Kamis, 12 Januari 2017

Menteri ESDM Ignasius Jonan: Presiden Bilang Listrik Harus Murah Supaya Bangsa Ini Kompetitif



Presiden ingin harga listrik lebih murah sehingga terjangkau masyarakat. Bagaimana caranya? Sebagai regulator, peran Kementerian ESDM amatlah penting untuk membuat harga listrik lebih kompetitif. Bagaimana caranya? Ignasius Jonan yang baru 2,5 bulan duduk di kursi Menteri ESDM itu membeberkannya cukup detail. Wawancara dengan Jonan berlangsung di Bali, pekan lalu, di saat kunjungan kerja ke pembangkit listrik dan terminal BBM. 

Presiden Jokowi berulang kali menyebut bahwa harga listrik harus murah. Bagaimana peran Menteri ESDM merealisasikannya?

Jadi begini. Pertama, goal atau tujuan dari Bapak Presiden, bahwa listrik harus makin lama makin affordable atau harganya makin terjangkau oleh masyarakat. Bagi kebanyakan orang yang tinggal di kota besar, atau yang kelas menengah ke atas, mungkin listrik itu bagian yang biasa saja saat harganya naik atau turun. Tapi Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke. Dari Miangas sampai Pulau Rote. Penghasilan orang beda dan kehidupannya pun berbeda-beda. Kita ini satu bangsa, tapi akses listrik sekarang baru tercapai 89 persen.

Target sesuai arahan presiden, tahun depan, diharapkan elektrifikasi 92 persen. Tahun 2018, menjadi 96 persen. Dan, 2019, jadi 100 persen. Sehingga 2019, semua rakyat Indonesia punya akses listrik. Nah, 100 persen elektrifikasi itu, bukan berarti listrik tersedia tapi orang nggak bisa beli. Listrik harus tersedia dan terjangkau. Itu yang dimaksud listrik murah, bahwa harganya makin lama makin terjangkau masyarakat. 

 

Kedua, ini masalah daya saing bangsa dari segi produksi. Kalau listrik makin murah atau kompetitif, maka barang produksi Indonesia bisa makin kompetitif. Ini tujuan Presiden yang harus dijalankan oleh semua stakeholder di bidang kelistrikan. Regulatornya, saya. Jadi, saya harus mendorong ini.

 

Caranya?

Caranya tentu bukan membuat peraturan semata. Satu, membuat atau mengarahkan sumber energi dasar listrik sesuai geografis dan juga sesuai dengan sumber-sumber listrik atau sumber energinya. Contoh, sekarang saya sudah izinkan di daerah tambang batubara dibangun mine mouth coal fire plant atau pembangkit listrik di mulut tambang.

 

Bukankah dulu rencana itu ada. Tapi nggak berkembang...

Begini. Kita akan ubah beberapa aturannya. Contoh, tambang batu bara Bukit Asam di Tanjung Enim. Kirim batu bara pakai kereta, dibawa ke Lampung. Lalu dibawa ke Tarakan (Kalimantan Utara) pakai kapal, atau dikirim ke Tanjung Jati di Jawa barat. Ini biayanya berapa besar coba? Nah, kalo bikin listrik di situ (dengan pembangkit mulut tambang), lalu tinggal bikin transimisi. Mungkin sebagian transmisi dibikin PLN, sebagian lagi dibikin Bukit Asam, lalu dibuatkan gardu induk, bisa nyambung. Bikin transmisi biaya perkilometernya lebih murah dan lebih mudah dibanding biaya transportasi (mengirimkan batu bara).

 

Kedua, kita lagi buat peraturan menteri. Kita mendorong PLN bisa tunjuk langsung pembangkit listrik tenaga gas untuk yang di sumur-sumur gas. Namanya, well-head gas turbine power plant. Nah, gas juga sama. Bayangkan, bikin pipa segitu panjang, ratusan kilometer. Kan lebih baik power plant dibangun di situ, bikin transmisi, lalu buat gardu induk. Itu lebih murah. 

 

Ketiga, kita mendorong Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Sesuai kesepakatan di COP 21 (Conferene of the Parties) di Paris tahun lalu, bahwa bauran energi ini diharapkan mencapai 23 persen di tahun 2025. Tapi, begini ya. EBT jangan diarahkan bahwa yang mendorong adalah ide atau keilmuan semata, tetapi listrik yang reasonable. Yang masuk akal, sesuai sumber di daerahnya. Jangan yang sudah ada panas bumi, malah bikin PLTU yang pakai batu bara. Apalagi, ngirim batu baranya jauh. Di daerah yang ada panas buminya, ya bikin PLTP (Pembangkit Listrik Panas Bumi), seperti Lahendong (Minahasa), Ulubelu (Lampung), Kamojang (Garut) dan sebagainya. Panas bumi kita ini potensinya diestimasi bisa menghasilkan 29 ribu Megawatt. Tapi yang baru dibikin sekitar 1.500 MW atau baru sekitar 5 persennya. Target kita bisa mencapai 7.500 MW di tahun 2023.

 

Contoh lain. Di pesisir, misalnya Papua. Di Sorong, Kaimana atau Jayapura. Kalau ada pertanyaan, bisa nggak dibangun PLTU pakai batubara? Jawabannya, ya pasti bisa. Tapi mengirim batubaranya darimana? Kalau dari Kalimantan. Itu ongkosnya mahal. Nah, kalau mau, bisa pakai gas, supply lebih dekat, ada dari Tangguh. Gas bisa dibawa menggunakan kapal ke Jayapura, dan mungkin bisa sampai ke Manokwari.

 

Bagaimana dengan wilayah Papua yang aksesnya sulit. Pengiriman gas atau batubara tentu jadi kendala? Jadi, saya merasa beruntung ditugaskan hampir dua tahun di Perhubungan. Saya sudah melihat 34 provinsi sebanyak rata-rata 2,5 kali. Jadi tahu gambarannya. Yang di Wamena, Yahukimo, Oksibil dan wilayah yang pegunungan-pegunungan itu, nggak bisa pakai gas. Kalau mau pakai gas, misal bangun di Sorong, masa narik kabelnya sepanjang itu, ongkosnya berapa? Wong tengahnya hutan semua, nggak banyak yang tinggal. Kalau gas sudah pasti tidak mungkin pakai pesawat, karena gas itu mudah terbakar. Kecuali gas perut ya, hahaha (tertawa).

 

Nah, caranya bagaimana? Ya bikin pembangkit setempat. Liat kondisi. Kalau bisa tenaga matahari ya, pakai matahari. Ada orang bilang, mataharinya nggak cukup. Ya, kalau nggak cukup, bisa dual power. Matahari dan misalnya, diesel. Tapi saran saya jangan diesel ya. Bukan karena mahal. Tapi, bawa dieselnya itu ke sana pakai pesawat. Mahal.

 

Kalau bangun pembangkit tenaga matahari, ya solar farm-nya harus besar sekali. Kemungkinan lain, pakai mini hidro. Kalau letak desanya jauh-jauh, ya pakai mikrohidro. Satu kecamatan, bisa pakai satu Pembangkit Lisrik Mikrohidro atau PMH. Satu pembangkit menghasilkan setengah megawat. Itu setengah juta watt lho. Cukup. Masa ada satu kecamatan di desa terpencil butuh satu juta watt? 

 

Yang lain, misalnya di tempat yang banyak sungai. Presiden sudah pernah jelaskan. Di Papua, ada Sungai memberamo, ya itu dipakai. Kalau perlu bangun pembangkit listrik tenaga air. Lalu, di kota-kota besar, kami sarankan, pakai tenaga sampah atau biomassa. Itu bisa. Kecil-kecil nggak apa. Sifatnya independen. 

 

Nah, hal-hal seperti ini harus diperjuangkan, supaya harga listrik bisa terjangkau. Kalau PLN terus dipaksa untuk jual listrik murah, tapi beli listriknya mahal sekali, ya berat. Akhirnya teriak subsidi. Nah, itu nantinya debat lagi. 

 

Kalau pembangunan listrik bisa bersifat independen, berarti tidak ada lagi jaringan listrik nasional ya? Jaringan listrik nasional atau national grid nggak ada di Indonesia. Lha wong, Indonesia negara kepulauan kok pakai nasional grid. Amerika saja yang luas daratannya 4 kali Indonesia, tapi satu benua, dia juga nggak nyambung listrik ke kepulauan. Nah, Indonesia yang pulaunya ratusan ribuan, meski yang dihuni mungkin sekitar 800-an pulau, kalau mau nyambung listrik itu biayanya berapa? 

 

Misalnya, di kepulauan-kepulauan Maluku. Begitu ada Blok Masela, bisa dipakai gasnya. Di Maluku Utara juga bisa, karena pegunungannya nggak terlalu tinggi. Kalau Masela jadi, itu untuk dijual gasnya, dan bisa untuk bangun listrik di situ. Dari Sulut, dekat dengan Maluku Utara, PLTG juga cocok, karena tidak terlalu jauh dari Teluk Bintuni. 

 

Di Sulawesi Utara, kalau mau bangun coal fire (PLTU) sebenarnya cocok karena batubaranya dari Kalimantan nggak jauh. Tapi, pembangunan PLTU di sana, kecuali diatur luarbiasa soal polusinya. Kalau nggak (diatur) bisa mengganggu, karena Sulawesi Utara targetnya menjadi provinsi pariwisata, seperti Bali.

 

Bagaimana support pemerintah terhadap energi baru dan terbarukan. Pemerintahan sebelumnya tidak memberi atensi khusus terhadap hal ini. 

 

Begini. Jangan orang sekedar bilang Pak, saya punya teknologi. Misalnya, solarcell, mereka bilang, ini harus dipake dan di Jakarta pun harus dipakai. Lho, menurut saya, ya tergantung. Harganya bagaimana? Orang cari listrik, kan sama dengan cari penghidupan. Dimana yang paling kompetitif, ya apa (sumber untuk listriknya) di situ. Ini penting. Arahan Presiden begitu. Bukan bilang pokoknya harus, pokoknya begini. Nggak bisa dipaksakan. 

 

Sebulan lalu, saya bicara dengan menteri energinya Uni Emirates Arab, saat pertemuan OPEC, Wina. Dia bilang, negaranya membangun solar cell 150 MW, dan harga listriknya 2,99 sen. Lha, di sini, pembangkit solar cell mintanya 14 sen, 15 sen atau 20 sen USD. Orang lalu bilang, ya Timur Tengah, mungkin absorbsi sinar mataharinya banyak. Yo wislah, dikali dua deh. Sekitar 6 sen USD, bisa? Atau, sudahlah. Kalau nggak bisa 6 sen USD, bisa tidak disamakan saja dengan harga listrik gas. Kalau itu bisa, sudah alhamdulilah. Gitu, lho. 

 

Januari ini, saya mau ke sana mewakili Presiden. Coba nanti kita liat sendiri. Ini negara Emirates, lifting minyaknya sehari 3 juta barrel, dan konsumsi mereka cuma 100-150 ribu barrel. Negara eksportir minyak terbesar, tapi mereka sudah memikirkan membangun listrik dengan sollar cell. Jadi, saya sangat mendorong energi baru terbarukan. Itu passion luar biasa. Kita targetnya ada, tapi harganya harus terjangkau.

 

Tentang pernyataan Presiden bahwa harga listrik selama ini mahal karena ada broker atau makelar pembangkit listrik. Bagaimana tanggapan Anda?

Saat di Lahendong (Minahasa), ada arahan Presiden. Tolong, listrik ini investasinya dan segala macemnya itu, jangan sampai ada makelar di tengah. Jadi ini, misalnya begini. Ada investor asing mau investasi listrik dan ikut tender. Karena prosesnya sulit –nah, ini harus kita permudah ya— maka, dia cari-cari dan dikenalkan dengan Tuan X. Nah, X lalu bilang pada investor itu, sudah begini saja, sampeyan bawa uang nggak? Bawa. Punya teknologi? Punya. Ya, sudah semua dokumen, kata Tuan X, saya yang urus sampai jadi deh. Tapi, nanti saya minta saham gratis 20 persen. Nah, yang kayak begini ini kan nambah biaya. Gitu lho.

 

Apakah ada upaya lain terkait regulasi perhitungan investasi, untuk membuat harga listrik murah? 

Ini terkait dengan arahan Presiden menyangkut energi dasar. Waktu kami ke Iran. Iran itu jual LNG murah. Katanya murah. Saya belum tahu sih. Tapi, apabila masuk ke Indonesia, lalu masuk ke pembangkit-pembangkitnya PLN, itu mesti dihitung, nett berapa harganya. Nah, kita akan bikin patokan. Kita keluarkan peraturannya. Misal, harga gas per mmbtu itu 0,12 ICP (Indonesia Crude Price). Nah, kalau harga penawaran lebih dari itu, dia boleh impor tapi harganya harus di bawah itu. Boleh saja impor dan Presiden bilang kenapa nggak, supaya lebih sehat, ada kompetisi. 

 

Menurut Pak Dirut PLN, investasi listrik itu ya, kadang uangnya 8-10 tahun kembali. Jadi, kalau ada kontrak selama 30 tahun, orang itu berarti untungnya besar sekali. Di PLTP Lahendong yang kemarin, saya tanya. Ini, disusutkan berapa tahun aktiva tetapnya, semua instalasi. Jawabnya, 7 tahun. Ya, menurut saya, kurang dong. Lha wong pipa segala, misalnya, itu bisa dipakai 15-20 tahun kan. Makanya, harga jadi mahal. Nah ini akan kita atur. Kita akan usulkan, nanti diubah penyusutan seumur kontrak atau minimal 20 tahun, mana yang lebih kecil.

 

Harga jual listrik di PLTP Ulubelu, misalnya sekitar 7,5 sen USD. Di Lahendong sekitar 11,4 USD. Itu menurut saya terlalu tinggi. Penyusutannya harus dibikin 20-an tahun supaya harganya turun. Terhadap kontrak yang sudah ditanda-tangani ya tidak bisa diubah. Kita harus menghormati kontrak. Tapi, yang belum ya kita akan perbaiki menggunakan Peraturan Menteri. Tentunya, kita akan mendorong sebuah aturan yang fair dan reasonable buat pelaku dunia usaha juga.

 

Listrik murah ini kan tujuannya mulia sekali. Bapak Presiden bilang, harga listrik harus lebih murah supaya bangsa ini lebih kompetitif produksinya dan semua rakyat bisa menjangkaunya. Listrik ini termasuk kebutuhan dasar. Tidak ada listrik, maka peradaban sangat sulit tumbuhnya. 

 

Listrik Indonesia sekarang ini katagorinya mahal atau murah dibanding negara lain?

Mahal murah itu harus ada komparasinya. Ini, contoh. Ada pembangkit listrik tenaga hidro yang besar sekali, sekitar 2.000-an MW di Serawak. Terserah, orang mau bilang ini desperate atau nggak desperate. Tapi, faktanya, dia jual listrik ke PLN Malaysia kira-kira 2 sen USD. Nah, kita liat, pembangkit listrik tenaga hidro di kita, harganya sekitar 7-8 sen USD. Nah, kenapa nggak dicari efisiensinya, gitu lho. Kok industri ini tidak berjuang supaya output produknya menjadi lebih mudah, terjangkau dengan kualitas lebih baik dan lebih murah. Kan mestinya, itu harus diperjuangkan. Semua industri di era globalisasi, tanpa pengecualian, termasuk industri energi, ya harus begitu.

 

You tahu, misalnya handphone. Dulu, 25 tahun yang lalu, ukuranya besar sekali. Padahal fungsinya, cuma buat telepon, nggak bisa untuk SMS, padahal harganya bisa satu Kijang. Nah sekarang, handphone sudah canggih, kapasitas mungkin 10 kali lipat dari handphone zaman dulu itu, tapi harganya cuma seperlimapuluh Kijang. Nah, itu lho maksudnya teknologi itu. Jangan tambah lama, tambah mahal. Industri listrik itu ya, harusnya kayak gitu. 

 

            Detikcom mengutip data dari PLN, harga rata-rata listrik Indonesia dibanding negara lain perSmester 1 2016, adalah sebagai berikut: 

 

Tarif Listrik Industri Besar: Singapura (Rp1.689/kWh), Filipina (Rp1.551/kWh), Thailand (Rp1.270/kWh), Malaysia (Rp1.066/kWh), Indonesia (Rp1.011/kWh) dan Vietnam (Rp777/kWh).

Tarif Listrik Bisnis Besar: Singapura (Rp1.843/kWh), Filipina (Rp1.607/kWh), Malaysia (Rp1.320/kWh), Vietnam (Rp1.305/kWh), Indonesia (Rp1.159/kWh) dan Thailand (Rp1.114/kWh). 

Tarif Listrik Rumah Tangga: Filipina (Rp2.653/kWh), Singapura (Rp2.602/kWh), Indonesia (Rp1.496/kWh), Malaysia (Rp1.374/kWh), Thailand (Rp1.351/kWh) dan Vietnam (Rp1.120/kWh).

***

Wawancara ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Rabu, 4 Januari 2017


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar