Senin, 04 Januari 2016

Aceh Sudah Move On (3): Angkutan Umum Sangat Terbatas, Infrastruktur Perlu Dibenahi


             Angkutan umum yang menarik perhatian saya selama di Aceh adalah bentor atau becak motor.             

Kabarnya, ada labi-labi, semacam angkot dengan jendela dan pintu terbuka. Tapi, empat hari di sana, saya hanya sekali melihatnya di sekitaran pasar. Mereka menawarkan jasa labi-labi ke tujuan tertentu. Juga bisa dicarter beberapa jam. 
            Bis umum atau kereta api, tidak ada di Aceh. Bis yang seliweran di jalan, kebanyakan carteran dan mengangkut rombongan turis. Sejenis Damri, kabarnya, dulu pernah ada. Entah sekarang. 
            Bentor di Aceh, tempat duduk penumpangnya, berada di sisi kiri pemotornya. Ini seperti becak yang dikaitkan ke motor. Butuh kepiawaian khusus untuk mengemudikan ini. Kalau tidak mampu meliuk-liuk dan menakar ukuran lebar jalan, bisa-bisa becaknya keserempet kanan-kiri. Jarak sekitar 5 kilometer, ongkosnya 20-an ribu. Saya mencoba menjajal bentor saat mencari minimarket untuk membeli keperluan pribadi. Pengemudinya, Pak Sumarno, perantau dari Tulung Agung Jawa Timur. Sudah 20 tahun tinggal di sana dan istrinya asli orang Aceh. Bahasa jawanya masih kental. Sambil mengemudikan bentor, Pak Marno bercerita kisah tragis keluarga istrinya, yang hilang akibat Tsunami di Lhoknga. Jumlahnya? 67 orang. Betapa menyedihkan.
            Dulu, labi-labi termasuk angkutan favorit di Aceh. Tapi makin lama orang-orang beralih ke sepeda motor. Mungkin dianggap lebih cepat dan bebas macet. Populasi motor di Banda Aceh memang amat banyak. Mendominasi jalanan, dan lahan-lahan parkir.

Foto 2. Labi-labi di Aceh. Pengemudinya sedang menawari saya untuk carter kendaraannya keliling Banda Aceh

            Sistem transportasi publik di Aceh kelihatannya belum dibangun serius. Pemerintah setempat, masih melakukan penataan. Sebulan terakhir ini, mereka menjaring survei dan pengumpulan data untuk mengetahui riwayat perjalanan harian masyarakat. Pemerintah setempat membutuhkan banyak data mengenai traffic system dan jenis angkutannya. Semoga ini lekas selesai. Di manapun, transportasi massal adalah salah satu tulang punggung pengembangan wilayah. 
            Selain transportasi dan infrastruktur, yang tak kalah penting adalah meng-upgrade sikap masyarakat Aceh saat menghadapi para turis. Tuan rumah yang ramah tentu akan membuat turis-turis makin betah. ***

Artikel ini sudah dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
edisi Selasa, 5 Januari 2015


Tidak ada komentar:

Posting Komentar