Sabtu, 12 November 2016

Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar: Ada Titik Api, Pemilik Lahannya Langsung Kita Telepon

 

            Peristiwa kebakaran hutan dan darurat asap, meredup setahun terakhir. Apakah kebakaran hutan sudah bisa ditaklukan? Bagaimana agar bencana asap tidak terulang lagi? Berikut ini obrolan Menteri Kehutanan Siti Nurbaya Bakar saat silaturahmi dengan Tim Rakyat Merdeka di kantornya, akhir pekan lalu. Dari Rakyat Merdeka Kiki Iswara Darmayana, Ratna Susilowati, Riky Handayani, Kartika Sari, Fiki Azis dan Fotografer Dwi Pambudo

 Bagaimana caranya menaklukan kebakaran hutan. Setahun terakhir ini, kejadiannya tidak masif seperti waktu lalu. Adakah strategi khusus? Ya dijagain terus. Atau orang Jawa bilang, di-rewangin. Yang kami lakukan, begini. Pertama, memonitor setiap hari, sepanjang tahun. Itu konsisten. Meskipun kadang ada yang bete, tetapi harus dilakukan konsisten.

 Kedua, komunikasi dan interaksi. Harus rajin memberitahu gubernur saat di kabupaten tertentu titik apinya diperkirakan banyak. Tiap Dirjen dan Irjen mendapat tanggungjawab wilayah untuk melakukan pemantauan dan komunikasi. Misalnya, begitu ada hotspot, gubernurnya diajak bicara sampai ditemani saat mengambil keputusan. Juga ada komunikasi dengan Satgas. Secara teknis, kebakaran hutan itu sebenarnya ditangani BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Mereka yang menyediakan pesawat. Saat ada warning, kita berinteraksi. BNPD turun bersama Manggala Agni (pasukan pemadam kebakaran hutan dan lahan) juga TNI dan Polri. Yang tak kalah penting adalah terus menerus mewarning perusahaan. Tiga bulan sekali kita ingatkan. Kita kirimi mereka surat. Begitu ada hotspot (titik api), kita lihat di konsensi, dan langsung pemilik lahannya ditelepon.

 Dengan mekanisme bekerja seperti ini bagus hasilnya. Tahun ini sampai minggu kedua Oktober, lahan yang kebakar seluas 270 ribuan hektar. Dibanding sebelumnya mencapai 2,6 juta hektar. Di lahan gambut, tahun lalu mencapai 900 ribu hektar, sekarang 42 ribu hektar.

 Illegal Logging biasanya jadi isu yang seksi. Tapi dua tahun belakangan ini terasa meredup. Mengapa demikian? Tentang illegal logging. Kita masih terus mengejar pelaku-pelakunya. Tapi memang makin sedikit ya. Dulu, pemain-pemainnya ada di Kaltim, Kalbar dan di beberapa kabupaten tertentu. Sekarang mulai nggak kelihatan. Masih ada tapi sedikit. Sebagian dari mereka ada yang sudah bermetamorfosis. 

 Maksudnya metamorfosis? Dulunya, mereka merambah dan mungkin masuk katagori illegal logging, lalu dilegalisir dengan izin kepala daerahnya. Kemudian dimintakan lagi izin hingga ke pusat, sampai disahkan dengan tata ruang. Begitulah metamorfosisnya. Tapi yang seperti ini kita tetap waspadai. Ada beberapa contoh. Yang Taman Nasional Tesso Nilo (Riau), misalnya, itu kelihatan banget. Dari 80 ribu hektar, sebanyak 60 ribu hektar diantaranya sudah diokupansi. Katanya diambil rakyat. Tapi, masa ada rakyat yang punya 1000 hektar? Atau 300 hektar? Oleh karena itu, kita kolaborasi dengan kawan-kawan LSM, sama-sama memperhatikan, dan akhirnya ada yang konsensinya dicabut. Kalau terasa penanganan ilegal logging itu lamban, karena di lapangan complicated banget. Rata-rata ada keterkaitan dengan perusahaan, keterkaitan dengan aparat dan keterkaitan dengan masyarakat yang dimobilisasi. Tapi, sekarang sudah terlihat polanya, dan operasi pun disiapkan. 

 Apakah Kementerian melakukan moratorium perizinan?

Moratoirum izin di hutan primer, lahan gambut. Lalu lahan Sawit di-hold dulu sambil menata dan mengidentifikasi riwayat izin yang 2,3 juta, legal atau nggak. Kami koordinasi dengan BPN dan Kemendagri.

 Bagaimana support dari Presiden terhadap penindakan para pelanggar aturan kehutanan? Apakah Kementerian memiliki kewenangan penindakan hukum?

Direktorat Jenderal Penegakan Hukum cukup memegang peranan. Apalagi, pejabatnya (Dirjen Penegakan Hukum Kementerian LHK) adalah yang termuda di sini. Konsepnya penertiban dan pembinaan. Jadi, bukan hanya penegakan hukum yang dirapihkan, tapi juga perizinannya. Support Presiden sangat luar biasa. Beliau tanya, “Bu Nurbaya, ada beban nggak?” Saya bilang, ngga. “Ya, udah kalau nggak ada beban, kita jalankan. Saya dukung penuh.” Begitu kata Presiden. Jadi, ya kita jalankan. Jumlah polisi hutan kita sangat terbatas. Hanya 8 ribuan, sementara luas hutannya sampai 120 juta hektar. Okupansi konflik, biasanya terjadi antara perusahaan dengan masyarakat, atau dengan masyarakat adat. Belum lagi, ada konflik hutan dengan satwa, dan lain-lain. Sehingga, persoalannya menjadi kompleks.

 Kerja Birokrasi 

 Bagaimana pola dan program kerja selama dua tahun pertama, mengingat dua kementerian ini sering mengalami bongkar pasang. Disatukan, dipisah, lalu disatukan lagi. Dua tahun ini, kami struggle dengan hal-hal konseptual. Ada beberapa hal dilakukan. Pertama, dari aspek keterbukaan. Ada unsur luar, termasuk LSM, yang rutin dilibatkan dalam policy exercise. Ini supaya konsep menjadi lebih pas dan lebih kena dengan situasi lapangan. Unsur dari luar menambah kekuatan data, metoda, dan lain-lain. 

 Kedua, aspek keterbukaan informasi. Ini dampaknya banyak tekanan juga ke kita. Misalnya, pengaduan melalui whatsaap, sms dan lainnya. Banyak orang di luar, lembaga, bahkan Komnas HAM juga cukup keras terhadap kita, apalagi soal kebakaran hutan. Namun akhirnya terasa di ruang publik, bahwa bahaya lingkungan itu ancaman bagi kehidupan manusia. Makanya, kita membenahi sama-sama. 

 Lalu ketiga, penegakan hukum. Sekarang ini, penegakan hukum oleh Kementerian LHK, sampai sanksi administratif. Terhadap perusahaan yang salah, dikenai pembekuan sampai pencabutan. Jadi, penyatuan dua kementerian (Lingkungan dan Kehutanan), membuat regulasi saling menguatkan.

 Keempat, direktif dari Presiden sangat jelas. Presiden berasal dari Kehutanan. Sehingga beliau betul-betul melihat bahwa kehidupan masyarakat desa kawasan hutan itu sulit, dan tahu bagaimana memperbaiknya. Direktif beliau sangat keras. Saat terjadi kebakaran, misalnya, direktif lapangan konkrit. Misalnya, harus sekat kanal, harus begini, harus begitu, gambut direstorasi, gambut di-manaje dan lain-lain. Saya berharap, makin ke sini, kesadaran masyarakat bermunculan, sehingga sama-sama merasakan bahwa ancaman lingkungan itu berbahaya, dan harus ditangani bersama. 

 Bagaimana melakukan beragam terobosan dengan cepat, sesuai keinginan Presiden, dalam situasi kerja birokrasi yang dikenal lamban? Apakah dikerasi? 

Yang lebih pas bukan keras. Tapi istilah saya, permurnian birokrasi. Dulunya, birokrat di Kehutanan itu di-stigmakan sebagai rezim perizinanlah, mafia hutan-lah, dan sebagainya. Tapi saya perhatikan, ternyata ini persoalan birokrasi dan harus dimurnikan ke relnya. Kita punya tekad dan akhirnya bisa berjalan.

 Bagaimana caranya melakukan pemurnian birokrasi? Mengubah mind set tentu bukan hal mudah. Sesuai keinginan Presiden, pemerintahan ini maunya dekat dengan rakyat, terbuka untuk rakyat. Sementara di birokrasi, stigmanya kaku, tidak bisa tembus dan awalnya, tak ada LSM yang mau masuk ke sini. Lalu, saya menyadari bahwa dua kementerian ini (Kehutanan dan Lingkungan), punya database yang kuat. Data apa saja yang saya minta, hampir nggak pernah nggak kejawab. Tetapi, gaya kerjanya sangat silo, sesuai fungsi dan tugasnya sendiri-sendiri. Kuat di content, tapi lemah di context. Saya sendiri pun ketika baru masuk ke sini, berusaha mencari konteks. Kehutanan dan lingkungan dikaitkan dengan kepentingan rakyat dan kesejahteraan rakyat itu bagaimana ya? Dari sebelah mana mulainya ya. Lalu, saya pelajari. Di birokrasi istilahnya, one step up, two steps down. Jadi sekarang kalau mengerjakan sesuatu, ya exercise-nya bersama, dan saya ajak dua layer ke bawah. 

 Bagian tersulit dari upaya memurnikan birokrasi? Bagian tersulitnya adalah memberikan pemahaman tentang konteks secara menyeluruh sampai ke jenjang bawah. Karena selama ini, mereka bekerja dengan juklak, juknis, sesuai aturan, sesuai regulasi. Pekerjaan di dua kementerian ini, knowledgebases-nya kuat. Ada keilmuan dan nggak bisa pakai common sense. Tentang definisi hutan, definisi pohon, pohon tumbuh, fast growing, spesies dan sebagainya. Itu semua ada ilmunya dan mereka jago-jago. Tapi keilmuan harus dikawinkan dengan kebutuhan. Dikawinkan dengan pandangan dari luar.  Ini nggak gampang. Awalnya, agak sulit menyatukan cara kerja birokrasi dengan LSM.

Mula-mula ada resistensi, tapi kini semua merasakan manfaatnya. Tantangannya berat, tapi relatif baik jalannya. Saya merasa, satu demi satu, masalah selesai. 

 Program Kerja

 Ruang lingkup dan kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu banyak sekali. Bagaimana menentukan skala prioritasnya. Memang kerja kementerian kita ini gila-gilaan ya hahaha (tertawa). Tugasnya, menjamin oksigen bagus, menjamin alam dan lahan untuk pangan. Juga harus menjamin air bagus, menjamin energi oke, menjamin tumbuhan dan tanaman obat, jalan. Karenanya, concern dan atensi kepada lingkungan dan kehutanan itu harus kuat karena ini menjadi aspek penopang kehidupan.

 Dalam dua tahun ini, sudah ada penyiapan. Tentang air, misalnya. Kita identifikasi, ada 334 lokasi sumber air di Jawa, dan 120 di luar Jawa, yang harus dijaga. Itu spring, danau, sungai dan sebagainya. Kami data, sampai kapasitasnya, berapa meter perdetik. Untuk tumbuhan, misalnya, kami identifikasi, untuk pangan antara 24-137 jenis. Untuk obat ada 21-300 lebih jenis. Tapi ya, setelah diidentifikasi, terus mau dibagaimanakan? Ini PR masih banyak. Belum lagi terkait pertambangan. Tambang rakyat, kita sudah identifikasi. Ada 352 spot di lebih dari 110 kabupaten dan kota. Kenapa saya agak telat dan merasa sulit mengurus tambang, karena harus kerja bareng dengan kementerian lain. 

 Dari sekian banyak pekerjaan, mana yang prioritas? Sepertinya penting semua. Pertama, snapshot atau show case-nya kebakaran hutan. Karena itu sudah terjadi belasan tahun, bahkan sampai 17 tahun, sehingga nggak boleh terjadi lagi. Kita sudah dapat cara memadamkan, tapi sistemnya harus dikembangkan dan dibuat lebih bagus, lebih mapan. 

 Kedua, memberi masyarakat akses untuk bisa memanfaatkan hutan, melalui program perhutanan sosial. Data menyebut, lebih dari sepertiga desa di Indonesia, yang miskinnya, ada di tepi atau di dalam hutan. Yang kita pikirkan, rakyat disuruh beresin hutan, tapi masak nggak dapat apa-apa. Kalau kita suruh masyarakat menanam, terus mereka mendapat apa? Makanya, kita kuatkan konsep hutan sosial. Kita serius menyiapkan konsep ini.

 Ketiga, deforestasi, kemerosotan lingkungan. Keempat, perizinan dan sebagainya. Itu bagian paling sensitif dan sudah kita benahi di dua tahun pertama. Penataan perizinan di kawasan-kawasan hutan yang diokupansi oleh konsensi, mulai ditertibkan. Bagian itu, yang disebut Presiden sebagai moratorium. Ada lokasi-lokasi yang nggak boleh dibuka. Misalnya, sebagian hutan yang benar-benar hutan di Papua, Gorontalo, dan beberapa daerah lainnya. Kalau pun dibuka, harus ada konsensi untuk masyarakat. Termasuk untuk masyarakat adat. 

 Kementerian LHK sedang mengembangkan program restorasi ekosistem. Bisa dijelaskan? Itu adalah program kombinasi. Konsep pemberdayaan masyarakat sekaligus bisnis. Sambil berbisnis, tapi alamnya di-restore, dikembalikan. Masyarakat mengambil manfaat dari hutan, tetapi lingkungannya tetap dijaga. Caranya, masyarakat diberi pemahaman manajemen korporasi agar tercipta generating income, profit dan lain-lain. Memang, ada unsur patriotik juga. Sebab, saat menjalankan bisnis restorasi ekosistem, dalam 10-15 tahun pertama mungkin hutannya nggak boleh diapa-apain. Yang bisa diambil terbatas, misalnya hasil hutan madu.

 Program restorasi ekosistem sudah pernah dirintis tahun 2006-2008. Format seperti ini tak ada modelnya di negara lain. Sementara di sini, ada 15 perusahaan dan 550 ribuan hektar, dan 50-an lagi izinnya antri. Program restorasi ekosistem kita perkirakan mencapai 1,6 juta hektar. 

 Ini konfigurasi bisnis baru. Setelah HTI, HPH dan lain-lain, dulunya dianggap “bermusuhan” sama rakyat. Dimana, pada areal tertentu, di dekat areal produksi dibuat rekayasa industri baru. Kita pakai pola koperasi tanaman rakyat. Dikelola korporasi dan diberi manajemen korporat. Ide ini sudah dilaporkan kepada Presiden dan beliau oke. Sekarang ini kita sedang membuat pilot project. Antara lain di Pulang Pisau Kalimantan Tengah.

 Bagaimana kepedulian masyarakat menyangkut kerusakan lingkungan? Isu-isu kritis yang lahir dari masyarakat belakangan ini, apa ya? Ada. Misalnya, persoalan sampah dan sampah plastik. Itu dianggap sudah kritis dan benar-benar kuat di-drive masyarakat. Ada orang whatsaap saya. “Bu Nurbaya, saya mau bikin pengumuman Indonesia darurat sampah.” Nah, saya bilang, diskusikan dulu deh dengan multistakeholder. Jangan minta izin sama saya untuk deklarasi. Kita mesti mendengar dulu dari seluruhnya. Juga terkait limbah sungai dan danau.

 Yang lain lagi, ekowisata. Wacana ini muncul dari masyarakat di sekitar taman-taman nasional, kawasan konservasi dan pelestarian alam. Saya respon, begini deh, kita buat, orientasinya kawasan konservasi tapi menjadi basis pengembangan wilayah. Jadi taman nasional harus dihubungan dengan tujuan pembangunan di daerah itu. Perkiraan saya, setelah ini, dari masyarakat akan muncul penguatan hutan desa. Itu mungkin usulan dari kalangan adat dan desa.

 Ada lagi tentang lahan kritis. Soal ini, penanaman (pohon) itu harus terus menjadi kesadaran bersama. Kalau nggak ada pohon, ya nggak bisa ketolong. Misalnya di Jepara. Setelah ditanami pohon banyak-banyak, kini sudah tumbuh sampai 40 mata air baru. Beberapa tahun lalu, Pak JK menanam pohon di kawasan Cisanti Jawa Barat. Itu masa-masa Pak JK jadi wapres di periode lalu. Nah, ketika saya ke sana lagi, sudah bertambah tiga mata air baru. Jadi, saat ada pohonnya, mata air bisa bertambah.

 Ada Grup Whatsaapan Antar Menteri 

Rapat-rapat Langsung Nyelonong, Nggak Protokoler

 Bagaimana koordinasi antar kementerian? 

Komunikasi kita bagus. Kita kalau rapat dengan menteri lain, ya nyelonong aja. Misalnya, tadi malam, saya dengan Bu Rini (Soemarno). Lalu tadi pagi dengan Ibu Sri Mulyani. Tempo hari sekitar jam 7 pagi, Pak Sofyan (Djalil) tahu-tahu sudah di sini. Atau tiba-tiba Mentan datang ke sini. Atau, saya juga bisa saja muncul di ESDM. Komunikasi relatif oke dan bagus. Nggak pakai protokoler. Ada whatsaapan antar menteri. Misalnya, kalau ada Dirjen yang terlalu keras, nanti menterinya telepon. Bu Nurbaya, tolong Pak Dirjennya jangan galak-galak, misalnya hahaha (tertawa). Atau kalau ada Dirjen salah bicara, saya yang menelpon, eh Pak Dirjennya begini, begitu, dan seterusnya. 

 Bagaimana intensitas komunikasi langsung dengan Presiden? 

Saya setiap bulan membuat laporan dan dilaporkan kepada Presiden. Monitoring (kebakaran hutan) itu kita patroli, lalu difoto. Tiap kali turun atau ada laporan dari lapangan, langsung masuk ke posko sehingga publik dan wartawan langsung tahu. Ini perintah Presiden, kita harus siaga terus sepanjang tahun. Untuk rakyat, ya kita harus siap. Nggak boleh stop. ***

Artikel ini sudah dimuat di Harian RakyatMerdeka edisi Rabu, 9 November 2016.



****

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar