Minggu, 12 Juni 2016

Eksklusif Dengan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (1) : “Aku Diam Tapi Mematikan....”

 

        Gaya bicara Andi Amran Sulaiman tegas dan lugas, tanpa basa-basi. Menteri Pertanian kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 27 April 1968 ini, punya prinsip bagus: diam tapi mematikan. Sebuah indikator bahwa dia adalah pekerja keras dan tegas, tak kenal kompromi. 
 
Di hari pertama Ramadan, Amran menerima silaturahmi tim Rakyat Merdeka. Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Aditya Nugroho dan Fotografer Muhammad Qori diterima di kantornya di kawasan Ragunan, Jakarta, Senin (6/6) pagi. Berikut kutipannya.
 
            Bagaimana merombak kinerja Kementerian Pertanian selama hampir dua tahun ini? 
Membangun pertanian itu holistik, tak bisa sendirian. Sekarang ini, saat harga naik atau harga turun, yang dicari Menteri Pertanian. Serat gabah kurang atau irigasi rusak, yang disalahin Menteri Pertanian. Padahal, pekerjaan-pekerjaan itu urusannya terkait institusi lain. Misalnya, soal harga ada di Kementerian Perdagangan, dan urusan irigasi ada di Kementerian Pekerjaan Umum. Karena itulah, harus ada sinergi yang kuat, ego sektoral mesti dihilangkan. 
Komoditas yang strategis kini harus diperhatikan. Yang potensi ekspor menghasilkan devisa, misalnya, CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit mentah, karet, cacao, pala. Ekspor CPO saat ini Indonesia nomor 1 di dunia. Ekspor karet nomor tiga di dunia, padahal Vietnam yang kita ajari, sekarang jadi nomor dua di dunia. Ekspor cacao nomor satu di dunia, dan pala juga nomor satu di dunia. Lalu, ada prospek lain. Misalnya mangga, nanas. Jadi pasarnya terbuka. Ini yang harus dijaga. Dan yang impor, kita harus bisa produksi, supaya keran impor berkurang. Yaitu padi, jagung, kedelai, bawang, cabe, gula dan sapi. 
 
Upaya apa saja yang sudah Anda lakukan selama menjadi Mentan?
Selama 1,5 tahun ini banyak upaya luar biasa. Irigasi yang rusak sudah diperbaiki, dan ada mekanisasi pertanian, sehingga terjadi peningkatan produksi, mempercepat penanaman, menurunkan biaya produksi dan tingkat kepuasan petani meningkat sampai 60-70 persen. Dengan teknologi, kita menciptakan alat yang sesuai lahan Indonesia.
Contoh, dulu panen dengan cara manual, 1 hektar makan waktu 10 hari. Tapi dengan teknologi, sekarang cukup 4 jam. Dulu, untuk menanam 1 hektar butuh 20 orang dan selesai 1 hari. Atau 20 hari kalau dikerjakan 1 orang. Sekarang 4-5 jam selesai. Biaya produksi turun sampai 40 persen. Dulu panen manual, tenaga manusia biayanya Rp 2 juta per hektar, sekarang tinggal Rp 1 juta.
 
         Merujuk dari website resmi Kementerian Pertanian, sepanjang tahun 2015, capaian kinerja Menteri Amran sebagai berikut. 1) Produksi padi mencapai 74,99 juta ton, dari target 73,40 juta ton. 2) Produksi daging sapi dan kerbau 0,4445 juta ton dari target 0,44 juta ton. 3) Produksi jagung 19,83 juta ton, dari target 20,31 juta ton. 4) Produksi kedelai 0,983 juta ton, dari target 1,20 juta ton. 5) Produksi gula tebu 2,497 juta ton, dari target 2,97 juta ton. 
Selain itu, pertumbuhan volume ekspor produk pertanian utama 15,66 persen dari target 10 persen. Pertumbuhan volume impor produk pertanian utama substitusi impor mencapai -7,93 persen, dari target -5 persen. Dan Produk Domestik Brutto (PDB) Pertanian mencerminkan peningkatan pendapatan keluarga petani mencapai Rp 8,6 juta dari target Rp 8,3 juta. 
Tahun 2015, Kementerian Pertanian mengelola Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 32,7 miliar dan realisasi penyerapan sampai 31 Desember 2015 mencapai Rp 28,6 miliar atau 87,63 persen. Terjadi efisiensi anggaran sebesar 12,37 persen. Efisiensi berasal dari penghematan dalam pelaksanaan kegiatan. Seperti pengurangan biaya perjalanan dinas, mengurangi rapat konsinyering di hotel serta sinergi monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan. Menurut Menteri Amran, hasil survei INDEF tahun 2016 tentang tingkat kepuasan petani terendah 76 persen dan tertinggi 96 persen.
 
         Apa ada kesulitan untuk melakukan transfer teknologi kepada petani?
Itu proses tidak sulit kok. Petani sekarang pintar-pintar. Dibuat alsintan (alat dan mesin pertanian) yang sistem operasinya mudah. Apalagi ada pendampingan dari mahasiswa, PPL (Penyuluh Pekerja Lapangan) dan TNI. Alat pertanian diberikan gratis, dananya dari APBN dan diserahkan kepada kelompok tani. Tapi, sesudah 2-3 tahun, setelah terbiasa menggunakan petani akan membeli sendiri. Ini cara mengubah pertanian tradisional menuju modern.
 
         Kenapa TNI ikut dilibatkan?
Yang kami berdayakan Babinsa. Karena petani membutuhkan disiplin. Memang ada yang meragukan, tapi ternyata tingkat kepuasan terhadap pendampingan TNI mencapai 89 persen. Jadi, TNI membantu ketahanan pangan nasional. 
 
Apakah banyak regulasi yang dirombak atau direvisi selama anda jadi Mentan?
Membangun pertanian ada rencana jangka pendek, menengah dan panjang. Programnya, antara lain bedah regulasi. Regulasi yang menghambat percepatan swasembada pangan, kita cabut. Benahi. Regulasi tidak boleh keliru. Kebijakan yang salah itu lebih bahaya dari korupsi. Contohnya, potong anggaran kabupaten yang tak berhasil menaikkan produksi, lalu pindahkan ke wilayah yang produktif. 
Tentang aturan tender, kita ubah. Menumbuhkan tanaman tidak sama dengan membuat bangunan. Karena hujan, iklim, hama, tidak pernah menunggu tender. Misalnya, saat jelang panen bawang, kena ulat. Kalau nunggu tender dulu, ya panennya nggak jadi. Bawangnya habis kena hama. Atau tiba-tiba ada banjir. Kalau menunggu dulu tender pompa, ya panennya keburu hancur. Begitu juga dengan pupuk dan benih. Waktunya harus tepat. Pupuk dan benih jangan sampai datangnya saat panen sudah lewat. 
 
         Pupuk dulu sering bermasalah. Sekarang hampir tak terdengar ada keluhan. Kenapa?
Karena ada 40-an orang (sudah) masuk penjara. Saya tegas, semua yang mengoplos itu harus dipenjara. Petani harus dibela.      
           
Penunjukan langsung berpotensi korupsi. Apakah semua perubahan mekanisme aturan termasuk tender ini dikonsultasikan dengan aparat hukum?
Kalau saat penunjukan langsung, ada yang berbuat macam-macam, ya ditindak. Kami bukan sekedar konsultasi dengan aparat hukum. Di dekat sini, ada ruangannya KPK, Reskrim dan Kejaksaan (Amran lalu menunjukkan jarinya ke arah kanan di samping ruang kerjanya). Mereka juga berkantor di sini dan membentuk Satgas (Satuan Tugas). Ini pesan, kalau ada pejabat di sini yang menolak, saya tinggal tanya, ah you mau apa? Mau macam-macam? 
 
Merombak sistem bisa berhasil jika ada perubahan dan kultur SDM-nya...
Dari segi SDM, kita sekarang menerapkan lelang jabatan. Ada Pak J Kristiadi, Prof Hamdi Muluk dan Pak Syarifuddin Baharsyah masuk dalam tim. Mereka dari luar, sehingga tak ada yang bisa mempengaruhi. Ada sistem yang membangun kementerian ini. Menteri atau Sekjen tak bisa menunjuk eselon dua. Saat terpilih, kami beri target pencapaian kerja. Dua bulan kinerjanya buruk, ya dilempar juga. Yang sudah mengalami pergantian di eselon 1 dan 2 ada 68 orang. Ini dalam kurun waktu setahun. Jadi slogannya, aku diam tapi mematikan...
Saya ingin semua pegawai pertanian berpeluang jadi menteri, dirjen. Dengan sistem yang bagus, mestinya seorang dirjen bisa menjadi menteri. Tinggal lihat saja kinerjanya. Ibarat main bola, pernah mencetak gol atau tidak. Mimpi saya, ada kader-kader dari Kementerian Pertanian yang bisa jadi menteri, dan menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia. 
 
Tentang harga-harga menjelang Lebaran, mengapa ada disparitas yang lebar dari petani ke konsumen?
Rantai pasok atau supply chain kita terlalu panjang. Ini saya ceritakan, kami kini mengubah perencanaan pertanian, khususnya untuk bawang. Misalnya di Ngantang, Kabupaten Malang. Lahan tanam bawang di dataran rendah. Saat panen, petani di sana bilang, bawang biasanya membusuk, karena masuk musim hujam. Saya arahkan, tanam di kaki gunung. Pakai pompa untuk menaikkan air. Berhasil. Panen bagus 2.500 hektar. Meskipun saat itu musim hujan tidak busuk, karena lahan daerah miring. 
Saat panen, bahkan saya ajak Dubes Thailand ke sana. Tapi kemudian saya sedih sekali. Harga bawang mencapai Rp 50 ribu per kilogram. Padahal, saya tahu di tingkat petani hanya Rp 8 ribu sekilo. Inilah rantai pasok. Harga 8 ribu di petani Ngantang, tapi sampai di kota mencapai 36 ribu. Terjadi kenaikan hingga 400 persen. Padahal, petani yang menanam bawang itu, 120 hari kena panas dan hujan. Anak istrinya ikut menangis saat ada hama, tapi ruang gerak untungnya hanya 10 persen, bahkan mungkin rugi. Ini rantai pembelinya terlalu panjang.
 
Apakah kebanyakan petani kita memang tidak sepenuhnya menikmati keuntungan gara-gara rantai pasok yang panjang ini?
Ya, memang tidak sepenuhnya. Sekarang harga bawang dari petani diperbaiki. Dibeli Bulog Rp 15 ribu per kilogram. Petani untung. Kalau ini terus dilakukan, target kami, pemuda tidak akan meninggalkan desanya, dan tetap meneruskan pertanian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, setiap tahun 2 juta pemuda peninggalkan desanya. Atau 20 juta pemuda dalam 10 tahun. Ini berpotensi jadi begal dan berbuat kriminal kalau dibiarkan miskin sehingga diperlukan tata niaga untuk memotong rantai pasar.
 
Apa yang sudah dilakukan untuk memotong rantai dan mafia yang memainkan harga?
Intinya mengubah struktur pasar. Dari petani, pengusaha, kemudian koperasi sehingga petani untung, konsumen tersenyum. Presiden juga meminta sinergi. Menteri BUMN, Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian. Memotong rantai middle man, saya menyebutnya begitu, tak cukup dengan regulasi saja, harus pakai sistem tegas. Dari petani, bawa ke Toko Tani, hasil kerja sama Koperasi dan PT Pos. Koperasi di Jabodetabek ada 20 ribu sudah kerja sama. Ekonomi akan menggeliat dan inflasi turun. 
 
Sinerginya bagaimana? Soal keran impor saja, sering terjadi beda pendapat antara Kementerian Pertanian dengan Kementerian Perdagangan? 
Prinsipnya bekerja harus lebih baik dari kemarin. Beda pendapat itu rahmat. Soal keran impor, misalnya, saya mengatakan tidak impor karena saat itu menghadapi panen puncak dan harga akan turun. Sementara Pak Menko (Perekonomian) dan Pak Mendag mengatakan akan impor, ya itu benar juga. Karena untuk menjaga inflasi saat harga tinggi. 
Jadi, Pak Menko dan Pak Mendag menjaga suasana masyarakat dan konsumen agar harga di pasar baik. Sementara saya menjaga petani, supaya sustain. Dua-duanya dijaga, masyarakat konsumen dan petani. Semangat merah putih. Itulah hebatnya kabinet kerja.
 
Saat hari pers nasional Februari lalu, Gubernur NTB di depan Presiden mengatakan, harga jagung di daerahnya murah sekali dan hanya dibeli Rp 1.500 per kilogram. Ini mungkin akibat impor jagung. Sekarang bagaimana?
Wah sekarang Gubernur saat telepon, sudah senang sekali. Jangan cerita impor deh. Petani sekarang semangat menanam jagung. Pakai sistem tanam cepat. Belum dipanen, bagian bawahnya sudah mulai tumbuh lagi. Kalau untung, petani tidak akan tidur. Mereka semangat bertanam. 
 
Jagung petani murah karena sebelumnya ada impor sampai 1,5 juta ton per tahun. Sekarang impor sudah berkurang?
Impor jagung kita sekarang turun 50 persen. Itu angka yang besar sekali. Kami tegas. Impor harus sesuai kebutuhan, bukan keinginan. Kalau ada pihak-pihak yang ingin impor, kami tunjuk ruangan sebelah (Satgas KPK, Reskrim, Kejaksaan). Atau kalau ada yang minta proyek. Lapor sama sebelah. Aku paraf, kalau di situ tanda tanganha...ha...ha..
 
Target Pemerintah dalam tiga tahun bisa swasembada beras. Sudah sampai mana progress-nya?
Sejak 2015, kita lakukan akselerasi. Seluruh upaya khusus dilakukan Kementerian Pertanian atas arahan Presiden. Tahun 2015, El Nino terbesar sepanjang sejarah. Tapi produksi beras kita malah naik 5 juta ton. Bayangkan, upaya dan pertarungan kita mendapatkan hasil ini. Kondisi kritis, tapi produksi beras naik. 
Saat El Nino 1997, Indonesia mengimpor beras total 7,1 juta ton untuk memenuhi konsumsi 202 juta penduduk. Kalau diinterpolasi, maka saat El Nino tahun ini, harusnya kita mengimpor lebih dari itu. Tapi kenyataannya, kita baru impor 1 juta dan itu pun masih di gudang. ***
 
Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Jumat, 10 Juni 2016
 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar