Senin, 27 Juni 2016

Ngobrol Angkutan Lebaran dengan Menhub Ignasius Jonan: “Stasiun Kereta Bisa Bagus, Kenapa Terminal Nggak.."


 


Ini salah satu menteri yang amat sibuk menjelang lebaran. Tidak pernah ikut mudik tapi ditunjuk sebagai Koordinator Penyelenggara Angkutan Lebaran. Sejak awal Ramadhan, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, turun ke berbagai wilayah di Jawa, Bali, Sumatera. Kepada Kiki Iswara, Ratna Susilowati, Kartika Sari dan Fotografer Patra Rizky Syahputra, Jonan menceritakan aktivitas dan programnya melakukan pengecekan secara nasional ribuan moda angkutan lebaran di terminal, pelabuhan dan bandara. Obrolan berlangsung di kediaman dinas, Jalan Widya Chandra, Jakarta Pusat, (19/6).

Bagian tersulit dari mempersiapkan angkutan mudik lebaran, apa ya?
Bagian tersulit adalah memberikan pemahaman, awarness, kepada semua pihak termasuk regulator, tentang pentingnya keselamatan. Bahwa mudik adalah suatu kegiatan extraordinary, karena memindahkan manusia dari tempat satu ke tempat lain, dengan jumlah minimal dua kali lipat dari akhir pekan atau bisa tiga kali lipatnya. Sehingga, aspek keselamatannya harus betul-betul diperhatikan. 
 
Yang sulit juga, menghadapi, yang memaksakan pemahaman. Kendaraan tidak laik jalan, tapi, memaksa diberangkatkan. Kalau diberangkatkan, lalu ada kecelakaan? Ya dianggap nasib. Lha, nggak bisa seperti itu. Kendaraan tidak layak ya, tidak boleh diberangkatkan. Ini contoh. Ada kapal Pelni kelebihan muatan, dicegat di Makasar. Syahbandar tidak memberi surat perintah berlayar. Ribut. Tapi, tetap tak boleh berangkat. Kenapa? Karena kalau terjadi kecelakaan, Syahbandar-nya yang akan dihukum, kalau perlu dipidanakan. Begitu semua penumpang diturunkan, ternyata ratusan tiketnya palsu. Nah, kalau ada tiket palsu, masa orang Pelni nuduh oknumnya orang luar? Pastilah ada kerjasama dengan orang dalam. Wong bikin tiket palsu kok bisa naik ke kapalnya, bagaimana?
 
Contoh lagi. Dulu kereta api jarak jauh dan menengah, pelayanannya hancur, sering kecelakaan saat lebaran, dan sebagainya. Sekarang tertib. Satu orang, satu seat. Hasilnya, lebih aman. Bahkan media massa tak perlu lagi datang ke Senen (Stasiun Senen, Red). Media pasang tivi di sana, mau liat apa? Liat ikan? Hehehe...
 
Dulu mudik naik kereta api sampai gelantungan, masuk lewat jendela...
Ya itu. Yang paling sulit adalah penyadaran tentang keselamatan transportasi. Saat, saya mengurus kereta api, prinsipnya, semua penumpang yang datang ke stasiun harus terangkut. Dan syarat penumpang yang terangkut, yang punya karcis. Kalau jumlah karcis melebihi tempat duduk ya, berarti operatornya goblok.

Bagaimana kondisi umum terminal-terminal tipe A di daerah? Menurut saya, sangat amat tidak layak, dibandingkan stasiun kereta. Yang paling mendingan ya, Terminal Bungur Asih, Surabaya. Sisanya, minta ampun. Nanti, kalau sudah dikembalikan ke Kementerian Perhubungan, akan saya benahi. Kemungkinan akhir tahun ini. 
 
Apakah Kemenhub sudah meminta kepada kepala-kepala daerah, agar terminal-terminal bis di wilayahnya dibenahi? Sudah disurati. Kadishubnya sudah diberi tahu, agar mengontrol setiap bis yang berangkat, memperhatikan aspek safety dan sebagainya. Seyogyanya, kepala daerah masing-masing bertanggungjawab atas terminal yang dikelola. Sudah saya kirimi surat. Tapi, sepanjang tujuh tahun lebih memimpin transportasi, saya yakin awarness kepala daerah soal ini tidak tinggi. Mereka aware, kalau ada kemacetan, karena takut diprotes. Atau, kalau ada masyarakat di pelabuhan yang tidak terangkut. Tapi, apakah mereka berhitung, misalnya, jumlah angkutannya cukup atau tidak. 
 
Secara umum pengelolaan terminal bis di daerah bagaimana sih?
Terminal bis yang di Jakarta, coba bandingkan dengan Stasiun Kereta Api Senen deh. Kalau ada terminal yang lebih bagus dari Stasiun Senen, maka mestinya mereka bisa mengelola sendiri. Asal tahu saja ya, di seluruh Indonesia itu, ada 700 stasiun kereta api dan hanya ada 140 terminal bis tipe A. Di Jabodetabek, ada 101 stasiun kereta api, bandingkan dengan jumlah terminal tipe A-nya nggak sampai 10. Kalau Stasiun Senen bisa bagus, masa terminal nggak bisa? Ini pesan bukan hanya untuk DKI ya. Sebaiknya jangan membangun moda transportasi lain, tanpa memperbaiki yang ada. Yang lama ditertibkan dulu, itu sudah luar biasa membawa perubahan di masyarakat.
 
Mengapa ada Kepala Daerah yang menginginkan agar terminal tipe A tidak dikelola Kementerian Perhubungan? Bagi Kementerian Perhubungan, mengelola terminal itu justru menambah biaya. Memang, biaya operasional dari Pemda akan dialihkan ke Pemerintah Pusat. Tapi yang terpenting, mau pelayanan lebih baik atau tidak? Nah ada yang mempertanyakan, Kemenhub apa mampu mengelola terminal bis? Jawaban saya, kalau saya menterinya, yakin bisa. Dulu kereta api saja bisa dikelola, padahal waktu itu saya bukan menteri, tapi bisa. 
 
Bandara, stasiun, terminal dan pelabuhan mana saja yang sudah dicek dan siap menerima arus mudik? Begini ya. Yang menjadi fokus saat ini, 52 pelabuhan umum, 14 pelabuhan penyeberangan, 27 bandara, dan sekitar 80-an terminal tipe A di Jawa Bali Sumatera. Semua sudah dicek, dan proses perbaikan sampai tanggal 24 Juni. Tantangan terbesar ada di darat, karena bisnya banyak. Kita lihat, apakah personil di Kementerian Perhubungan ini bisa menyelesaikan pengecekan? Jangan hanya ngomong saja. Ini anggaplah sebagai satu ujian besar bagi kita regulator keselamatan. Bisa nggak mengecek ini semua? Direktorat Jenderal Perhubungan Darat dan Perkeretaapian, sanggup nggak mengeceknya? Mestinya mampu, bukan hanya teori, tulis menulis, lalu sekolah, dapat doktor transportasi, tapi nggak mengerti, ini barangnya apa. Kalau nggak bisa, ya saya buang semua, saya cari orang lain. Ini saya bicara nggak pernah ngancam, tapi kalau ngomong, saya jalanin. 
 
Bagaimana prediksi arus mudik tahun ini. Perlambatan kondisi ekonomi, apakah berpengaruh ke arus mudik? Tetap terjadi penambahan sekitar 3-4 persen dibandingkan tahun lalu. Rinciannya, penumpang pesawat terbang naik minimal 7 persen, penumpang kapal laut turun 5-6 persen, dan bis turun 1-2 persen. Sedangkan penumpang kereta api naik 2-3 persen. Sehingga secara keseluruhan, peningkatan arus mudik kisaran 3-4 persen. Ini untuk transportasi umum ya. Yang non umum, kemungkinan akan naik juga. Yang saya takutkan, sepeda motor akan lebih banyak lagi dibanding tahun lalu. Yang bawa mobil sendiri juga. Kenapa? Karena makin bertambah jalan raya, mobil pribadi tidak akan berkurang. Di seluruh dunia, kalau jalan raya-nya bertambah, ya pasti kendaraan pribadi juga bertambah. 
 
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan, arus mudik 2015 angkutan bus turun sekitar 8,2 persen dibanding 2014. Dan angkutan laut, turun sekitar 3,93 persen. Sedangkan penumpang di angkutan penyeberangan (naik 5,45 persen), kereta api (naik 0,98 persen) dan pesawat (naik 9,19 persen). Rinciannya sampai H+3 sebagai berikut:
Penumpang angkutan bis dari 3.836.259 (2014) menjadi 3.521.559 (2015)

Penumpang kapal laut dari 662.599 (2014) menjadi 636.546 (2015).

Penumpang Angkutan penyebrangan dari 2.587.376 (2014) menjadi 2.728.510 (2015)

Penumpang kereta api 2.864.167 (2014) menjadi 2.892.349 (2015)

Penumpang Pesawat domestik 2.490.088 (2014) menjadi 2.719.017 (2015)
 
Mengapa penumpang kapal laut dan bis turun? Kapal laut makin tidak populer untuk penumpang yang menempuh jarak jauh. Apalagi kalau daya tampung bandara makin besar. Makin banyak orang pilih pesawat karena menghemat waktu. Misal, dari Banjarmasin ke Surabaya. Menggunakan kapal laut bisa 18-20 jam. Bandingkan dengan pesawat, tak lebih dari 90 menit. Karcis pesawat 700-an ribu, naik kapal 200-300 ribu. Kalau orang punya uang lebih, akan pilih pesawat. Ke depan, kapal laut akan lebih banyak melayani angkutan barang. Kapal laut penumpang, sistemnya cluster. Satu kapal berputar di area tertentu. Misal, Kepulauan Aru, ada satu kapal memutari kepulauan, karena tidak semua titik di wilayah itu dibangun bandara. Begitu juga di Kepulauan Riau, Kepulauan Sangihe dan seterusnya.

Menteri sudah ngecek wilayah mana saja menjelang arus mudik? Kabarnya sudah ke Yogya, Malang, Banyuwangi, Batam, Balikpapan dan Lampung. Ada temuan menarik saat blusukan? Lho, ini bukan blusukan, tapi jalan-jalan hehehe... Yang paling menarik itu mengecek Pelabuhan Pelni di Sekupang (Batam). Itu bekas gudang, dan kondisinya sangat tidak layak. Lampu penerangan tidak cukup, toilet terbatas. Saya perintahkan, pindah ke Pelabuhan Batuampar, mulai Senin (20 Juni 2016, Red). Tapi, tadi saya cek, belum pindah. Kalau tak kunjung pindah, nanti saya cabut izin penyelenggara pelabuhannya. Kalau Syahbandarnya tak mau pindah, berarti ada apa-apanya. 
 
Tentang pengoperasian Terminal 3 Ultimate yang ditunda. Bagaimana tanggapan dari Presiden? Nggak ada. Menelpon saya juga tidak. Presiden biasa saja.
 
Bukankah Angkasa Pura 2 bercita-cita, Terminal 3 Ultimate jadi hadiah lebaran untuk masyarakat? Ya, cita-cita boleh saja.
 
Yang kurang di Terminal 3 Ultimate itu apa sih? Mungkin kalau hanya dari sisi layanan, tambah waktu satu dua minggu, bisa. Ini layanan saja ya, termasuk sistem pasokan bahan bakar, sebetulnya tidak bisa pakai truk tangki untuk airport sebesar itu. Lalu, kondisi listrik. Ya, saat ini satu demi satu diperbaiki. Tapi yang utama, airside, perlu pengaturan. Apron, taxi way dan sebagian ujung landasan, saat ini tidak kelihatan di tower, karena ketutupan bangunan bandara. Padahal, tower itu harus bisa melihat seluruh airside. Atau kalau tidak bisa, ya dibuat static radar untuk mengatur seluruh pergerakan yang ada di airside. Oleh tower sekarang ini hanya diberi CCTV. Padahal, untuk safety harus zero tolerance. Bisa menggunakan subtower atau AMC, Apron Management Control. Ini belum dibuat. Sekarang ini, mau menyewa moveable tower, miliknya Kemenhub. Katanya mau dicoba, sambil membangun. Ya, silakan saja, sambil kita lihat. 
 
Moveble tower atau mobile tower milik Kemenhub sudah diujicoba beberapa hari di Terminal 3 Ultimate. Namun hasilnya tidak efektif. Menurut Direktur Navigasi Ditjen Hubungan Udara, Novie Rianto, mobile tower tingginya hanya 7 meter saja. Padahal, tinggi garbarata (pintu belalai) mencapai 12 meter, tinggi ekor pesawat 737-800 sekitar 12 meter dan ekor pesawat Boeing 777 ada yang mencapai 15 meter. “Eyelevel mobil tower hanya sekitar 7 meter. Dan saat kena angin kencang langsung goyang,” katanya.
 
Jadi, dengan banyak kekurangan seperti itu, diperkirakan kapan Terminal 3 Ultimate bisa beroperasi? Apakah ada deadline dari Kemenhub? Kami menunggu kesiapan operator. Kalau merasa sudah siap, ya nanti kami uji lagi. Mengujinya cepat kok. Trial hanya 2-3 hari, lalu seminggu bisa jalan. Ini bukan kita bermaksud menghambat lho. Nggak ada untungnya kita menghambat. Justru kita ingin, makin cepat beroperasi makin baik. Tapi, harus memenuhi standar keselamatan penerbangan. ***

Artikel ini dimuat di 
Harian RakyatMerdeka
Edisi Jumat, 24 Juni 2016


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar