar