Senin, 04 Januari 2016

Aceh Sudah Move On (2): Cocok Jadi Tujuan Wisata Syariah Kulinernya Enak, Namanya Unik


Aceh sudah cocok dijadikan destinasi wisata syariah. Keindahan alamnya luar biasa. Pantai-pantainya indah. Aceh memiliki banyak spot yang berpotensi mendunia. Klop dengan suasana religius dan label serambi Mekkah yang sudah lama melekat. 


Foto 1. Wisatawan KelanaRasa menikmati kopi dan mie Aceh di Warkop Zakir

            Aceh juga punya banyak sekali jenis makanan yang enak dengan nama unik. Empat hari berada di kota ini, rasanya belum cukup untuk mencicip semua jenis makanan unggulannya. Yang populer, misalnya ayam tangkap. Ini sajian unik di piring. Ayam goreng ditutupi dedaunan. Gurih sekali. Herbanya khas, yaitu daun temurui, daun kari, daun salam koja dan pandan. Belum lagi kuah belangong. Ini kari kambing yang khusus ada di saat-saat pesta. Untuk membuatnya dalam porsi banyak, digunakan belangong, semacam kuali yang ukurannya besar sekali. Kuliner lain, semisal, Bu Si Itek Bireuen (gulai itik), sate matang (sate sapi dengan bumbu kacang), mie caluk (mienya mirip spageti dengan bumbu kacang). Minumnya juga unik-unik. Apalagi kopinya. Orang Aceh menyebutnya khupi. Selain sanger, ada kopi kop (kopi yang gelasnya dibalik) dan kopi saring. 

Foto 2. Begini caranya meracik kopi Aceh. Ditarik, diulur. Hasilnya kopi kental dan sedap
  

        
Foto 3. Ayam tangkap atau Ayam Temurui. Ayam kampung goreng dengan herba daun salam, koja, daun kari, daun pandan dll.

    Kami datang dari Jakarta berombongan 22 orang. Semuanya penyuka kuliner. Hampir tiap dua jam, kita mencicipi masakan berbeda. Tak ada sambal di Aceh. Tapi, penyuka sambal tak perlu kecewa. Sebab masakan Aceh rasa rempahnya cukup pedas menggigit. Yang paling terasa, misalnya, di nasi kuning Pak Rasyid. Restorannya amat sederhana, tapi kelas nasi kuningnya, kata pakar kuliner Indonesia yang juga leader perjalanan, Arie Parikesit, termasuk papan atas nusantara. 
            Arie pernah bertugas di Aceh selama dua tahun, pasca bencana tsunami. Di sela tugasnya membantu sejumlah program recovery, Arie juga menjelajah kuliner di sana. Dia hafal semua jenis masakan Aceh. Bahkan, tahu detail bahan dan bumbu-bumbunya. Beberapa tempat kuliner yang kita datangi, seolah membuka kembali memori dia, beberapa tahun silam.  
            Di tempat-tempat tertentu, kadang dia bergumam. “Dulu, di sini masih terasa bau-bau jenazah. Dan bertumpukan sisa-sisa gunungan sampah dari hempasan gelombang Tsunami,” katanya. 

Orang Aceh rupanya suka ngobrol berlama-lama sambil nyeruput secangkir kopi atau bandrek dengan penganan martabak atau gorengan. Martabaknya memang istimewa. Biasanya telur dimasukan dalam adonan kulit, tapi di Aceh sebaliknya. Telur di luar, kulit martabaknya di dalam.


Foto 4. Martabak Aceh. Kulitnya di dalam, telurnya di luar

Selama berada di Aceh, saya diajak ke Bandrex Pak Sen, Warkop Zakir dan Warkop Chu Yukee. Semuanya ramai. Bahkan ada pusat kuliner yang buka 24 jam. Nongkrong saat siang pun, asik juga. Sempat lewat di lapangan depan kantor Kodam. Di bawah rindangnya pepohonan, puluhan kursi plastik penuh diduduki pemuda pemudi. “Saat Tsunami, tempat ini disapu bersih, orang-orang berlarian. Mereka mengira banjir biasa,” kata Awi, leader tur lokal. 
Tempat lain untuk nongkrong ada di kawasan Khairil Anwar, seputaran Hotel Sultan dan Peunayong. Pasar dan sekaligus tempat berburu souvenir. Makin malam, makin ramai. Padahal, dulunya banyak jenazah terseret air dan masuk ke kawasan itu. “Tapi, sekarang sudah tidak terasa mencekam atau takut,” tambahnya.

Sejak kapan orang-orang Aceh suka nongkrong dan ngobrol sambil ngopi?
Di masa lalu, kebiasaan ini tidak memungkinkan. Zaman operasi militer, dibatasi oleh jam malam dan penjagaan aparat yang ketat. Setelah bencana Tsunami dan perdamaian Helsinki, Aceh menjadi lebih terbuka. Suasana kehidupan masyarakat pun banyak berubah.  Pengusaha warung kopi tumbuh dimana-mana. Kuliner pendatang juga bermunculan. Di Simpang Surabaya, misalnya, terlihat banyak tenda-tenda makanan yang menjual hidangan khas dari Jawa. Semacam pecel lele, soto dan sejenisnya. 

Yang bikin penasaran, soal ganja. Apa benar ganja dimasukkan ke dalam bumbu masakan tradisional di Aceh? Masakan yang manakah itu? Linda Adimidjaja, culinary expert yang ada di rombongan, termasuk paling antusias menanyakan ini. Orang-orang setempat tak berani memberikan petunjuk jelas. Jawaban paling lucu begini. “Gampang, Bu. Perhatikan saja tanda setelah makan. Kalau terlihat ada yang ketawa-ketawa sendiri, kemungkinan dia habis makan makanan yang bumbunya mengandung ganja,” kata mereka, sambil ngakak. Pastilah itu bercanda.

            Belakangan ini, tren wisata khusus kuliner tumbuh menjamur. Mereka yang ikut traveling jenis ini umumnya kelompok di usia mapan, yang meluangkan waktu untuk jalan-jalan dan menikmati hobi mencicipi kuliner Indonesia di daerah asalnya. Aceh termasuk salah satu destinasi favorit karena jenis makanannya banyak dan unik. 


Foto 5. Nasi kuning Pak Rasyid. Nasi kuning papan atas Nusantara


Foto 6. Busi Itiek. Gulai itik dengan bumbu yang mlekoh kental


Foto 7. Nasi gurih. Seperti nasi uduk dengan sayur tauco


Foto 8. Mie Kepiting. Varian dari Mie Aceh.


Foto 9. Lontong kari


Foto 10. Ini yang disebut Kuah Belangong. Gede banget kan, kualinya.


Foto 11. Dan inilah kari kuah belangong. Kari kambing yang gurih 


Semua foto adalah dokumentasi penulis dan peserta KelanaRasaAcehSabang (24 sd 27 Desember 2015).

Artikel ini juga dimuat di
Harian Rakyat Merdeka
Edisi Selasa, 5 Januari 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar